Hidup dilingkungan masyarakat yang mayoritas muslim mempunyai nilai yang lebih bagi sebagian orang, termasuk saya. Sejak saya lahir kedunia, saya sudah dikenalkan kepada Tuhan Islam, telinga kanan saya, dikumandangkan Adzan, dan ditelinga kiri saya dikumandangkan iqamah. Sejak saat itu saya di-islam-kan oleh orang tua saya. Perjalanan terus berlanjut, keseharian saya langsung dipenuhi oleh ajaran, tradisi yang bercorak agama islam. Sejak kecil, saya sudah dikasih ‘makan’ doktrin agama yang bercampur tradisi yang berkembang, sehingga saya pada waktu itu tidak sadar, mana ajaran dan mana tradisi. Semua diikuti tanpa penolakan sedikitpun, kerana juga ditanamkan, bila mana saya enggan melaksanakan ajaran yang bercampur tradisi tersebut, ancamannya adalah neraka, neraka waktu itu, digambarkan sebagai tempatnya orang-orang yang ingkar dan tidak mau melaksanakan ajaran yang bercampur tradisi tersebut. Neraka paling beruknya tempat, terdiri dari api yang membara, dan binatang buas yang siap memangsa. Pokoknya waktu itu saya dibikin ngeri dan takut. Sehingga saya melaksanakan ajaran agama yang bercampur tradisi tersebut tampa banyak mempertanyakan lagi karena agar tidak masuk neraka. Hahaha, begitu kira-kira masa lalu saya dalam beragama.
Cerita diatas secara jelas mendiskripsikan, bahwa agama turunan yang terjadi pada saya, pendekatan dalam memberikan pemahaman agama, lebih menggunakan pendekatan doktrinal, doktrin disini tidak hanya dipengaruhi oleh teks agama yang termaktub dalam kitab-kitab agama, tapi juga oleh tradisi yang sama sekali tidak bersinggungan dengan teks agama, bahkan secara subtansial ‘bertentangan’ dengan ajaran agama yang sesungguhnya. Ambil contoh; Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, saya mengambil contoh ini, karena saat ini paradigma diatas menjadi satu dari sekian banyak sikap dan sifat yang memperpuruk negeri Indonesia ini. Ajaran agama sudah jelas-jelas melarang praktik diatas, tapi tradisi menggap sah-sah saja dilakukan, seakan tradisi tersebut juga bagian dari ajaran agama. Contoh kongkritnya : kebiasaan memberikan hasil panen kepada kiai dan orang-orang yang secara status sosial diatas kita, memberikan uang (panyabis: Madura) kepada kiai ketika silaturahim sama kiai, atau ketika mengundang kiai dalam acara adat dan acara memanjatkan doa. Anak kiai secara otamatis, akan menjadi guru yang harus mengajar, tanpa melihat apakah anak kiai tersebut layak atau tidak dalam mengajar. Dan orang yang ‘dekat’ sama kiai, punya peluang yang besar untuk juga mengajar tampa juga melihat apakah orang tersebut layak atau tidak untuk mengajar. Bukankah praktik diatas adalah suatu yang lumrah dan dianggap sah dalam suatu masyarakat. Karena sudah menjadi lumrah, praktik tersebut menjadi budaya yang semua orang tidak terlepas bahkan melapaskan diri dari kebiasaan diatas. Setelah ditilik lebih jauh, ternyata kebiasaan diatas sudah mengkarakter dalam diri setiap orang, dan karakter ini terbentuk turun temurun. Kesimpulan sementara, hal diatas pengaruh paradigma feodalisme yang dikembangkan penjajah (Belanda, dan Jepang) selama ratusan tahun menjajah dan system kerajaan yang pernah perkembang sebelum negeri ini terbangun.
Dari ulasan diatas, mulai sekarang kita harus jeli melihat, antara ajaran dan tradisi, hususnya dalam memahami agama. Korupsi, kolusi, dan nipotisme dalam ajaran agama islam, jelas-jelas dilarang dan ditentang. Sedangkan dalam tradisi, sebagaimana ulasan diatas, dianggap boleh-boleh saja tanpa pertentangan. Bahkan ajaran agama dilegitimasi untuk memperkuat tradisi tersebut. memberikan uang kepada kiai dianggap shodaqah, bukankan shodaqah dalam ajaran yang sesungguhnya mendahulukan orang yang fakir dan miskin?, mengangkat anak dan orang yang dekat sama kiai menjadi guru atau apalah yang orang tersebut tidak kepabel dibindangnya, bukankah dalam ajaran agama yang sebenarnya kita diajarkan ‘ketika suatu persoalan diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”?. Sejauh ini, kita masih terjebak kepada paradigma agama yang masih bercampur tradisi yang tidak layak kita kembangkan. Kalau tidak kaula muda yang meluruskan, siapa lagi?, yang tua sudah ibarat matahari senja yang siap tenggalam. Ulasan diatas hanya contoh kecil dari sekian banyak contoh, jatuh pada kiai sebagai contoh karena saya anggap lebih mudah untuk memahamkan khalayak pembaca. Dirasa anekdot ulama’ NU yang mengatakan “ mempertahankan tradisi lama yang masih baik, dan mencari tradisi baru yang lebih baik” saya anggap relevan untuk kita kembangkan. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan seribu istilahnya sudah saatnya kita tanggalkan, kita gantikan tradisi baru yang lebih mengacu kepada ajaran islam yang substantive.(islam yang rahmatal lil alamin). Semuanya akan mudah, jika dimulai dari diri kita masing-masing. Bukannya perubahan harus dimulai dari diri kita terlebih dahulu? Selamat berefleksi dan melanjutkan sekaligus mengembangkan tradisi yang masih dianggap layak, menata peradaban yang lebih baik untuk kehidupan yang sedang, dan akan kita lalui., sekaligus untuk generasi yang akan datang.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...