Love Scaming

 Ini istilah familiar. Khususnya di kalangan generasi muda yang "bersentuhan" dengan media sosial (medsos).

Love Scaming adalah kejahatan yang pendekatannya berpura-pura menjalin cinta. Dilakukan melalui sarana elektronik, mulai dari chat, call, sampai vidio call. Setelah mendapatkan kepercayaan (trust) dari korban, pelaku mulai "memanfaatkan" dengan "membuat mabuk" korban.



Membuat mabuk bagaimana?

Di tengah intensnya jalinan komunikasi yang dibangun melalui sarana elektronik, pelan-pelan trust mulai terbangun. Khususnya dari korban. Korban mulai memiliki kepercayaan terhadap pelaku.

Modus ini akan semakin cepat bila korban berhasil dipacari atau diyakinkan oleh pelaku untuk dinikahi. Di sela-sela obrolan yang sudah mapan dibangun, pelaku mulai masuk pada hal-hal yang bersifat intim. Chat s*ks kepada korban sampai soal meminta vidio/foto tanpa busana yang bila mana di-share ke publik, dapat mempermalukan korban karena memuat pelanggaran kesusilaan.

Korban terperdaya, karena yang namanya pacar, yang namanya calon pasangan hidup, menjalin hubungan intim walaupun sekedar obrolan melalui sarana elektronik dianggap wajar dan tidak masalah.

Pasca itu, pelaku kemudian memeras korban dengan meminta sejumlah uang/barang. Duar. Seperti petir di saat terang. Korban mulai terpojok, merasa bersalah, dlsb. Pelaku mengancam, bila permintaannya tidak dipenuhi, akan menyebarkan vidio/foto syur yang sudah kadung di-share. Cinta seketika berubah jadi petaka.

Ini cara ekstrem yang umum dilakukan oleh pelaku untuk memperpendek jarak supaya segera untung. Supaya segera mendapatkan uang dari korban.

Contoh korban dalam kasus ini adalah seorang guru jelita asal Jember yang beberapa waktu lalu sempat ramai diperbincangkan. Contoh lain, silakan search sendiri.

Modus lain, pelaku ini pura-pura mencintai korban dengan berjanji untuk menikahinya. Modus ini lebih soft dan hasilnya memang tidak pintas. Pelaku memoles diri sebagai orang yang baik, sholeh, pekerja keras, pebisnis, dokter, TNI, dlsb.

Sebelum melancarkan maksudnya, pelaku umumnya mengidentifikasi (mem-profilling) korban yang kira-kira, kecenderungan dan/atau selera korban ini seperti apa. Apa cukup sekedar mengidealkan pasangan yang gagah atau bohai secara fisik, atau memiliki visi lain yang tak sekedar fisik. Bila misal yang diidealkan korban adalah fisik, pelaku masuk dengan memoles diri menggunakan pendekatan fisik. Tapi bila misal mengidealkan pengusaha sukses, pelaku memoles diri sebagai pekerja keras, kaya raya, dlsb.

Tipu muslihat pelaku benar-benar membikin korbannya klepek-klepek terperdaya. Korban diyakinkan oleh pelaku bahwa ia pasangan ideal. Komunikasi yang dijalin pelaku pun jauh dari hal-hal yang bersifat lendir. Pelaku berusaha tetap terlihat elegan dan calon pasangan yang ideal. Walaupun goal dari rangkaian pendekatan yang dilakukan pelaku, jelas pada akhirnya untuk mendapatkan uang/barang, atau bahkan kepuasan hasrat dari korban.

Keberhasilan pelaku dalam memperdaya korban, diukur ketika korban mengeluarkan materi, tenaga, dan segala daya untuk memenuhi keinginan pelaku. Dalam melakukan hal itu, korban sadar dan menganggap tidak masalah. Setelah pelaku optimal mendapatkan banyak hal dari korban, pelaku mulai meninggalkan korban pelan-pelan. Perhatiannya yang di awal terlihat tulus, mulai tergerus. Korban pada akhirnya akan benar-benar ditinggalkan.

Pelaku love scaming, rata-rata berada di balik penjara. Mereka melancarkan aksi kejahatannya ini, selain rata-rata karena berada dalam lingkaran (circle) kejahatan yang digerakkan melalui sarana elektronik, juga kadang dilatari oleh kerasnya hidup di dalam penjara.

Pelaku pura-pura peduli (care), tanya kabar, memberi saran-masukan supaya jangan lupa makan, istirahat cukup, menyapa perdana di saat bangun pagi, dan segala hal lain yang sifat dan maksudnya untuk menunjukkan bahwa pelaku betul-betul care, betul-betul peduli, betul-betul sayang, dlsb.

Setelah trust didapat, pelaku mulai minta uang. Entah pakai pendekatan pinjam atau dengan terang-terangan minta. Karena si korban sudah percaya, apalagi ada iming-iming akan dinikahi, tak sedikit si korban ini betul-betul berkorban. Baik uang, tenaga, dlsb.

Pasca si pelaku keluar dari penjara, janji si pelaku tinggallah janji.

Terhadap pendekatan pelaku, baik yang to the point memeras dengan mengancam akan menyebar foto/vidio syur korban. Maupun yang menggunakan pendekatan akan menikahi korban tapi ternyata bohong, hukum sejatinya telah mengatur untuk menyeret pelaku ke ranah hukum.

Dalam konteks pemerasan dalam bentuk ancaman dengan akan menyebar video/foto syur korban, Pasal 369 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bisa dijadikan instrumen untuk menjerat pelaku. Belum lagi bila misal foto/video itu betul-betul di-share ke publik. Pelaku juga dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU 19/2019 tentang Perubahan atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dalam konteks agar pelaku menyerahkan sejumlah uang/materi, dengan iming-iming akan menikahi korban, tapi faktanya tidak, korban dapat menyeretnya ke ranah hukum sebab penipuan dengan ketentuan Pasal 378 KUHP.

Melalui catatan ini, saya ingin mengajak agar kita berhati-hati dalam menjalin hubungan, utamanya yang dikenal melalui media sosial. Kejahatan love scaming ini saat ini mulai marak dan menyasar korban dengan iming-iming cinta.

Janda/duda keren, utamanya yang mapan secara finansial, kerap menjadi sasaran dari pelaku love scaming ini.

Bagi janda/duda yang tidak keren, yang tidak mapan secara finansial, bukan berarti tidak memiliki peluang untuk ditipu. Justru banyak janda/duda tidak keren yang menjadi korban karena lugu dan terbatasnya pengetahuan mereka, bahwa praktik love scaming ini kini benar-benar ada dan nyata.

Nah, catatan ini dalam rangka agar kita selamat dari penipuan dan pengancaman berbasis love scaming. Siapa tahu catatan ini dapat menjadi bahan agar kita selamat dari penipuan dan pengancaman yang berkedok atas nama cinta ini.

Jika sudah kadung menjadi korban, meskipun instrumen hukum mau digunakan, kita masih memerlukan effort yang cukup.

Komentar