GEMA FEMINISME YANG TAK KUNJUNG USAI

Pertama kali Gaung feminisme muncul dari Eropa sebagai akibat stigma perempuan yang merasa di nomor duakan setalah laki-laki. Gerakan ini muncul untuk menstarakan (emansipasi) antara posisi laki-laki dan perempuan perspektif hukum, ekonomi dan sosial budaya. Gerakan ini didominasi oleh para wanita yang merasa tidak puas terhadap konstruk hukum, ekonomi, dan sosial budaya yang di klaim oleh sebagian wanita tidak adil alias wanita di nomor duakan setalah laki-laki.


Perlu di ketahui, gerakan feminisme ini pertama kali didengungkan oleh wanita-wanita yang hukum, ekonomi, sosial dan budayanya jauh berbeda dengan kondisi hukum, ekonomi, sosial dan budaya yang kita anut. Mereka yang cendrung menegasikan Tuhan sedangkan kita tidak, alias mereka manusia tak bertuhan (ateis) sedangkan kita bertuhan (teis). Sangat tidak wajar sekali ketika teori, konsep, dan gerakan feminisme Eropa diterima bulat-bulat tampa disaring (filter) terlebih dahulu oleh kaum perempuan kita yang Agamis (bertuhan). Hasan Hanafi berkata “ kita tidak harus menolak terhadap arus globalisasi, tapi bagaimana kita mampu mengadopsi arus kemajuan tersebut dengan filter yang ketat. Jika kita menolak, kita akan tertinggal dan pasti tidak akan maju”.

Sebenarnya menurut penulis, ada benarnya juga gerakan feminisme di suarakan di berbagai sisi dunia, termasuk juga di Indonesia. Karena pada dasarnya melihat pada sejarah, perempuan selalu jadi korban dari ketidak becusan system hukum, ekonomi, dan sosial budaya yang berkembang. Pada masa Jahiliyah (masa sebelum Islam datang) perempuan tidak ada bedanya dengan barang yang dapat diperdagangkan, bahkan perempuan pada masa itu dapat diwariskan. Budaya-budaya lama yang menempatkan perempuan diuratan ke 2 setelah laki-laki sampai sa’at ini sulit dihilangkan, karena mungkin sifat alamiah perempuan yang lemah lembut dan peyayang tetap diangap empuk untuk dipermainkan.

Islam datang untuk memberikan pemahaman tentang dimana posisi laki-laki dan perempuan, walaupun sebagian orang mengatakan hukum yang ditawarkan oleh islam masih bersifat transaksional alias tidak ada bedanya dengan taransaksi jual beli, dimana laki-laki dalam menikahi seorang perempuan terkesan membeli terhadap tubuh seorang perempuan, yang dikenal dalam islam dengan istilah mahar (maskawin) yang diucapkan secara simbolik pada akad nikah (transaksi pembelian tubuh). Kemudian analoginya apa bedanya dengan membeli tubuh wanita PSK yang sifatnya temporal (sementara) dan tentative (dalam waktu tertentu). Menurut penulis substansinya sama. Cuma bedanya ketika membeli PSK bersifat sementara dan pernikahan bersifat lama. Pernikahan pun masih belum tentu menjamin akan keberlangsungan hidup suami istri untuk hidup selamanya (sampai mati), karena islam membolehkan perceraian (perpisahan) walaupun Nabi Muhammad mengatakan perceraian itu suatu perbuatan boleh yang tidak dianjurkan, pada akhirnya perempuan lagi yang akan jadi korban. Juga kenapa islam itu membolehkan beristri lebih dari satu (poligami) sedangkan perempuan tidak. Ini bagian dari contoh kecil dari tuntutan femenisme dalam mencari kesetaraan (emansipasi) Marilah kita cari jawabannya melalui petunjuk Qur’an dan Al-Hadist yang sifatnya rahmat (kebaikan) kepada seluruh isi alam.
Pada dasarnya islam datang untuk memberikan kesetaraan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an :

….إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ….
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (Qs. Al-Hujurat : 13)

Hal ini menjadi suntikan dan legetimasi bahwa Allah hanya melihat kualitas seseorang (laki-laki dan perempuan) melalui ukuran ibadahnya kepada-Nya. Dimana pemaknaan ibadah ada yang vertical (hubungan manusia dengan Tuhannya) dan horizontal (hubungan manusia dengan sesama manusianya). Hal ini juga menjadi cikal bakal awal bahwa laki-laki dan perempuan berhak untuk berkompetisi dalam artian bukan saling menjatuhkan, tapi saling menyempurnakan. Walaupun sebenarnya kompetisi ini sudah ada sejak dulu (Jahiliyah), tapi kompetisi dulu dalam saling menjatuhkan dan perempuanlah yang selalu menjadi korban. Upaya-upaya islam untuk mengangkat drajad wanita selalu mengalami perkembangan sesuai dengan situsasi dan kondisi zaman, yang pada akhirnya cita-cita islam yang di idealkan adalah terbentuknya laki-laki dan perempuan yang saling menyempurnakan bukan saling menjatuhkan.

0 Komentar