AWAL KKN


Awal pertama kali menginjakkan kaki di kota Madiun, tepatnya di desa Duren, kecamatan Pilangkenceng karena sebab KKN (Kuliah Kerja Nyata) IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sampai tulisan ini ditulis, saya sudah tinggal selama 57 jam, terhitung sejak jam 15:00, hari Selasa, 24 Januari 2012 disalah satu rumah yang belum berpenghuni, katanya milik Pak Polisi yang sedang berdinas dikota. Dari waktu yang telah saya lalui, beberapa hal sudah saya dapatkan dari hasil interaksi sosial saya dengan masyarakat sekitar. Terhusus dengan perangkat desa yang baru saya kenal secara birokratif cuma tiga orang. Mulai dari kepala desa, sekretaris desa, dan kepala dusun 5 yang saya kenal karena saya, dan dua orang lainnya kebagian tugas untuk belajar di dusun tersebut.

Kepala Desa-Sekretaris Desa
Kepala desa (kades) dari desa Duren, menurut saya orangnya baik dan terbuka, walaupun kata sebagian teman dan termasuk juga dosen pembimbing mempunyai penilain yang tidak sama dengan saya. Orangnya sederhana, birokratif, dan disiplin. Dilahat dari tutur katanya yang lembut, dengan kosa kata bahasa jawa yang  halus, tapi saya banyak tidak faham sudah kelihatan sifat kesederhanaan, birokrat, dan disiplinnya. Karena saking disiplinnya, kelompok KKN saya, pada waktu silaturrahim kerumah kades  tersebut, pihak kades meminta agar pada waktu pembukaan dalam pasrah terima peserta KKN dipasrahkan langsung oleh pihak birokrasi kampus, kebetulan yang mengurus kekades adalah dosen pembimbing. Hal tersebut benar menurut saya, karena secara prosudural maupun kultural semestinya memang demikian. Berhubung saya dan teman-teman kelompok KKN ke desa tidak bersama dosen pembimbing, maka saya menyampaikan via handphone kepada dosen pembimbing akan hal diatas. Karena dosen pembimbing katanya masih di Jakarta, maka saya meminta dosen pembimbing tersebut untuk mengklarifikasi langsung kepada kades akan ketidak hadirannya pada waktu pembukaan pasrah terima peserta KKN kelompok saya. Selang beberapa jam kemudian, dosen pembimbing saya memastikan pada saya via handphone bahwa beliau sudah mengklarifikasi kepada Pak Kades akan ketidak hadiranya, dan beliau meminta saya untuk mengklarifikasi dan meminta maaf akan ketidak hadiranya pada waktu pasrah terima tersebut. Ternyata, acara dibalai desa yang mestinya formal dan diterima secara birokratif oleh kepala desa, Kepala desa mewakilkan kepada sekretaris (sekdes) desa untuk menerima peserta KKN dibalai desa. Hah, karena sekretaris desa tidak seformal dan sebirokratif Pak Kapala desa, saya dan teman-teman Peserta KKN diterima tanpa acara srimonial sebagaimana acara formal. Dan komunikasi dengan Pak Sekdes langsung to the point tidak jauh beda dari waktu sebelumnya, sewaktu saya dan teman-teman silaturrahim kerumahnya.
Dari sekian pemaparan yang telah saya tangkap dari Kades dan Sekdes, ternyata kedua orang ini, punya sudut pandang yang berbeda dalam satu hal yang sama. Alias, apa yang dipendapatkan Pak Kades belum sepenuhnya diterima oleh Pak Sekdes, begitu juga sebaliknya. Inilah sebenarnya, yang menurut saya menarik dan dikomentari agak dalam melalui tulisan ini. Pak Kades, sebagaimana saya sampaikan tadi orangnya birokratif dan formalistik. Sedangkan Pak Sekdes, justru malah sebaliknya. Pak Kades orang Lapangan, urusanya lebih kepada antar desa dan bahkan keluar dearah. Pak Kades tidak tahu secara detail tentang agenda, keadaan, kondisi ekonomi, pendapatan masyarakat didesanya sendiri secara riil, yang banyak tahu tentang kondisi masyarakat desa justru Pak Sekdes yang sudah, berpengalaman selama 23 tahun sebagai perangkat desa. Pak Sekdes yang ‘memainkan’ beberapa agenda desa, karena Pak Sekdeslah yang lebih tahu dan lebih faham tentang situasi dan kondisi secara riil dalam masyarakat tersebut. Pendapat ini, belum bisa dikatakan objektif, karena masih didasari atas beberapa hal yang disampaikan secara lisan oleh kedua tokoh desa tersebut. Untuk lebih pada pendekatan objektif, masih akan saya pelajari lebih dalam dan lebih jauh, karena masih baru sejak nanti malam, saya baru bisa membaurkan diri ditengah kehidupan masyarakat desa tersebut.
Kepala Dusun 5
Kepala dusun (kasun) 5, baru saya kenal sejak tadi siang, kira-kira jam 11:00-an di balai desa. Karena kebetulan, oleh kelompok, saya ditempatkan didusun tersebut untuk belajar pada masyarakatnya. Perbincangan dengan kasun mengalir begitu saja dengan bahasa jawa halus yang dicampur bahasa Indonesia. Setelah berbincang ini itu sambil menunggu redanya hujan, saya dan dua teman saya mencoba meminta untuk jalan-jalan, mengamati dusun 5, sebagai tritorial daerah tanggung jawabnya. Dengan sigap, Pak Kasun menyepakati. Dalam perjalanan dengan naik motor, Pak kasun mulai cerita banyak hal tentang daerah tritorialnya, mulai dari sisi ekonomi, budaya, dan agama masyarakatnya. Sampai tanpa sengaja, saya bertemu dengan pimpinan pengelola waduk disebuah warung kopi, yang kebetulan waduk tersebut berada didaerah tritorialnya. Perbincangan saya dengan Pak Kasun dan pengelola waduk tersebut, masuk pada dinamika Indonesia, mulai urusan terkecil sampai paling besar, tidak bisa dilepaskan dari praktik korupsi, kolusi, dan nipotisme. Ternyata, apa yang saya utarakan tentang daerah asal saya tentang pelayanan pemerintahan, tidak jauh beda dengan dinamika pelayanan pemerintahan didesa yang saya tempati ber-KKN ini. Hujan reda, saya melanjutkan ekspedisi saya untuk menyusuri dusun 5 dengan tetap didampingi Pak Kasun. Sampai ahirnya, saya berpamitan kembali ke Posko KKN, untuk melepas lelah dan makan siang.
Ini ceritaku, apa ceritamu…..hahaha

Komentar