SARJANA DAN PENGANGGURAN

Sarjana; pemaknaan singkatnya adalah seseorang yang sudah menyelesaikan study dijenjang S1, sedikit orang yang punya kesempatan untuk melanjutkan kejenjang study ini, kecuali orang-orang yang ‘beruntung’. Pemahaman umum, ketika sudah sarjana, seorang tersebut sudah cukup ilmu dan pengalaman yang bisa dijadikan bekal awal untuk menjawab persoalan hidup yang akan dihadapi dalam dunia nyata. Pertanyaanya, kenapa masih banyak sarjana yang menganggur, bahkan malah berkontribusi terhadap rusaknya moral, carut marutnya suasa politik dan ekonomi, bahkan kekerasan atas nama agamapun sering dimobilisir oleh mereka yang notabene pernah menjadi mahasiswa?. Siapa yang salah? Apakah harus ada yang disalahkan, kalau begitu, siapa kira-kira yang salah?
Menjawab pertanyaan diatas bagi saya lebih berat dari membaca dan memahami kitab kuning waktu saya masih nyantri  di Pondok Pesantren Annuqayah tiga tahun yang lalu.
Kembali lagi kepada Sarjana yang nganggur. Khusus tulisan ini, Pengangguran disini lebih saya sempitkan dalam konteks sarjana yang tidak punya kontribusi positif (manfaat) terhadap diri, dan masyarakat sekitarnya. Analisa subjektif saya, ada beberapa tipelogi mengenai sarjana yang menganggur:
  1. Waktu masih menjadi mahasiswa, tidak serius dan tidak memaksimalkan peluang untuk mengasah kreatifitas dan keilmuannya, aktifitas keseharianya didominasi oleh tiga hal: Fun, food, Fashion. Fun: lebih saya maknai pada aktifitas senang-senang yang lupa waktu. Food: budaya ini tidak terlalu tertanam kuat dalam budaya masyarakat desa, karena budaya ini, untuk sementara masih menjadi ciri khas masyarakat urban yang hidup dikota. Fashion: nah, ini lebih pas saya maknai pamer style waktu masih menjadi mahasiswa, walaupun tidak sedikit yang ditemui, style itu hasil dari minjem, ngutang, bahkan parahnya ‘menipu’ orang tua dengan alasan untuk kepentingan kuliah. Bagi saya, gaya orang seperti ini sudah masuk kategori orang yang bermental munafiq.
  2. Tidak ada koneksi; ilmu oke, pengalaman yes, tapi tidak ada koneksi dengan kebutuhan hidup sehari-hari dilingkungan dimana sarjana itu bertempat tinggal, bisa menjadi salah satu pemicu munculnya pengangguran. Contoh: Sarjana kedokteran, hidup dilingkungan masyarakat tani atau yang lainya.

Dari dua tipologi diatas, yang paling parah adalah urutan pertama, kenapa? Karena sarjana yang lahir dari tipologi ini besar kemungkinan hanya akan menjadi pengangguran yang justru kadang memunculkan keresahan. Alasan yang paling dasar dari hal tersebut adalah, karena waktu masih menjadi mahasiswa kerjanya hanya malas-malasan dan lontang-lantung kesana kemari tampa ada arah tujuan yang jelas.

Mahasiswa dan pendidikan Entrepreneur
Tidak sedikit yang saya temui diakhir-akhir ini tentang seminar, pelatihan, semiloka dan kegiatan lainnya yang punya keterhubungan dengan usaha untuk melahirkan uang, menciptakan lapangan kerja, dan berwirausaha. Hal tersebut menjadi salah satu usaha untuk menjawab problematika hidup yang multi demensi.
Pengangguran, menjadi salah satu pemicu munculnya problem yang ada, karena pengangguran masuk pada golongan orang yang belum siap menjawab persolan, apalagi memberdayakan.
Gagasan untuk mewujudkan pendidikan Entrepreneur, sebagaimana permintaan redaksi kepada penulis, menjadi salah tawaran solusi untuk mejawab akan problematika hidup yang terjadi layak dan pantas untuk dipertimbangkan, khusunya pengangguran yang banyak diisi oleh sarjana. Tapi pendidikan Entrepreneur  tidak juga bisa jadi solusi, jika tidak didukung tenaga ahli dan mental malas mahasiswa yang kerap terjadi. Karena pengguran bukan semata-mata karena pendidikan yang salah, atau basis pendidikan yang didalami tidak profite oriented. Tapi banyak karena faktor malas dan tidak memanfaatkan peluang untuk mengasah kreatifitas dan keilmuan.
Saya yakin, jika kita menjadi sarjana yang benar-benar kompeten dalam bidang ilmu tertentu, apalagi sesuai dengan jurusan kuliah waktu masih menjadi mahasiswa, ditambah pengalaman yang cukup, maka besar kumungkinan kita tidak akan menjadi sarjana pegangguran, bukan kerja yang kita cari, tapi pekerjaanlah yang pada akhirnya akan mencari kita. Karena banyak sekarang dunia usaha yang mencari tenaga berbakat dan tenaga ahli, yang menganggur, mereka yang tidak punya keahlian dan kreatifitas yang memadai. Jadikan Ijazah S1 menjadi legal formal untuk menyatakan diri kita adalah orang yang berbakat, kreatif dan punya keahlian yang layak untuk diperhitungkan, bukan sebatas lembaran yang mengantarkan kebingungan dan kebimbangan.
Bagi yang sudah ‘kadung’ sarjana, ayo jangan menyerah, tdak ada kata terlambat untuk membenahi hidup, menyongsong kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Kuncinya, singkirkan kata malas dan menunda-nunda waktu.
Selamat, semoga kita semua tergolong manusia yang beruntung…

Komentar

  1. saya mau bertanya, mengenai pengganguran tadi yang anda jelaskan pada blogg anda

    kalo saya kuliah kerjanya ilmu ok. namun pekerjaan saya hanya cari ilmu dan kuliah - pulang

    apakah kemungkinan besar saya akan jadi penganguran ??

    BalasHapus
  2. masa depan anda, yang menentukan diri anda sendiri. menjadi pengangguran atau tidak, itu juga keputusan anda.

    Cuma, peluang untuk berkarya sebenarnya sebenarnya amat besar dan lebar. apalagi jurusan kuliah yang anda pilih. bila benar-benar ditekuni dan diseriusi, anda berpeluang untuk menjadi seorang yang ahli dibidang pertanahan. ini peluang besar, karena di Indonesia, orang yang ahli dibidang pertanahan amat sedikit dan hanya bisa dihitung dengan jari. apalagi saat ini, kasak-kasuk kasus tanah perlu orang ahli yang bisa memecahkannya.

    mari, semangat belajar. apa yang kita lakukan hari ini, adalah cerminan kita dihari esok. jangan berputus asa, karena peluang untuk berkarya pada kehidupan, amat sangat terbuka lebar bagi siapapun.

    Salam kenal dari Bumi pahlawan Surabaya.....

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih telah berkenan memberi komentar...