Ramadhan kali ini, saya pulang dari Surabaya pada tanggal 13 Agustus 2011 yang juga kebetulan berbarengan dengan 13 Ramadhan 1432 H. hari-hari telah kulalui, sampai tulisan ini ditulis (Kamis, 18 Agustus 2011), saya tertarik untuk menulis suasana desa dalam bulan Ramadhan kali ini. Ramadhan kali ini juga berbarengan dengan suasana panen tembakau yang menjadi satu pengharapan terbesar pendapatan masyarakat desa yang bertani. Kebiasaan yang akan tetap saya dukung, yaitu kebiasaan gotong royong yang tetap melekat kuat dalam diri masyarakat desa menjadi cerminan bahwa semangat kebersamaan masyarakat desa masih sangat kuat. Gotong royong yang ‘tanpa’ pamrih ini, seakan menjadi jawab, bahwa terpaan kemiskinan yang terencana, mengangkat solidaritas masyarakat desa untuk saling membantu dalam mengentaskan ‘kesusahan’ hidup yang dihadapinya. Susah, ya, masyarakat desa memang disengaja untuk tetap susah, dalam arti sempit, walaupun pengorbanan waktu, tenaga sudah tidak kenal waktu dan lelah, masih banyak yang memanfaatkannya. Istilah kerennya ‘memeras susu dari sapi yang sudah jelas kurus kering krempeng’ alias, kondisi kemiskinan dan kesusahan masih menjadi ladang dalam ajang pemerasan oleh sekelompok orang.
Melaksanakan puasa dengan aktifitas fisik dibawah terpaan sinar matahari kemarau adalah suatu hal yang luar biasa jika diukur dangan ukuran aktifitas saya. Bulan puasa tidak menjadi penghalang untuk aktifitas masyarakat desa yang rata-rata dibawah terik matahari langsung. Berpuasa adalah hal kecil, karena dibulan lainnya, masyarakat desa pada hakikatnya juga melaksanakan puasa tanpa dirinya sadar bahwa iya sebenarnya sedang berpuasa. Kenapa saya berani mengatakan demikian, karena jika puasa akan kita maknai aktifitas menahan lapar dan dan haus sejak matahari terbit sampai terbenam, lebih lengkapnya juga menahan hawa nafsu yang jelek, masyarakat desa sudah melakukan terlebih dahulu tanpa mengenal ruang dan waktu. Menahan lapar dan haus adalah hal biasa bagi masyarakat desa, kerena kesusahan dan kemiskinan yang melanda, telah memaksa masyarakat desa untuk selalu menahan dari kepentingan banyak hal, apalagi hanya sekedar kepentingan untuk makan minum.
Ironi Petani Tembakau
Kembali lagi kepada petani yang menanam tembakau, petani tak ubahnya babu diladangnya sendiri. Bekerja bukan untuk dirinya. Itu lebih pas menurut saya disandangkannya pada petani desa. Kenapa?, saya urut satu persatu masalahnya. Lebih husus dalam soal pertanian tembakau. Sejak petani tembakau mau menanam bibit tembakau diladang, sejak itu juga babak awal permulaan proses pemiskinan bermulai. Petani desa menanam tembakau, modal tanam dari hutang, perawatan mulai dari pengairan yang membutuhkan pompa air sampai pupuk yang harus dibeli dipasar kadang juga hasil ngutang. Tambah parah lagi. Air untuk pengairan yang harus pakek pompa air, untuk pompa yang pakai tenaga listrik, biaya listrik selalu mengalami kenaikan. Pompa air yang dihidupkan dari BBM, BBM sudah dibatasi dan pembeliannya tidak melayani eceran, alias SPBU sudah diatur hanya husus melayani motor dan mobil, jadi, jika butuh bahan bakar diluar untuk kepentingan motor dan mobil, harus lincah menyogok pengawai SPBU agar bisa membeli bahan bakar, karena rata-rata petani tidak pandai dalam urusan sogok-menyogok, maka muncullah orang yang bisa berperan ganda, bisa membangun konspirasi dengan pegawai SPBU plus penyedia BBM dengan harga diatas harga SPBU. Ini masih urusan pengairan. Dalam urusan pemupukan, walaupun kekak buyut masyarakat tani dulu mampu membuat pupuk sendiri (organik), kebiasaan tersebut sudah diambil alih oleh penyedia layanan pupuk kimia yang bergantung kepada pemasok. Dikuatkan oleh pemerintah orde baru dalam program swasembada yang mewajibkan pupuknya pada pupuk kimia (anorganik) yang disediakan pemerintah. Karena keperaktisannya, masyarakat petani kepincut untuk menggunakan pupuk kimia tersebut dan melupakan pupuk organik yang tidak praktis dan membutuhkan waktu lama dalam pembuatannya. Kembali kepada pemupukan dalam tembakau, karena pupuk tembakau telah digantungkan pada pupuk yang disediakan oleh pasar (pemerintah), maka harganyapun ditentukan oleh pasar. Yang bikin miris, dalam urusan pupuk ini masih dipolitisir oleh sebagian orang, yang biasa kita kenal dengan usahawan nakal yang bermaksud meraup untung besar. Dengan menumpuk pupuk hingga pupuk mengalami kelangkaan, karena pupuk langka, dan masyarakat tani dalam kondisi membutuhkannya, maka tidak boleh tidak, dengan harga berapapun, masyarakat tani berani membelinya, karena bila tembakau tidak dipupuk, toh walaupun dipupuk tapi mengalami keterlambatan, maka pertanian akan mengalami kegagalan. Alias gagal panen. Memasuki masa panen. Masyakarat desa belum bisa tersenyum puas menyambut harga tembakau. karena petani desa tidak punya posisi tawar dalam penjualan tembakau. harga tembakau tetap dihargai oleh selera pedagang. Jadi untuk melakukan tawar menawar yang menguntungkan petani tembakau sangat jarang bahkan bisa dikatakan tidak ada. Bila ada petani yang menolak tawaran harga pedagang, pedagang dengan cepat meninggalkannya. Hingga memunculkan kesan petani, dengan harga murah berapapun, petani harus rela menjualnya.
Inilah mata rangkai pemiskinan masyarakat desa, khusus desa saya, belum desa-desa lain yang pasti mengalami proses pemiskinan yang tidak harus sama dengan desa saya. Belum lagi dengan kemiskinan yang terjadi dikota. Jangan heran, jika masyarakat Indonesia dipuncak kemerdekaan negeri yang ke-66 tahun ini, masih banyak yang memilih menjadi babu (TKI) dinegeri orang, walaupun harus menghadapi resiko yang sangat besar. Demi kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan dasar keluarga apa resikonya, termasuk mati sekalipun tetap menjadi pilihan. Sebagaimana terjadi pada Ruyati binti Satubi beberapa waktu yang lalu.
Dirgahayu Indonesia…..
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...