Kami Tidak Sepintar Anda, Tapi Kami Hanya Punya Semangat Untuk Menciptakan Indonesia Demokratis.
(Sherly Doornis)
(Sherly Doornis)
Tulisan ini sebagai refleksi dari diskusi dan lounching kumpulan cerita pendek : “Cerita Tentang Rakyat Yang Suka Bertanya”. Nara sumber Masdar Hilmy, MA., PHD. (Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya), Prof. Budi Darma, MA., PHD. (Guru Besar Emiritus UNESA), Sherly Doornis (Deputi Derektur Advokasi Lembaga Kajian Demokrasi Dan Hak Asasi [Demos]), Lan Fang (Novelis).
Demokrasi, sebagaimana dicita-citakan banyak negera, termasuk Indonesia, dianggap salah satu system dari banyak system pemerintahan yang layak untuk dikembang suburkan disebuah Negara. Cerita tentang rakyat yang suka bertanya, sebagaimana dimaksudkan oleh Sherly Doornis untuk mengugah kesadaran rakyat Indonesia bahwa Negara ini menganut system demokrasi yang, menuntut rakyat untuk ‘bawel’ terhadap kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Rakyat, sebagaimana diungkapkan Masdar Hilmy, tak ubahnya sapi yang di controng hidungnya dan diarahkan se-kehendak pemiliknya. Dalam artian, rakyat, yang idealnya didalam demokrasi ditempatkan setinggi-tingginya justru yang terjadi sebaliknya. Kerena posisi seperti itulah sebenarnya dipandang penting untuk melakukan pendidikan kritis melalui karya sastra kepada rakyat Indonesia, sebagai maksud bahwa demokrasi pada idealnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan tidak saling mengorbankan.
Demokrasi, perspektif Prof. Budi Darma, adalah suatu hal yang mustahil digapai sepenuhnya, karena demokrasi bukanlah sebuah tujuan, tapi sebatas proses untuk mencapai kesejahteraan, ketentraman, kebaikan demi mewujudkan kemaslahatan umat manusia yang menjadi krangka idealisme semua orang yang mendukung terhadap demokrasi. Adanya system yang mengatur kehidupan manusia tak lain dari upaya antisipatif dari tindakan manusia yang kadang irrasional, walaupun manusia, sebagaimana mengutip pernyataannya Prof. Budi Darma, adalah mahluk rasional (Thomas Hubbes). Dalam konteks Negara, bicara demokrasi, tidak lepas dari pengawasan, khususnya dalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kebijakan yang secara tertulis atas nama rakyat, untuk rakyat dalam peraktiknya tidak untuk rakyat. Sejak Soekarno dengan faham demokrasi terpimpinnya mengakatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sampai sekarang yang pasti hanya ‘dari’ rakyat, sedangkan ‘oleh’ dan ‘untuk’ rakyat ta’ ubahnya kran yang meneteskan air dari banyaknya air yang tertampung, alias walaupun semuanya dari rakyat, sangat kecil sekali yang kembali untuk rakyat.
Benar apa kata Pak Masdar, rakyat, selain ditusuk hidungnya dan diarahkan se-kehendak pemimpinnya juga diperas, dimanfaatkan hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu atas nama kesejahteraan utopis. Jika karya fiksi Lan Fang mengatakan negeri ini sudah masuk dalam dunia topeng, bagi saya sungguh sangat korelatif sekali. Banyak orang dengan kebaikan ‘lisan’nya tidak didukung oleh tindakannya. Sumpah, janji sungguh sangat mudah sekali diperjual belikan, dengan bahasa kerenya politik ‘dagang sapi’. Walaupun sumpah dan janji kadung dikatakan, dikemudian hari ada indikasi yang tidak menguntungkan bahkan merugikan terhadap materi dan kekuasaan, maka jangan harap sumpah dan janji tersebut akan terealisasi, toh walaupun terealisir, pasti ada tendensi besar lain dalam mewujudkan keberlimpahan materi untuk membangun kekuasaan.
Walaupun sytem kita menganut demokrasi, tapi tindakan kita jauh dari nilai-nilai demokrasi, maka jangan harap tujuan dan cita-cita demokrasi akan tercapai. Demokrasi akan tetap menjadi mimpi.
Selamat merefleksi!
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...