14th
sudah, reformasi dinegeri ini digelorakan, dan 14th sudah, rezim
yang dikatakan diktaror tumbang. Hari itu, setelah Presiden Soeharto menyatakan
mundur dari kursi kepresidenan, hampir semua masyarakat Indonesia, lebih-lebih
para reformis yang dimobilisir oleh mahasiswa dari Sabang-Mirauke, sorak sorai
gembira, karena penguasa yang dianggap tidak pro rakyat, sudah digulingkan dan
dimundurkan secara paksa atas kehendak rakyat. Hidup rakyat, hidup rakyat,
hidup rakyat. Seakan, kemenangan benar-benar ditangan rakyat. Dan kekuasaan
rakyat, berada diatas segalanya.
Kemenangan
Semu
14th
sudah, kemenangan itu, masih saya maknai sebagai kemenangan semu, kenapa?,
karena teriakan hidup rakyat, dalam perjalanannya sampai kini, berbanding
terbalik dengan kondisi rakyat yang tetap melarat, miskin, bodoh, dll. Mereka
yang dulu berteriak akan memperjuangkan nasib rakyat berbanding terbalik dengan
prilaku mereka yang tidak pro rakyat. Mereka yang dulu bergerak atas nama
rakyat dalam menumbangkan rezim yang dianggap otoriter ternyata sekarang
melanjutkan system yang dijalankan pemerintah yang otoriter. Pada prinsipnya,
aktifis reformis ’98, hanya mampu manumbangkan rezim otoriter yang dipinpin
Soeharto. Mereka tidak mampu mengisi kemenangan tersebut. Prilaku rezim yang
korup, manipulatif, kolutif, menjadi prilaku yang mendominasi mereka yang dulu
sebagai aktifis reformis. Para reformis,
sekali lagi, hanya bisa menumbangkan rezim yang dianggap tidak pro rakyat, para
reformasis, belum mampu mengisi reformasi itu kearah yang lebih baik. Yang
bikin pedih dan miris, ketika para reformis waktu itu, dan sekarang menjadi
pengendali dan pelaksana system pemerintah, sikap dan sifatnya tidak jauh
berbeda dengan pemerintah di era rezim Soeharto. Ya, reformasi hanya kedok,
untuk menganti posisi pemerintah rezim, kepada pemerintahan, yang menurut saya
tidak berjenis kelamin.
Perbaikan System
Sejak reformasi,
system pemerintahan kita, memang sudah mengalami perbaikan, UUD ’45 sudah
diamandemen sampai lima kali, undang-undang ini, undang-undang itu sudah mulai
dibuat, perubahan kearah yang lebih baik sudah mulai ada dan terbentuk, walau
dalam perjalanannya masih tertatih-tatih, Lembaga kehakiman sebagai lembaga
pengadilan juga sudah direformasi. Hadirnya lembaga Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dimantapkannya undang-undang Komisi Yudisial (KY) sebagai
lembaga pengontrol Kehakiman, dan banyak lagi aturan lain yang saya yakin
substansinya untuk memperbaiki kondisi Indonesia kearah yang lebih baik.
Dari perubahan
yang telah ada diatas, masih belum didukung oleh prilaku pelaksana system itu
sendiri. System yang ada, malah marak dipolitisir untuk kepentingan pribadi dan
golongannya. Setelah ditelisik lebih jauh, mendapatkan kesimpulan, bahwa meraka
yang berada diposisi pelaksana system, masih didominasi oleh orang yang dulu
berada dipemerintahan Soeharto. Sikap sifatnya, masih sangan kental dengan
sikap sifat waktu menjadi abdi dhalem pemerintahan Soeharto. Dan, dari
sikap sifat tidak terpuji itulah, semoga tidak menjalar terlalu lebar, pada
generasi selanjutnya yang sudah pasti akan melanjutkan perjalanan bangsa,
walaupun tidak bisa dipungkiri, sikap sifat itu sulit untuk dihentikan, karena
sudah ibarat virus yang siap menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja.
Jadi, karupsi, kolusi, dan nepotisme, tidak akan mudah dihapus dalam sejarah
peradaban masyarakat Indonesia. Dan, meraka aktifis reformis, yang sekarang
mengisi reformasi tersebut, ada yang berprilaku sebaimana sikap sifat mayoritas
pelaksana system dimasa orde baru, mari kita anggap, mereka adalah orang-orang
yang sudah terjangkiti virus orde baru yang substansinya distruktif. Masih
banyak orang idealis, dan yang memimpikan Indonesia lebih baik, dengan, paling
tidak dimulai dari diri sendiri untuk tidak berprilaku sebagaimana prilaku
‘kotor’ orang yang pernah ada dimasa rezim Soeharto.
Salam
Reformasi….
Marlaf
Sucipto
Mahasiswa
IAIN Sunan Ampel Surabaya
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...