Judul : Kekuasaan dan Perilaku Korupsi
Penulis : Saldi Isra
Penerbit : Kompas Media Nusantara
Cetakan : I, Januari 2009
Halaman : xlii + 210 halaman
Peresensi : Marlaf Sucipto
Penanganan korupsi tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa (ordinary measure), karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka penanganannya pun harus dengan cara-cara luar biasa (extra ordinary measure), yaitu dengan penegakan hukum yang progresif.
(Prof. Dr. Satjipto Rahardjo)
"Kini korupsi sudah menjadi bagian dari kebudayaan kita". Celoteh ini diungkapkan oleh Muchtar Lubis sebagai dukungan terhadap ungkapan Bung Hatta tentang budaya korupsi. Perlu dipahami bahwa ungkapan mereka tidak lain merupakan wujud keprihatinan yang mendalam akan bahaya korupsi.
Karena budaya korupsi bisa membawa tiga resiko politik besar yang tak dikehendaki. Pertama, menempatkan perilaku korupsi sebagai perilaku budaya hingga membuat kita kesulitan memulai dari mana pemberantasannya. Kedua, jika korupsi tetap dianggap bagian dari kebudayaan, maka akan timbul sifat memberikan maaf kepada pelaku korupsi, kerena hal ini akan dipandang bukan sesuatu yang wajib diberantas melainkan sesuatu yang wajib dipahami. Ketiga, memperbesar dan memperluas dampak hiperbolik (keprihatinan yang mendalam) dan desparasi pengakuan keputus-asaan korupsi dalam skala besar dan terlalu luas untuk diatasi.
Memperhatikan resiko budaya korupsi di atas, maka terdapat empat langkah solutif yang ditawarkan oleh Sartori. pertama, biaya politik bisa dan harus dikurangi. Kedua, pegeluaran electoral harus dikontrol dan dibatasi. Ketiga, penarikan Negara dari wilayah-wilayah ekstra politik guna mengurangi peluang dan godaan korupsi politik. Keempat, hukuman harus diperkeras serta pengawasan yang benar-benar efektif harus dilaksanakan. Hal ini lebih mudah dilontarkan daripada dilaksanakan. Sebab, korupsi dan keserakahan tegak pada dirinya sendiri (self sustaining). Ofensif anti korupsi mestilah digalakkan diseluruh lapisan masyarakat sembari membangun sinergi dan koalisi yang kuat untuk melawannya.
Hanya dengan semua langkah tersebut kita bisa menekuk kuatnya kepentingan bercokol yang ada pada konstitusi. Tiga prinsip ideal dari rasional politik yang harus dipegang teguh yaitu bahwa penyusunan dan perubahan konstitusi haruslah dilakukan oleh: pertama, jiwa-jiwa dan pemikir dengan integritas dan kompetisi terbaik yang dimiliki oleh suatu bangsa. Kedua, selama proses penyusunan mereka harus diberi segala fasilitas yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan kemudahan serta ketenangan deleberasi yang cukup untuk mencapai rangkaian perumusan terbaik bagi tiap bagian pasal dan ayat konstitusi. Ketiga, keseluruhan kandungan final konstitusi yang dihasilkan haruslah sah secara prosudural maupun secara esensial.
Selain itu, salah satu cara yang patut dipertimbangan untuk menghambat laju praktik korupsi yaitu dengan membangun jejaring (zona) antikorupsi di setiap institusi negara. Karena pembangunan itu didasarkan pada pemikiran bahwa masih ada individu-individu yang tidak ingin melakukan korupsi. Salah satu institusi negara yang paling potensial membangun zona bebas korupsi adalah DPR. Karena DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, menjadi titik sentral pusaran mekanisme ketatanegaraan. Dalam pandangan Jeremy Pope, parlemen sebagai badan pengawas, adalah pusat perjuangan untuk mewujudkan dan memelihara tata kelola pemerintahan yang baik untuk memberantas korupsi. Dalam konteks ini, DPR amat mungkin menggunakan jenjang ketinggian otoritas lembaga mereka untuk memerangi para koruptor.
Perang melawan korupsi
Selain beberapa wacana di atas, Ben Anderson mengatakan bahwa korupsi di Indonesia bersifat integratif, ini terbantahkan oleh Michael Johston yang menulis tentang dampak politik dan korupsi, yang pada akhirnya tak mampu menentukan pilihan apakah korupsi berdampak integratif atau disintegratif. Hal ini terjadi karena sistem politik di era upaya reformasi saat ini membuka sebesar-basarnya peluang bagi multiplikasi perilaku korupsi hingga ketingkat potalogis, sistem politik yang terus digorogoti oleh perilaku korupsi yang kian menggila. Koreksi tehadap politik serasa sangat penting untuk keluar dari belenggu korupsi yang terus melanda sebagai dampak dari cara politik yang hampir 80 persen berwajah kolonialisme.
Dalam kondisi de facto darurat atau dalam kondisi serba buruk dan serba krisis, kadang harus menerobos pasal-pasal konstitusi yang ada, tentu saja secara terkontrol dan bertanggung jawab, untuk menyusun konstitusi yang benar-benar adil, bermartabat, dan progresif. Harus diakui, selama 38 tahun nation-state kita dibiarkan oleh para penguasanya terus berkubang dalam anakronisme politik, yaitu menerapkan solusi pemerintahan darurat, padahal keadaan tak lagi darurat (1971-1997), dan menerapkan solusi pemerintahan normal, padahal keadaan sudah kembali darurat (1998-2008).
Wacana korupsi di atas hanya sebagian dari diskursus-diskursus yang tidak terselesaikan dalam kerangka implementasinya saat ini. Namun, wacana kekuasaan dan prilaku korupsi yang tertuang dalam karya Saldi Isra ini akan membantu dan menambah wawasan dalam memahami perilaku korupsi.
Buku setebal 210 halaman ini merupakan kumpulan esai yang dihimpun dari harian Kompas. Buku ini terdiri dari tiga bab, yaitu membahas persoalan uang, dan merintis kekuasaan yang kebablasan, serta nalar antikoropsi. Sistem politik di era upaya reformasi itulah yang membuka sebesar-besarnya peluang bagi multiplikasikan perilaku korupsi hingga ketingkat patalogis, yang ibarat boomerang balik mengancam bukan hanya bangunan sistemik yang merupakan sumber dan pembiaknya, melainkan eksistensi republik kita sendiri, dimana bangunan sistemik itu tegak.
Saldi Isra, penulis buku ini, dikenal mampu menguraikan dengan bahasa sederhana dan gamblang tentang persoalan korupsi yang begitu rumit, menggurita, dan melibatkan segala segi kekuasaan. Argumennya cerdas dengan didukung data yang kuat. Oleh karena itu, pembaca akan mudah memahami unsur-unsur korupsi, betapa hebatnya kampanye dan politik uang, sepak terjang hakim tindak pidana korupsi, mafia peradilan, hingga suara lembut dari Istana. Membaca buku ini, kita bisa merasakan segala kerisauan penulis yang adalah kerisauan seluruh warga bangsa juga, menyaksikan semakin merajalelanya korupsi di Tanah Air.
Buku ini patut dibaca oleh semua kalangan yang peduli akan pemberantasan korupsi serta yang ingin membangun nalar antikorupsi. Baik dibaca oleh kalangan elit birokrasi maupun kelas bawah, lebih-lebih kaum elit politik yang baru dilantik, sebagai kerangka acuan mengisi 100 hari awal kepemimpinannya.
* Peresensi adalah kader PMII Komisariat Syari'ah IAIN Sunan Ampel Surabaya sekaligus home key IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep).
* Resensi ini adalah resensi pertama saya yang di kirimkan ke media Duta Masyarakat Surabaya
Penulis : Saldi Isra
Penerbit : Kompas Media Nusantara
Cetakan : I, Januari 2009
Halaman : xlii + 210 halaman
Peresensi : Marlaf Sucipto
Penanganan korupsi tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa (ordinary measure), karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka penanganannya pun harus dengan cara-cara luar biasa (extra ordinary measure), yaitu dengan penegakan hukum yang progresif.
(Prof. Dr. Satjipto Rahardjo)
"Kini korupsi sudah menjadi bagian dari kebudayaan kita". Celoteh ini diungkapkan oleh Muchtar Lubis sebagai dukungan terhadap ungkapan Bung Hatta tentang budaya korupsi. Perlu dipahami bahwa ungkapan mereka tidak lain merupakan wujud keprihatinan yang mendalam akan bahaya korupsi.
Karena budaya korupsi bisa membawa tiga resiko politik besar yang tak dikehendaki. Pertama, menempatkan perilaku korupsi sebagai perilaku budaya hingga membuat kita kesulitan memulai dari mana pemberantasannya. Kedua, jika korupsi tetap dianggap bagian dari kebudayaan, maka akan timbul sifat memberikan maaf kepada pelaku korupsi, kerena hal ini akan dipandang bukan sesuatu yang wajib diberantas melainkan sesuatu yang wajib dipahami. Ketiga, memperbesar dan memperluas dampak hiperbolik (keprihatinan yang mendalam) dan desparasi pengakuan keputus-asaan korupsi dalam skala besar dan terlalu luas untuk diatasi.
Memperhatikan resiko budaya korupsi di atas, maka terdapat empat langkah solutif yang ditawarkan oleh Sartori. pertama, biaya politik bisa dan harus dikurangi. Kedua, pegeluaran electoral harus dikontrol dan dibatasi. Ketiga, penarikan Negara dari wilayah-wilayah ekstra politik guna mengurangi peluang dan godaan korupsi politik. Keempat, hukuman harus diperkeras serta pengawasan yang benar-benar efektif harus dilaksanakan. Hal ini lebih mudah dilontarkan daripada dilaksanakan. Sebab, korupsi dan keserakahan tegak pada dirinya sendiri (self sustaining). Ofensif anti korupsi mestilah digalakkan diseluruh lapisan masyarakat sembari membangun sinergi dan koalisi yang kuat untuk melawannya.
Hanya dengan semua langkah tersebut kita bisa menekuk kuatnya kepentingan bercokol yang ada pada konstitusi. Tiga prinsip ideal dari rasional politik yang harus dipegang teguh yaitu bahwa penyusunan dan perubahan konstitusi haruslah dilakukan oleh: pertama, jiwa-jiwa dan pemikir dengan integritas dan kompetisi terbaik yang dimiliki oleh suatu bangsa. Kedua, selama proses penyusunan mereka harus diberi segala fasilitas yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan kemudahan serta ketenangan deleberasi yang cukup untuk mencapai rangkaian perumusan terbaik bagi tiap bagian pasal dan ayat konstitusi. Ketiga, keseluruhan kandungan final konstitusi yang dihasilkan haruslah sah secara prosudural maupun secara esensial.
Selain itu, salah satu cara yang patut dipertimbangan untuk menghambat laju praktik korupsi yaitu dengan membangun jejaring (zona) antikorupsi di setiap institusi negara. Karena pembangunan itu didasarkan pada pemikiran bahwa masih ada individu-individu yang tidak ingin melakukan korupsi. Salah satu institusi negara yang paling potensial membangun zona bebas korupsi adalah DPR. Karena DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, menjadi titik sentral pusaran mekanisme ketatanegaraan. Dalam pandangan Jeremy Pope, parlemen sebagai badan pengawas, adalah pusat perjuangan untuk mewujudkan dan memelihara tata kelola pemerintahan yang baik untuk memberantas korupsi. Dalam konteks ini, DPR amat mungkin menggunakan jenjang ketinggian otoritas lembaga mereka untuk memerangi para koruptor.
Perang melawan korupsi
Selain beberapa wacana di atas, Ben Anderson mengatakan bahwa korupsi di Indonesia bersifat integratif, ini terbantahkan oleh Michael Johston yang menulis tentang dampak politik dan korupsi, yang pada akhirnya tak mampu menentukan pilihan apakah korupsi berdampak integratif atau disintegratif. Hal ini terjadi karena sistem politik di era upaya reformasi saat ini membuka sebesar-basarnya peluang bagi multiplikasi perilaku korupsi hingga ketingkat potalogis, sistem politik yang terus digorogoti oleh perilaku korupsi yang kian menggila. Koreksi tehadap politik serasa sangat penting untuk keluar dari belenggu korupsi yang terus melanda sebagai dampak dari cara politik yang hampir 80 persen berwajah kolonialisme.
Dalam kondisi de facto darurat atau dalam kondisi serba buruk dan serba krisis, kadang harus menerobos pasal-pasal konstitusi yang ada, tentu saja secara terkontrol dan bertanggung jawab, untuk menyusun konstitusi yang benar-benar adil, bermartabat, dan progresif. Harus diakui, selama 38 tahun nation-state kita dibiarkan oleh para penguasanya terus berkubang dalam anakronisme politik, yaitu menerapkan solusi pemerintahan darurat, padahal keadaan tak lagi darurat (1971-1997), dan menerapkan solusi pemerintahan normal, padahal keadaan sudah kembali darurat (1998-2008).
Wacana korupsi di atas hanya sebagian dari diskursus-diskursus yang tidak terselesaikan dalam kerangka implementasinya saat ini. Namun, wacana kekuasaan dan prilaku korupsi yang tertuang dalam karya Saldi Isra ini akan membantu dan menambah wawasan dalam memahami perilaku korupsi.
Buku setebal 210 halaman ini merupakan kumpulan esai yang dihimpun dari harian Kompas. Buku ini terdiri dari tiga bab, yaitu membahas persoalan uang, dan merintis kekuasaan yang kebablasan, serta nalar antikoropsi. Sistem politik di era upaya reformasi itulah yang membuka sebesar-besarnya peluang bagi multiplikasikan perilaku korupsi hingga ketingkat patalogis, yang ibarat boomerang balik mengancam bukan hanya bangunan sistemik yang merupakan sumber dan pembiaknya, melainkan eksistensi republik kita sendiri, dimana bangunan sistemik itu tegak.
Saldi Isra, penulis buku ini, dikenal mampu menguraikan dengan bahasa sederhana dan gamblang tentang persoalan korupsi yang begitu rumit, menggurita, dan melibatkan segala segi kekuasaan. Argumennya cerdas dengan didukung data yang kuat. Oleh karena itu, pembaca akan mudah memahami unsur-unsur korupsi, betapa hebatnya kampanye dan politik uang, sepak terjang hakim tindak pidana korupsi, mafia peradilan, hingga suara lembut dari Istana. Membaca buku ini, kita bisa merasakan segala kerisauan penulis yang adalah kerisauan seluruh warga bangsa juga, menyaksikan semakin merajalelanya korupsi di Tanah Air.
Buku ini patut dibaca oleh semua kalangan yang peduli akan pemberantasan korupsi serta yang ingin membangun nalar antikorupsi. Baik dibaca oleh kalangan elit birokrasi maupun kelas bawah, lebih-lebih kaum elit politik yang baru dilantik, sebagai kerangka acuan mengisi 100 hari awal kepemimpinannya.
* Peresensi adalah kader PMII Komisariat Syari'ah IAIN Sunan Ampel Surabaya sekaligus home key IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep).
* Resensi ini adalah resensi pertama saya yang di kirimkan ke media Duta Masyarakat Surabaya
terima kasih atas infonya
BalasHapus