Dulu, saat
masih kelas 4 Madrasah Ibtida'iyah (MI), saya dibujuk oleh orangtua, utamanya
Bapak, agar berkenan mondok di Pondok Pesantren yang diasuh oleh Kiai Haji
Raden Ahmad Fauzi Dahlan. Di pondok pesantren ini, saya memulai belajar kemandirian. Setengah bulan
sekali, saya dijenguk oleh ibu. Dibawain lauk-pauk, beras, dan camilan khas
desa; kripik singkong, cangkarô'
-bahan dasarnya karak nasi-, képéng
-bahan dasarnya singkong, sejenis krupuk- dlsb, yang kesemuanya ibu buat
sendiri. Bukan jajanan yang dijajakan pasar.
Kemandirian
itu, mulai dari mencuci baju,
memasak nasi, sholat rutin
berjamaah saat masuk waktu sholat, bangun di sepertiganya malam, menjaga
kebersihan, sampai bagaimana membentuk tim kerja yang baik.
![]() |
Kiai Haji Raden Ahmad Fauzi Dahlan |
Dalam hal cuci
baju, saya belajar kepada teman-teman, bagaimana mencuci baju. Di awal saya
mondok, saat ibu menjenguk, saya sempat mengeluh, bahwa nyuci baju susah dan capek. Ibu dengan sabar menyucikan baju saya
sambil berujar, "Aćér ngôrûs
sassa'annah tibi', Cong, manussah ôdi' lakar ta' kémpang. Kalampinah kénikoh
cé' tompo', pas toro' bunté' sassa supajé'eh ta' léssoh!". Dalam
bahasa Indonesia, kurang lebih: "Belajarlah mengurusi cucianmu sendiri,
Nak, manusia hidup memang tak mudah. Bajumu yang kotor jangan ditumpuk,
langsung cuci supaya tidak capek".
Hikmah yang
sangat terasa setelah saya dewasa, urusan, atau pekerjaan apa pun yang kita
tekuni, jangan dikerjakan sekaligus. Harus dicicil dikit demi sedikit supaya dalam mengurus
dan bekerja, tidak capek. Fokus, serius, dan santai. Maka semuanya akan serasa
bermain.
Dalam hal
memasak nasi, tatkala sore setelah menunaikan Sholat Asyar, bersama
teman-teman, bergerilya ke arah barat pondok. Satu sisi mencari kayu bakar dan di sisi yang lain mencari bukkôl; buah pohon bidara -Daun bidara, pada jaman dulu, menurut penuturan para leluhur, digunakan
sebagai sabun mandinya orang yang sudah meninggal dunia-. Jika beruntung, tatkala bersama
teman yang bisa memanjat pohon siwalan, saya dapat menikmati buah ta'al yang sudah lumrah diambil tanpa
meminta terlebih dahulu kepada pemiliknya. Yang berharga bagi pemiliknya,
justru bukan buahnya, tapi daunnya untuk bahan dasar tikar dan ketupat.
Kegiatan
mencari kayu ini terkadang juga sambil meminta buah pepaya kepada pemiliknya
saat melewati pekarangan rumah penduduk.
Buah pepaya kala itu tidak begitu bernilai. Jika tidak diminta santri, banyak
yang dibiarkan matang kemudian dimakan burung. Pepaya itu kita makan
bersama-sama bahkan seringkali untuk rujakan.
Kebiasaan umum
memasak nasi, jika tidak ada pengajian kitab, juga dilaksakan setelah sholat isya', atau pagi hari sebelum ngaji kitab dan setelah bersih-bersih kamar
dan halaman pondok secara kolektif. Atau, siang hari setelah sekolah formal. Dalam memasak, lebih sering bersama
kemudian setelah matang, dinikmati bersama-sama.
Lauk-pauk, tergantung siapa yang punya. Di sinilah pendidikan toleransi tertempa.
Sholat berjamaah saat masuk waktu sholat, saya
tertempa sejak di Pondok Pesantren ini, kemudian berlanjut ke Pondok Pesantren
Annuqayah di Guluk-Guluk dan kini di tanah perantauan Surabaya. Dzikir wirid
seusai sholat, dzikir puji-pujian sebelum masuk waktu sholat, ngaji al-Quran
surah-surah tertentu, belajar qiroat yang baik dan benar, melantunkan sholawat
yang indah, kesemuanya saya memulai pembelajarannya di Sya’airun Najah. Dzikir
wirid seusai sholat, saya diajari langsung oleh Kiai Fauzi. Dzikir
pujian-pujian sebelum masuk waktu sholat, belajar kepada teman-teman. Kala itu
yang dikenal bagus suaranya, teman sekamar yang sekaligus guru saya di Madrasah
Ibtidaiyah; Ust. Fauzan Adhima. Dalam hal tarik suara ini, saya belajar secara
khusus kepada Ust. Fauzan dan Ustadz Faridi, S. Ust. Faridi juga mengajari saya
bagaimana menulis aksara latin dan melantunkan tarhim menjelang sholat. Sejarah
tarhim ini, setelah saya pelajari, adalah maha karya Syekh Mahmoud Khalil
al-Husairy yang lahir di Mesir (1917) dan meninggal di Kairo, Mesir (1980).
Dulu, tarhim ini semarak dilantunkan menjelang -10 menit- masuk waktu sholat.
Sekarang mulai jarang. Itu pun untuk ukuran kota besar seperti Surabaya,
dilantunkan sebelum masuk waktu Sholat Subuh.
![]() |
Maqbaroh Kiai Haji Raden Ahmad Fauzi Dahlan |
Ngaji
al-Quran surah-surah
tertentu; Subuh, surah al-Kahfi (18), Dhuhur, surah as-sajadah (32), Asyar,
surah al-waqi’ah (56), Maghrib, surah Yaasin (36), dan Isya’, surah al-Mulk
(67), saya bersama para santri yang lain dibimbing langsung oleh Kiai Fauzi.
Membiasakan diri untuk bangun di sepertiganya malam, tempaan dasarnya saya
dapat di Pondok Pesantren ini. Kala itu, kita berebut untuk bangun sedini
mungkin untuk kemudian melafalkan puji-pujian dzikir menjelang masuknya sholat
subuh melalui pengeras suara di masjid pondok. Setelah ngaji surah al-Kahfi,
yang secara pasti suasana alam terang benderang, kemudian kami di pondok
pesantren melakukan kebersihan massal. Masing-masing santri memiliki sapu lidi.
Membersihkan masjid, kamar, dan halaman pondok dengan bersama-sama. Bahagia
sekali mengingat masa-masa itu. Setelah kebersihan dihelat, kami cuci tangan
kemudian siap-siang ngaji kitab. Minggu; kitab Fiqhul Wadih Karya Mahmud Yunus, Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali, dan Ta’limul Muta’allim karya Burhanuddin az-Zarnuji. Tiga kitab ini
kadang dikaji semua, kadang pula hanya salah satu di antaranya. Pengampunya
langsung Kiai Fauzi Dahlan. Tempatnya jika tidak di Masjid, ya, di dhalem beliau. Senin belajar Nahwu &
Sharraf ke langgar ‘timur’, diampu oleh Kiai Abd. Shabar. Selasa ngaji kitab Sullamut Taufiq karya Sayyid Abdullah
bin Thohir, bin Husain, bin Thohir, kepada Alm. Nyai Asmaniah; Ibunda Kiai Fauzi.
Rabu, kembali mengaji kitab yang diampu langsung oleh Kiai Fauzi. Kamis ngaji Kitab
Syafinatunnajah maha karya Syekh
Salim bin Abdullah, bin Saad, bin Sumair, al Hadharami kepada Nyai Asmaniah.
Jumat libur. Hari menanak nasi, makan-makan, nunggu kiriman dari orangtua, dan
olahraga sepuasnya. Malam Jumatnya, ba’da isya’, kita sholawatan di masjid atau
di musholla putri, puji-pujian kepada Rasulullah sambil pegang kitab Burdah maha
karya Imam Al-Bushiri. Sholawat supaya menyenangkan, oleh Kiai Fauzi diarahkan
agar sambil melantunkan bunyi-bunyian laiknya musik patrol. Kaleng, gentong,
drumb, dan apa pun yang melahirkan bunyi-bunyian kita bawa untuk dibunyikan.
Terkadang, lantunan sholawatnya tidak begitu terdengar, kita lebih asyik kepada
tetabuhannya ketimbang membaca sholawat. Hehe. Sabtu belajar ilmu alat; Nahwu
& Sharraf kepada Kiai Abd. Sabar. Teruuus. Inilah jadwal kegiatan, lalakon
umum selama nyantri di Sya’airun Najah.
Kiai Fauzi, memiliki lalakon nyeleneh yang tidak banyak orang bisa menirukannya. Salah satunya,
ia bisa mengendarai sepeda motor di jalan sempit, kecil, curam, dan tak satu
pun orang yang menjadikannya sebagai jalan yang dilalui sepeda motor. Gesit,
lincah, di jalan yang hanya dilalui dengan berjalan kaki sambil mengendarai
sepeda motor, itulah Kiai Fauzi. Ada banyak hal di luar nalar yang tak mungkin
saya sebut satu persatu.
Malam Jumat, ba’da magrib, kita ngaji Yaasin dan
Tahlil secara serentak. Di sini saya belajar tawassulan. Sampai sekarang, para almarhum sesepuh pendiri Sya’airun
Najah, yang biasa di-tawassuli oleh
Kiai Fauzi, tetap saya rawat dalam ingatan, dan tatkala malam jumat tiba, juga
saya tawassuli sebagaimana pernah diteladankan
oleh Kiai Fauzi. Akhirnya sampai sekarang, dalam tawassul, semua guru dan sesepuh
dari orangtua, disebut sesuai namanya, seraya memanjatkan doa pengampunan dan
pengharapan berkah atas ilmu yang diajarkan.
Kiai Fauzi, memiliki suara yang khas. Tatkala jadi
imam, saya dapat menghayati dengan baik sebab irama tartil-nya yang memukau. Jika
beliau memimpin doa tatkala undangan di masyarakat, paling digemari sebab doa
dan bacaanya simple alias tidak panjang-panjang.
Hal yang tertancap kuat dalam ingatan sampai
sekarang, dawuh beliau mengenai makanan haram: “Man akala luqmatan minal haram, lan tuqbal sholatuhu arbaiena yauman”,
yang kurang lebih artinya: “Barang siapa yang memakan makanan haram, setiap
masing-masing suapan, tidak diterima sholatnya selama empat puluh hari”. Imbuh beliau,
“Jika satu suapan saja sholat kita sudah tidak diterima selama empat puluh
hari, maka dalam satu piring yang pasti lebih dari satu suapan saat menyantap
makanan itu, puluhan tahun sholat kita tidak akan diterima. Berhati-hatilah,
jaga agar tubuh kita ini tidak memakan hal haram”. Begitulah beliau
menyampaikan dengan bahasa Madura.
Kesenangan beliau yang ke mana-mana mengendarai
sepeda motor, bahkan dari ndalem ke
masjid yang jaraknya cukup dilalui dengan berjalan kaki, menjadi salah satu
perantara, penyebab beliau terkena penyakit diabetes. Diabetes inilah yang
kemudian menjadi perantara atas penyakit lain yang mendera Kiai Fauzi sampai
beliau berpulang keharibaan Tuhan.
Suatu ketika, saat saya sowan kepada beliau di
pertengahan tahun 2014, di tengah terpaan penyakit yang mendera Kiai Fauzi, bawaan
beliau tetap teduh. Bahkan di tahun 2015 dan 2016, saat beliau datang ke rumah sambil
menjelaskan kondisi di Sya’airun Najah, beliau tetap dalam kondisi dengan muka yang
menentramkan. Padahal penyakit beliau sudah stadium berat. Waktu itu saya
kaget, kok tiba-tiba kiai saya ini datang ke rumah sesaat setelah saya baru
datang dari Surabaya. Padahal sebelumnya, secara dhahir kita tidak menjalin komunikasi mengenai kedatangan beliau ke
rumah. Saya merasa cangkolang dan
mestinya saya yang ke Sya’ariun Najah. Saya menyimak betul apa yang disampaikan
beliau. Ada ungkapan beliau dan ini mari jadikan bahan perenungan untuk wahana
memperbaiki diri dan lembaga. Beliau mengutarakan dalam bahasa Madura yang bila
dibahasaindonesiakan kurang lebih: “Syaairun Najah itu sekarang, ibarat cebok
yang disalini air se bak mandi. Karena cebok tak mampu menampung air se bak
mandi, apalagi disalini secara sekaligus, cebok itu terpintal-pintal,
melompat-lompat, tabrak ini-tabrak itu. Memang ceboknya tidak pecah, tapi air
tetap tidak tertampung dengan baik, dan suasana menjadi gaduh”. Di depan
beliau, saya hanya merunduk. Menyimak setiap kata yang terlontar dari lisan
beliau. Kemudian saya berkomitmen pada diri tanpa sanggup saya utarakan secara
verbal kepada beliau, bahwa saya akan turut andil sejauh yang saya bisa untuk mencoba
memperbaiki tatanan yang rusak dan telah diacak-aduk itu. Dalam hal ini, saya
tak hendak menyalahkan Sya’airun Najah secara kelembagaan, termasuk mereka yang
telah mengacak-aduk Sya’airun Najah seperti sekarang. Sebab, semua itu ada
keterlibatan negara dan agenda behand yang
turut mendekonstruksi tatanan pendidikan di Indonesia. Masalah di Sya’airun
Najah hanyalah satu dari sekian masalah pendidikan pada umumnya di Indonesia. Dan
itu, gambaran rata-rata masalah pendidikan kita. Tidak di mana-mana, karena
hampir semua pendidikan mengalami permasalahan sebagaimana yang dialami oleh
Sya’airun Najah.
Pemasrahan kiai Fauzi kepada Allah atas apa pun,
sungguh di atas rata-rata. Bahwa penyakit dan kesembuhannya dari Allah, menjadikan
vonis dan pantangan dokter atas penyakit yang diderita beliau, menjadi nomor
sekian. Vonis beliau terima. Tapi pantangan, beliau kerap melanggarnya. Dari hitung-hitungan
akal, pelanggaran atas pantangan inilah yang menjadi salah satu penyebab utama
keberpulangan beliau.
Tepat pada 1 Mei 2017 lalu, saya hadir ke Maqbaroh beliau, membacai Yaasin dan
Tahlil. Hal ini menjadi oase kerinduan saya
kepada sosok yang bersahaja, sederhana, dan pembimbing dasar ruhani saya dalam
mengenal Tuhan dan menfondasi diri akan ilmu pengetahuan. Sebab dasar
pengetahuan yang saya dapat dari beliau, jadilah saya yang seperti saat ini. Saya
tetap berharap, dengan mengusahakan dan berdoa, jalinan persaudaraan,
kekerabatan yang sempat terkoyak oleh nafsu dan dangkalnya ilmu pengetahuan di
Sya’airun Najah, kembali terajut dengan baik. Karena bagaimana pun, lembaga
pendidikan hadir untuk mendidik, mendampingi generasi muda bagaimana mengenal
Tuhannya dan menjadi manusia yang dapat menahan dan mengendalikan nafsu hewanik.
Allahu
A’lam....
Tulisan versi PDF-nya, baca/unduh di sini
Law office of Dr. Jonaedi Efendi & Associates
Jl. Gayung Kebonsari 1, No. 1-3 Surabaya
15 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...