Pendidikan bermutu masih belum sepenuhnya menyentuh lapisan masyarakat di negeri ini, di lihat antara sekolah swasta, sekolah negeri, terlebih lagi yang ngetrend sa’at ini istilah sekolah bertaraf internasional masih belum ditemukan titik persamaannya, mulai fasilitas sekolah, guru dan penunjang lainnya.
Tidak heran bila penduduk miskin di negeri ini selamanya akan tetap miskin karena selain asupan gizi yang didapatkannya tidak sesuai dengan standart nilai gizi rata-rata di tambah marginalisasinya dalam mendapatkan pendidikan yang bermutu. Sekolah yang menjamin terhadap masa depan generasi bangsa tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, terlebih masyarakat miskin yang selalu menjadi penonton setia kaum bangsawan dalam menyekolahkan putra-putrinya kelembaga yang berkualitas dan bermutu.
Pemerintah memang mengalokasikan 20% APBD maupun APBN untuk pendidikan, tapi itu semua masih belum mampu menjawab kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu antara masyarakat miskin dan masyarakat yang kaya. Contoh kecilnya ketika salah satu lembaga pendidikan di Surabaya yang pradikatnya bertaraf Internasional mematokkan harga 5 juta sebagai uang muka dan 600 ribu sebagai uang SPP tiap bulannya membuat ngilernya masyarakat miskin untuk ikut andil didalamnya. Memang secara realitas lulusan sekolah yang ternaginalkan dan sekolah yang dikatakan maju sangat jauh berbeda. Sehinggan jika pemerintah masih belum mampu mensejajarkan antara lembaga pendidikan yang di anaktirikan dan lembaga pendidikan yang di anak emaskan maka jangan mengharap kemiskinan di negeri ini akan segara terhapus.
Perlu sekali langkah-langkah revelusioner dari seluruh lapisan masyarakat untuk mendobrak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat, terlebih pada kebijakan-kebijakannya yang berkaitan erat dengan pendidikan. Kerena pendidikan adalah salah satu kunci utama menuju kesejahtaraan hidup bahagia dan bermartabat.
Tidak heran bila penduduk miskin di negeri ini selamanya akan tetap miskin karena selain asupan gizi yang didapatkannya tidak sesuai dengan standart nilai gizi rata-rata di tambah marginalisasinya dalam mendapatkan pendidikan yang bermutu. Sekolah yang menjamin terhadap masa depan generasi bangsa tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, terlebih masyarakat miskin yang selalu menjadi penonton setia kaum bangsawan dalam menyekolahkan putra-putrinya kelembaga yang berkualitas dan bermutu.
Pemerintah memang mengalokasikan 20% APBD maupun APBN untuk pendidikan, tapi itu semua masih belum mampu menjawab kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu antara masyarakat miskin dan masyarakat yang kaya. Contoh kecilnya ketika salah satu lembaga pendidikan di Surabaya yang pradikatnya bertaraf Internasional mematokkan harga 5 juta sebagai uang muka dan 600 ribu sebagai uang SPP tiap bulannya membuat ngilernya masyarakat miskin untuk ikut andil didalamnya. Memang secara realitas lulusan sekolah yang ternaginalkan dan sekolah yang dikatakan maju sangat jauh berbeda. Sehinggan jika pemerintah masih belum mampu mensejajarkan antara lembaga pendidikan yang di anaktirikan dan lembaga pendidikan yang di anak emaskan maka jangan mengharap kemiskinan di negeri ini akan segara terhapus.
Perlu sekali langkah-langkah revelusioner dari seluruh lapisan masyarakat untuk mendobrak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat, terlebih pada kebijakan-kebijakannya yang berkaitan erat dengan pendidikan. Kerena pendidikan adalah salah satu kunci utama menuju kesejahtaraan hidup bahagia dan bermartabat.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...