ULANG TAHUN YANG KE-23

Kamis, 04 Mei 1989, jam 05:25 wib, saya dilahirkan dari seorang Ibu yang bernama Siti Nurhasanah. Ibu yang melahirkan tanpa pertolongan dokter dan dukun beranak ini pengorbanannya luar biasa dan mampu membesarkan sekaligus mendidik saya sampai sekarang diusia yang ke-23th.
Pada waktu saya lahir, kondisi keluarga saya jauh dari sempurna, dilihat dari kondisi masyarakat sekitar kampung saya. Aktifitas sehari-hari mayoritas masyarakat kampung saya adalah bertani, termasuk juga orang tua saya. Hasil pertanian dari ladang sendiri, sangat tidak cukup untuk kebutuhan makan satu musim didalam keluarga saya. Waktu itu, keluarga saya berjumlah empat orang, terdiri dari saya, Ibu, Bapak, dan Nenek. Bapak dan Ibu setelah menggarap lahan sendiri, untuk mendapatkan tambahan pendapatan harus menjadi ‘buruh’ diladang orang lain. Sedangkan nenek, membantu orang tua saya mencari rumput untuk makan sapi dan kambing. Pekerjaan ini terus menerus dilakukan sampai tahun 1995. 1996, Bapak saya mencoba berwirausaha tembakau, wirausaha ini hanya bertahan sampai tahun 1998, akibat krisis moneter pada tahun tersebut, bapak saya mengalami kebangkrutan, hingga pindah usaha menjual kramik pecah/rusak[1]. Hal ini dimulai dari lantai dasar rumah saya sendiri sebagai awal permulaannya. Karena warga sekitar banyak yang tertarik dengan lantai kramik pecah sebagaimana lantai rumah saya, maka banyak warga masyarakan yang ingin lantai rumahnya dilantai sebagaimana lantai rumah saya. Melihat hal ini, menurut Bapak adalah sebuah peluang untuk tetap men-gepul-kan asap dapur agar tetap me-ngepul. Usaha ini digeluti sampai tahun 2003.

Sekilas Tentang Pendidikan Saya
Ditahun 2003, saya sudah kelas dua MTS, satu tahun lagi akan lulus. Bapak saya menyekolahkan  saya disuatu lembaga yang SPP-nya waktu itu Rp. 6000,-/bulan. Biaya yang cukup kecil jika dilihat dari sudut pandang saya sekarang yang sudah hidup di Surabaya. Dengan SPP se-gitu saya belajar. Sekolah itu saya jalani dari jam 07:00-12:00 Wib. Hari minggu libur. Jam 14:00-17:00 saya sekolah Diniyah yang tidak ada SPP-nya, Cuma dikenakan sumbangan tahunan untuk kegiatan Haflatul Imtihan sebesar Rp. 5000,-. Menjelang Magrib-Isya’ saya ke Mosholla untuk belajar ngaji al-Quran. Hal tersebut saya tekuni sejak tahun 1993. sejak tahun 1996, saya sudah diminta untuk bermalam di Musholla, agar subuhnya bisa sholat berjamaah dan ngaji al-Quran. Tahun 1999, saya dimondokkan kepondok pesantren yang berada dikampung saya sendiri. Sejak itu saya  terpisah dari orang tua dan baru bisa bertemu sekali dalam sebulan. Mondok dipesantren tersebut, saya mendapatkan tambahan belajar. Jam 06:00-07:00 ngaji kitab. Jam 07:30-13:00 saya sekolah formal. Jam 14:00-17:00 sebagaimana biasa saya sekolah Diniyah. Sejak mondok, baru bisa istirahat setelah sholat isya’. Istirahat saya waktu itu, biasanya diisi dengan kegiatan menanak dan bercanda tawa dengan teman. Sejak mondok juga, saya dibiasakan bangun jam 03:00 untuk sholat tahajjud yang nyambung dengan sholat subuh, habis subuh ngaji quran dan dilanjutkan ngaji kitab kuning sampai jam 07:00. Terus menerus seperti itu sampai tahun 2004.
Tahun 2004 saya lulus MTS, sejak lulus MTS saya langsung dimondokkan lagi keluar daerah saya, yaitu ke Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep. Dipondok baru ini, saya belajar lebih padat dan lebih ketat. Berat, disatu dua bulan pada awal saya mondok. Karena mungkin saya masih belum terbiasa dengan kondisi tersebut. Tiga bulan saya dipondok, saya tidak kerasan, karena aktifitas padat dan ketatnya peraturan pondok tersebut. Atas hal tersebut, saya dimarahi, dan ditekan oleh orang tua saya untuk tetap bertahan dipondok, apapun masalahnya. Karena sudah dipaksa oleh orang tua, saya bertahan. Sampai satu tahun dipondok pesantren, saya sudah merasa nyaman dan bisa menyesuaikan dengan suasana pondok pesantren tersebut. Setahun dipondok pesantren, ssaya belajar ilmu dasar agama, melalui kiai dan para ustadz, merasa jenuh dengan ilmu dasar agama yang terus menerus diulang, dua tahun selanjutnya, saya belajar ‘nakal’, alias membaca buku-buku yang tidak pernah diajar oleh kiai dan para ustadz. Sejak itu, tempat saya bukan dikamar dan di Musholla, tapi sudah lebih sering diperpustakaan. Sholat jama’ah, ngaji kitab, semakin jarang saya ikuti. Saya sholat sendiri dan jamaah sendiri dengan teman-teman yang sama diperpustakaan. Tahun ketiga-keempat dan kelima saya tetap suka diperpustakaan, hampir semua buku-buku diperpust saya lahap habis. Tiga tahun berlama-lama diperpus, nalar kritis saya, sudah tumbuh dan berkembang pesat. Kondisi sekitar menjadi objek utama tumpahan nalar kritis saya. Mulai dari managemen pondok pesantren, materi sekolah Diniyah, dan managemen organisasi pondok pesantren itu sendiri. Menjelang tahun keenam saya dipondok, saya merasa penting untuk mengorganisir orang, aliar belajar berpolitik. Sejak saat itu, kegiatan baca-baca saya hampir terpotong 12 jam untuk kegiatan belajar organisasi. Dari organisasi itulah saya banyak belajar. Saya aktif dipengurus OSIS MA 1 Annuqayah, Ketua Masa Orientasi Siswa MA 1 Annuqayah, Ketua Ikatan Santri Annuqayah Daerah Lenteng (PERSAL), Badan Pengabdian Masyarakat Pondok. Tahun 2008 saya lulus, dan melanjutkan study ke IAIN Sunan Ampel Surabaya sampai sekarang.

Pengorbanan Besar Orang Tua
Saya lahir dari orang yang, dari segi materi serba kekurangan. Waktu sekolah Madrasah (MI) dulu, ditahun 1996, saya disanguni Rp.100,-/hari, untuk sekolah Diniyah Sore, saya disanguni Rp. 50,-. Mondok dilembaga daerah saya 1999-2003, dapat kiriman Rp. 5.000,-/bulan. Pindah Mondok ke Annuqayah, 2004-2008, saya dapat kiriman Rp.100.000,-/bulan. Semua itu saya dapat. Karena usaha, doa, dan semangat kuat orang tua saya. Alhamdulillah, dengan kondisi keluarga yang tambah hari tambah baik, kedua orang tua saya mampu menyekolahkan saya ke IAIN Sunan Ampel Surabaya. Bahkan, ketika dulu Orang tua saya mau melepas saya untuk study di Surabaya, beliau hanya melepas dengan bekal meteri yang terbatas, doa yang tiada batas, dan pesan yakin, bahwa saya harus bisa lebih baik dari kondisi orang tua yang, tidak pernah mendapatkan pendidikan formal, SD saja tidak sampai selesai, ngaji quran tidak selancar dan sepandai saya dan adik saya, akta nikah tidak punya, karena nikahnya dulu hanya sampai dikiai dan tidak punya modal untuk mengurus administrasi nikah ke pemerintah.
Walaupun dengan hal diatas, saya tetap bangga dengan orang tua saya, karena banyak remaja seumuran saya, lebih-lebih yang ekonominya diatas saya, tidak seberuntung saya untuk melanjutkan study kekota besar ke-2 di Indonesia. Dan Alhamdulillah, ternyata doa dan semangat kuat orang tua saya mampu meningkatkan taraf hidup saya dan keluarga saya menjadi keluarga yang dari sisi ekonomi, sekarang sudah tergolong diatas rata-rata.
Hal ini semoga menjadi jawab, terhusus untuk masyarakat didaerah saya, bahwa kerja keras dan menyekolahkan anak, tidak menjadikan keluarga miskin, lebih-lebih miskin harta. Karena pemahaman umum masyarakat daerah saya, jika menyekolahkan anak hanya akan menguras harta, dan akan memperpuruk ekonomi keluarga.

Sekarang Dan Selanjutnya Saya Buktikan !
Oke, saya memang lahir dari keluarga yang serba berkekurangan
Oke, saya memang lahir dari keluarga yang tidak lulus pendidikan formal dasar sekalipun
Oke, ilmu dan pengetahuan orang tua saya memas pas-pasan dan tidak mengerti tentang kemjuan zaman, bahkan untuk menulis SMS-pun beliau tidak tahu.
 Oke, orang tua saya bukan dari golongan ningrat dan darah biru yang punya akses untuk pundi-pundi kekayaan.
Tapi, saya bangga, karena orang tua saya
Pekerja keras
Doanya mantap
Dan yang paling penting, sudah mampu mengantarkan saya berada diposisi yang sejajar, dengan mereka-mereka yang orang tuanya, dari segi harta, tahta, dan akses pada kemajuan zaman lebih maju dari orang tua saya yang kampungan, dan ndesso.
Semoga hal diatas, menjadi bekal saya, dalam menatap hari esok yang harus lebih baik.
Terimakasih atas Doa sahabat, kolega, karena doa saudara, saya dapat kembali bernafas, diumur yang ke-23th.
Siapun saudara, representasi dari strata sosial manapun, harus tetap selalu optimis karena, kekayaan bukan karena apa-apa, melainkan karena berwirausaha. Berilmu dan berpengatahuan juga bukan karena apa-apa, melainkan karena belajar yang sungguh-sungguh.
Terimakasih, semoga kita semua termasuk orang yang beruntung dan mamanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Berilmu karena Belajar, kaya karena berusaha dan pekerja keras. Bukan karena orang itu keturunanya siapa.
Apabila kita lahir dalam keadaan miskin dan bodoh, itu bukan kesalahan kita, tapi kalau kita mati dalam keadaan miskin dan bodoh, itu murni kesalahan kita.
Salam!


[1] Penggunaan Kramik pecah untuk dipasang dilantai rumah dikampung saya dipopulerkan oleh Bapak saya sendiri, karena waktu itu, hampir semua warga kampung saya tidak ada yang lantai rumahnya menggunakan kramik, mayoritas plesteran biasa dengan bahan dasar semen yang dicampur tanah.

Komentar