Maulid Nabi, sebagaimana yang saya kenal sejak lahir kebumi, adalah perayaan yang kata orang memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap bulan Robiul Awal , dimana diperayaan tersebut saya dipertemukan dengan suguhan beragam buah-buahan yang sudah matang dan segar. Masih kata orang, sebelum Nabi Muhammad dilahirkan, tanah arab yang menjadi tempat kelahiran nabi, gersang dan tandus, tumbuhan mengering tidak berbuah. Dan berkat kelahiran nabi itulah, semua berbanding terbalik. Maka buah-buahan yang disuguhkan pada perayanaan maulid nabi salah satunya sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang memberikan nikmatnya dengan perantara lahirnya nabi Terahir. Itu pengetahuan awal saya 15 tahun lalu yang saya dapatkan dari cerita-cerita guru ngaji saya di kampung halaman.
Seiring berjalannya waktu, sampai saya berumur 19th, saya masih ada dilingkungan yang men-sakral-kan maulid nabi, sampai itu pula, saya masih belum memahami makna substantif atas rutinitas tahunan tersebut. Karena, sejak saya lahir telah dibiasakan untuk selalu patuh dan tunduk atas perintah guru yang katanya sudah pasti benar. Nah, menginjak umur 20th saya masuk dalam lingkungan yang menurut saya jauh berbeda dengan lingkungan saya sebelumnya, karena dilingkungan inilah saya dipertemukan dengan faham yang pro dan kontra terhadap maulid nabi. Pihak yang pro, dikenal dengan sebutan organisasi Nahdathul Ulama’ (NU), sedangkan yang kontra, dikenal dengan sebutan Muhammadiyah. Dari benturan faham inilah telah mengajak saya untuk mencoba menganalisa terhadap faham yang latar belakang analisisnya juga berbeda. Walupun demikian, NU dan Muhammadiyah embrionya tetap agama islam.
Didalam Al-Quran maupun hadits dalam segala tingkatan, memang tidak ada ayat yang secara ekplisit maupun implisit menganjurkan kepada umat Nabi Muhammad untuk merayakan kelahirannya, tapi banyak ditemukan didalam Al-Quran maupun Hadits anjuran untuk selalu senantiasa bersholawat kepada Nabi Muhammad. Nah, yang ditolak oleh Muhammadiyah adalah budaya perayaannya, bukan budaya sholawatnya. Tapi bagi NU, selama budaya itu masih dianggap baik dan menjadi salah satu jalan untuk berbuat yang baik, tidak ada masalah.
Dibalik itu semua, menurut saya, dua organisasi tersebut hanya mempermasalahkan nilai kuantitasnya saja, sedangkan bentuk substansinya tetap sama.
Berbeda pandangan dalam hal apapun saja dalam islam adalah biasa, termasuk didalamnya ketika Muhammadiyah menolak terhadap vareasi sholawat yang biasa dilantunkan oleh orang NU ketika merayakan maulid nabi. Ada banyak ragam solawat dalam NU, sedangkan Muhammadiyah hanya mau pada sholawat kurang lebih “Allahumma Sholli ‘Ala Muhmmad Wa’alaa Aliih Muhammad”.
Latar Belakang Saya yang Kebetulan NU
Saya kadung terbiasa bershalawat dan merayakan maulid nabi, maulid nabi bagi saya adalah memoment dimana saya bisa megungkapkan rasa cinta terimakasih saya kepada nabi bersama keluarga, sanak family, dan tetanga sekitar yang juga mau merayakan maulid nabi. Dengan kebersamaan, saya banyak menemukan yang menurut saya jarang ditemukan diluar maulid nabi, semisal, saya bisa bersholawat bareng, menyimak tentang perjuangan nabi, dan hal lain mengenai nabi. Apalagi saya kadung berfaham bahwa dengan kebersamaan dalam hal kebaikan dan kebenaran adalah sebuah anjuran, termasuk ketika saya bersama-sama melantunkan sholawat pada nabi pada perayaan mulid nabi.
Seiring berjalannya waktu, sampai saya berumur 19th, saya masih ada dilingkungan yang men-sakral-kan maulid nabi, sampai itu pula, saya masih belum memahami makna substantif atas rutinitas tahunan tersebut. Karena, sejak saya lahir telah dibiasakan untuk selalu patuh dan tunduk atas perintah guru yang katanya sudah pasti benar. Nah, menginjak umur 20th saya masuk dalam lingkungan yang menurut saya jauh berbeda dengan lingkungan saya sebelumnya, karena dilingkungan inilah saya dipertemukan dengan faham yang pro dan kontra terhadap maulid nabi. Pihak yang pro, dikenal dengan sebutan organisasi Nahdathul Ulama’ (NU), sedangkan yang kontra, dikenal dengan sebutan Muhammadiyah. Dari benturan faham inilah telah mengajak saya untuk mencoba menganalisa terhadap faham yang latar belakang analisisnya juga berbeda. Walupun demikian, NU dan Muhammadiyah embrionya tetap agama islam.
Didalam Al-Quran maupun hadits dalam segala tingkatan, memang tidak ada ayat yang secara ekplisit maupun implisit menganjurkan kepada umat Nabi Muhammad untuk merayakan kelahirannya, tapi banyak ditemukan didalam Al-Quran maupun Hadits anjuran untuk selalu senantiasa bersholawat kepada Nabi Muhammad. Nah, yang ditolak oleh Muhammadiyah adalah budaya perayaannya, bukan budaya sholawatnya. Tapi bagi NU, selama budaya itu masih dianggap baik dan menjadi salah satu jalan untuk berbuat yang baik, tidak ada masalah.
Dibalik itu semua, menurut saya, dua organisasi tersebut hanya mempermasalahkan nilai kuantitasnya saja, sedangkan bentuk substansinya tetap sama.
Berbeda pandangan dalam hal apapun saja dalam islam adalah biasa, termasuk didalamnya ketika Muhammadiyah menolak terhadap vareasi sholawat yang biasa dilantunkan oleh orang NU ketika merayakan maulid nabi. Ada banyak ragam solawat dalam NU, sedangkan Muhammadiyah hanya mau pada sholawat kurang lebih “Allahumma Sholli ‘Ala Muhmmad Wa’alaa Aliih Muhammad”.
Latar Belakang Saya yang Kebetulan NU
Saya kadung terbiasa bershalawat dan merayakan maulid nabi, maulid nabi bagi saya adalah memoment dimana saya bisa megungkapkan rasa cinta terimakasih saya kepada nabi bersama keluarga, sanak family, dan tetanga sekitar yang juga mau merayakan maulid nabi. Dengan kebersamaan, saya banyak menemukan yang menurut saya jarang ditemukan diluar maulid nabi, semisal, saya bisa bersholawat bareng, menyimak tentang perjuangan nabi, dan hal lain mengenai nabi. Apalagi saya kadung berfaham bahwa dengan kebersamaan dalam hal kebaikan dan kebenaran adalah sebuah anjuran, termasuk ketika saya bersama-sama melantunkan sholawat pada nabi pada perayaan mulid nabi.
Waallhu A’lam Bisshawab
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...