Trompet; adalah aksesoris ‘wajib’ yang harus dibunyikan pada pergantian tahun baru masehi. Aksesoris ini terasa lengkap bila bersanding dengan mercom door yang biasa kita saksikan pada malam pergantian tahun tersebut. bagi saya, sejak empat tahun hidup di kota besar, hanya pada pergantian tahun 2009-2010 ikut meramaikan malam pergantian tahun tersebut. itu pun karena tidak berbiaya terlalu mahal. Cukup berjalan kaki dengan gerimis yang tidak terlalu. Merayakan tahun baru di JtV (Telivisi-nya orang Jawa Timur) yang diramaikan dengan orkes dangdut dan kehadiran budayawan Nasional Zawawi Imron asal Madura, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto. Wakil Gubernur Jawa Timur, M. Syaifullah Yusuf.
Keputusan untuk datang ke tempat ini, karena saya anggap tempat ini paling dekat dengan domisili saya, dan bisa saya jangkau dengan mudah dari sekian banyak tempat yang menjadi pusat acara malam pergantian tahun baru.
Keputusan untuk datang ke tempat ini, karena saya anggap tempat ini paling dekat dengan domisili saya, dan bisa saya jangkau dengan mudah dari sekian banyak tempat yang menjadi pusat acara malam pergantian tahun baru.
Di tengah rintik hujan tersebut, saya menunggu malam pergantian tahun dengan duduk agak ke balakang, bersama teman-teman satu kontrakan. Waktu itu kasus yang masih hangat adalah kasusnya Antasari Azhar. Sederet harap dari sejumlah tokoh yang datang dan ikut meramaikan acara tersebut, agar kasus atas Antasari Azhar bisa terselaikan dengan baik di tahun 2010. Sampai tahun 2012 kasus tersebut ditenggelamkan oleh kasus lain yang lebih besar. Bukan selesai, lho. Khusus tulisan kali ini, saya tidak mau melanjutkan dalam hal penegakan hukum, apalagi tentang politik. Stop sejenak. Hahaha.
Kembali lagi ke tahun baru, terompet dan mercon door, dari sisi ekonomi, menjadi peluang usaha yang menjanjikan. Atas siapa pun. Tergolong masyarakat kecil sekali pun. Dari sekian banyak penjual terompet yang saya temui, rata-rata masyarakat kecil dan berpendapatan pas-pasan. Buktinya, penjual terompet lebih banyak kita temui di pinggir jalan. Sedikit yang kita temui di mall dan toko-toko besar. Yang membeli dan meniup terompet pun, juga banyak dari masyarakat yang ekonominya pas-pasan. Kenapa bisa demikian? Karena pada sejatiya, 95 persen masyarakat Indonesia, berekonomi pas-pasan. (Mohon maaf, saya tidak menyertakan data, karena data yang berbau angka, sudah dipakai pemerintah dalam menjelaskan kemiskinan yang terjadi di negeri ini. Kata data ini, perekonomian meningkat, dan kemiskinan bisa ditekan. Siapa yang bertanggung jawab atas penjelasan tersebut?, bagi saya tidak ada yang bertanggung jawab. karena pada kenyataannya angka-angka versi pemerintah, bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Tidak percaya?, buktika sendiri. Hehehe).
Terompet dan asal usulnya
Pergantian tahun dengan meniup terompet di Indonesia, dipengaruhi oleh kebiasaan yang berkembang di Eropa. Karena Eropa sejak abad ke-18 sudah menjadi kiblat peradaban, maka semua yang berbau Eropa, banyak kita temui di negara mana pun, termasuk Indonesia. Kehidupan ala Eropa di Indonesia, bisa kita jumpai sejak kita terbangun dari tidur sampai mau tidur lagi. Gaya hidup, makan, berpakaian sampai menyikat gigi menjelang dan bangun tidur sekalipun semua ala orang Eropa. Maka jangan heran, jika terompet pada pergantian tahun baru masehi bisa kita dengarkan di seluruh penjuru negeri ini.
Pertanyaannya, apakah masyarakat Indonesia tidak mempunyai cara tersendiri dalam merayakan malam tahun baru? Sejauh ini, saya belum mengetahuinya. Yang saya tahu dan diajarkan sejak kecil setiap ada moment tertentu hanyalah doa bersama mengharap kehidupan yang lebih baik dan keselamatan hidup dunia sampai akhirat. Itu saja, tidak ada ajaran untuk meniup terompet dan menyulut mercon. Kebiasaan meniup terompet dan menyulut mercon pada pergantian tahun baru, baru saya kenal sejak tahun 2009 di Surabaya, selama saya dikampung dan belajar dipondok pesantren selama 8th tidak bertemu dengan kebiasaan, apalagi anjuran dan ajaran untuk meniup terompet dan menyulut mercon. Sekali lagi, baru saya temui setelah di Surabaya. Saya fikir, kebiasaan meniup terompet pada pergantian tahun masehi adalah hal yang asing dalam hidupku, jika menyulut mercon, sudah terbiasa dikampung ketika masuk bulan Ramadhan dan Hari Raya. Jadi jangan heran, jika banyak teman sibuk menentukan diri untuk merayakan pergantian tahun, saya sendiri malah asyik dengan hal lain yang menurut saya penting. Lagian, mari fikir, apa sisi posiitif yang bisa kita ambil dari perayaan pergantian tahun dengan meniup terompet dan menyulut mercon? Saya rasa hal tersebut hanya buang-buang waktu, uang, dan yang paling miris menggangu ketenangan orang yang mau dan sedang beristrihat. Cuma, sekali lagi saya ingatkan, kita masih terjebak kepada paradigma yang kurang tepat. Sesuatu yang dari Eropa, seakan semuanya ‘wajib’ kita ikuti tampa difikir terlebih dahulu apakah sesuatu itu berefek positif atau negative. Tidak hanya soal terompet dan mercon, dari banyak hal. Kita lebih bangga makan di KFC dari pada diwarung kecil, kita lebih bangga pada produk ber-merk/brand Eropa dari pada produk dalam negeri. Kita lebih bangga mengunakan bahasa orang Eropa (Inggris) dari pada mau menggunakan bahasa kita sendiri dengan keragaman bahasa yang kita punya. Semua yang pada dasarnya lahir secara alamiah dari diri kita, seakan kita bersepakat untuk kita ganti dengan kebiasaan dan gaya orang eropa. Dimana efek negatifnya, kadang lebih besar dari positifnya. Kemudian, apakah kita akan terus menerus begini?
Mari berefleksi, usul saya, akan lebih baik, jika moment pergantian tahun, kita jadikan momentum untuk menyiapkan diri, dalam menata diri, masyarakat, bangsa dan Negara menuju lebih baik. Kebiasaan meniup terompet dan menyalakan mercon, bisa kita ganti dengan doa bersama, yang dilanjutkan dengan berefleksi mengukur ketercapaian, dari setiap target hidup yang kita susun, dan mengevaluasi segala kekurangan dan kelalaian yang pernah dilakukan dan terjadi.
Mari berefleksi, semoga masa-masa yang akan kita lalui, bisa menjadi masa yang lebih baik dari masa yang sudah kita lalui. Karena pada hakikatnya, kita semua menunggu giliran mati, dan kematian, tambah hari tambah dekat.
Mari berefleksi, semoga masa-masa yang akan kita lalui, bisa menjadi masa yang lebih baik dari masa yang sudah kita lalui. Karena pada hakikatnya, kita semua menunggu giliran mati, dan kematian, tambah hari tambah dekat.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...