Oknum LSM di Sumenep Ditangkap Polisi

Ilustrasi

Lagi ramai soal penangkapan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sidik inisial SB. SB diduga melakukan pemerasan terhadap Kepala Desa Batang-Batang Daya, inisial SN.

SB ditangkap di rumah salah seorang pejabat dan/atau pegawai Inspektorat Sumenep inisial J, di Kolor, Sumenep.

Dari kronologi yang dijelaskan oleh Camat Batang-Batang kepada Media Jatim, dugaan pemerasan ini bermula dari pesan What'sApp J kepada SN.

Dalam pesan What'sApp itu, J menjelaskan kepada SN, bahwa SB akan melaporkan salah satu program Desa Batang-Batang Daya yang diduga tidak sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB).

SB meminta uang 40jt kepada SN. Kemudian terjadi tawar-menawar antara SB dan SN. Deal, disepakati 20jt.

Berdasarkan pemberitaan Media Jatim tersebut, berikut analisis hukum saya:

Bila benar demikian kronologinya, Aparat Penegak Hukum (APH) yang menjerat SB dengan pasal pemerasan, saya rasa tidak tepat. Karena di situ ada kata sepakat. Pemerasan, bila menggunakan instrumen Pasal 368 KUHP, harus ada unsur: memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Sepanjang pemberitaan yang beredar, SB, hanya mengancam SN untuk dilaporkan. Bukan mengancam dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Bila misal SB dan/atau J hanya mengancam akan melaporkan SN, maka unsur pasal 368, menurut saya, tidak terpenuhi. Sebab, ancamannya bukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, tapi ancaman melaporkan. Karena kabarnya SB maupun J telah ditetapkan sebagai tersangka, silakan uji melalui instrumen hukum Praperadilan. Uji unsur pasalnya, uji pula alat buktinya.

Menjadi menarik jika peran J ini dilakukan pendalaman.

Mengapa SB ditangkap di rumah J?

Sejauh mana peran J?

Jika peran J aktif, ia memengaruhi SN agar bersepakat memberi sejumlah uang melalui SB misalnya, maka yang utama dilakukan penindakan adalah J, bukan SB. SB cukup sebagai pihak yang turut serta. Instrumen hukum terhadap SB, cukup Pasal 55 KUHP. Karena ia diduga turut serta dalam dugaan perbuatan dan/atau persekongkolan, pemufakatan jahat antara SN dan J yang menjadikan SB sebagai penghubungnya.

SN dan J sebagai pejabat dan/atau aparatur negara, menjadi tepat jika dijerat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 (UU 31/1999) yang telah diubah dan/atau disempurnakan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021 (UU 20/2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bukan menggunakan instrumen hukum pemerasan sebagaimana termaktub di dalam Pasal 368 KUHP.

Karena ini dugaan korupsi yang nilainya kecil, maka tepat bila kepolisian dan/atau Kejaksaan yang menindak. Tak perlu KPK.

Kesimpulannya:

Bagi saya, perbuatan SB, diduga tak lebih dari sekedar alat dan/atau kepanjangan tangan kepentingan J dalam "memanfaatkan" SN sebagai Kades, yang membuat salah satu program Desa Batang-Batang Daya, diduga dikerjakan tidak sesuai RAB. Dalami J, kejar juga SN. Sekalian bersih-bersih.

Salam,

Komentar