PLURALISME

Tiga hari setelah wafatnya Abdurrahma Wahid (Gusdur), Ketua PBNU yang waktu itu masih dijabat oleh KH. Hasyim Muzadi mengatakan “Pluralisme yang diperjuangkan NU adalah prluralisme sosiologis, bukan Pluralisme teologis”. Hal tersebut tak lekang dari wacana pluralisme yang dikembangkan oleh kiai, pahlawan, sekaligus tokoh yang menurut banyak orang sebagai Bapak pluralisme Indonesisa tersebut. Kembali kepada pernyataan Hasyim Muzadi diatas, pluralisme hanya cukup dalam tatanan sosiologis, tidak dalam tatanan teologis. Pemaknaan pluralisme; bisa dilihat dari dua pemaknaan;

Pluralisme sebagai keberagaman

Pemaknaan diatas disepakati oleh beberapa orang termasuk didalamnya Abduraahman Wahid, kerena penekanan pluralisme pada sosio-kultural Indonesia yang memang benar-benar plural dilihat dari agama, suku, budaya, adat, bahasa. Faham ini lebih dititik beratkan bahwa keberagaman adalah suatu hal yang wajar dan tidak perlu dipersoalkan. Hidup dalam suatu perbedaan dalam bingkai persatuan bersaudara, berbangsa, dan bertanah air merupakan makna substantif dari Binnika Tunggal Ika. Salah satu landasan diataslah yang menginspirasi banyak orang untuk tidak menentang terhadap gerakan ini, bahkan mengembangkan dan menyebar luaskan demi kestuan bangsa indonesia, bangsa yang plural, majmuk, dan bangsa yang ”terpandang”.

Pluralisme Sebagai Ke-sama-an
Faham ini sebenarnya yang punya keterhubungan teologis, faham ini juga dimaksudkan untuk menyatukan keberagaman agama-agama didunia dalam satu keyakinan beragama. Sehingga muncul wacana bahwa semua agama pada dasarnya sama. Satu sisi bisa benar, ketika difahami semua agama sama-sama punya tuhan, kitab, dan utusan. Tapi, disisi yang lain jika difahami bahwa Tuhan, kitab, dan rasulnya setiap agama adalah sama maka inilah yang salah besar dan perlu ditolak sekaligus ditentang, keyakinan inilah yang mencederai ke-Binnika Tuggal Ika-an kita selaku masyarakat yang majmuk dan plural sebagaimana pemahaman pertama diatas.

Semangat pluralisme keberagaman itulah yang semestinya kita junjung dan perjuangkan, pemaknaan tersebut yang justru menjunjung nilai ke-Binnika Tunggal Ika-an.

Saya bukan anti Amerika dan gagasan orang Eropa lainnya, Cuma, mari kita telaah bersama-sama dari setiap gagasan mereka, terlebih ideologi yang mereka kembangkan dilingkup global. Salah satunya tentang pluralisme itu sendiri yang pada dasarnya bermula dari Barat. Gagasan yang bermula dari Eropa/Barat yang bisa mempengaruhi ideologi, ekonomi, budaya, bahasa, agama sampai nilai kebangsaan kita, mari kita kaji bersama, jangan sampai gagasan tersebut tertelan atau di telan tampa melalui proses kajian yang mendalam. Perlu akulturasi dengan budaya kita, sehingga kita tidak mengorbankan suatu yang mesti kita pertahankan, semisal nasionalisme dalam berbangsa, bernegara, beragama, berbudaya, bersuku, dan berbahasa.
Nasionalisme adalah harga mati, dan tidak ada satupun negara di dunia yang se-plural (beragam) Indonesia. Akan hal tersebut, menukil statemennya orang NU ”Menjaga terhadap kebiasaan lama yang baik, dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik” menjadi kometmen kita bersama untuk mengatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang terbuka dan menjunjung nilai-nilai substansi bangsa dengan mengedepankan kedamain, keaman, kesejahteraan dalam menuju Indonesia yang lebih bermartabat.
"Indonesia adalah negeri penggalan syurga" (MH. Ainun Najib)

Komentar