Kerapan Sapi, adalah entitas khusus
budaya masyarakat Madura. Budaya ini tidak dimiliki oleh daerah lain. Bahkan
didunia sekalipun, satu-satunya kerapan sapi hanya ada di Madura.
Sapi kerapan, hanya sapi asli
Madura. Sapi Madura punya ciri khas tersendiri dan tidak sama dengan sapi
diluar Madura. Sapi Madura lebih liar, lebih bringas, lebih sangar, ketimbang
sapi luar Madura. Maka disitulah, salah satu alasan warga Madura dalam menyelenggarakan
kerapan sapi.
Kerapan sapi dihelat sekali dalam
setahun dengan beberapa tahap. Tahap pertama, kerapan sapi ditingkat desa. Pada
tingkat ini sapi yang dikerap hanya dalam lingkup desa dan lima pasang pemenang
kerapan sapi ditingkat desa ini, selanjutnya dikirim dalam tingkat kecamatan,
lima pemenang yang menang ditingkat kecamatan, dikirim dalam tingkat kabupaten,
dan sepuluh pemenang dalam tingkat kabupaten, dikirim dalam ajang kerapan Sapi
se-Madura. Ini dari segi peringkatan.
Dari sisi aturan. Waktu kerapan
sapi dihelat ditingkat desa, dikendalikan, diatur, dan dimobilisir oleh kepala
desa dan perangkatnya. Termasuk dalam pengamanan acaranya sekalipun.
Konsolidasi (paremphekhen: Madura)
mulai dari kepala desa, perangkat desa, tokoh masyarakat, dan para pemilik sapi
dilakukan. Semata-mata agar perhelatan kerapan sapi berjalan lancar sebagaimana
rencana. Ini dilakukan, karena masyarakat Madura, tempramentalnya sangat peka
dan mudah melakukan Carok[1]
apabila terjadi ketidak sefahaman antar satu dan yang lainnya. Perundingan yang
menghasilkan mufakat untuk mengamankan acara kerapan sapi ini dibuat hitam
diatas putih dan ditanda tangani oleh pihak terkait. Berikutnya sebagai laporan
untuk kecamatan dan kepolisian dalam permohonan surat izin pelaksanaan kerapan
sapi.
Dari kometmen diatas, bila
terjadi suatu hal diluar mufakat yang sudah ditanda tangani bersama, maka
kecamatan dan kepolisian berhak menindak dan memintai pertanggung jawaban
kepada pihak yang telah turut bertanda tangan tersebut untuk turut bertanggung
jawab. Bilamana tidak, sangat mungkin dipermohonan izin kerapan sapi ditahun
berikutnya. Tidak dikeluarkan oleh kepolisian dengan alasan keamanan.
Hal-hal yang sering terjadi,
lagi-lagi adalah carok, bila carok terjadi, kadang kepolisianpun tak mempan
untuk mengamankannya. Walaupun carok sering mewarnai perhelatan kerapan sapi,
kerapan sapi tetap terus berlanjut sebagaimana rencana.
Kerapan sapi ditingkat kecamatan,
dimobilisir langsung oleh camat dan perangkatnya, dibantu tokoh masyarakat, pemilik
sapi dan orang-orang yang dibentuk oleh kecamatan. Biasanya ditingkat kecamatan
ini, managemennya lebih baik dari tingkat desa. Dan resiko caroknya pun lebih
kecil dari tingkat desa.
Ditingkat kabupaten, dimobilisir
langsung oleh Bupati yang bersankatun, pengamanannya pun ekstra tegas dan ketat
ketimbang tingkat desa dan kecamatan. Pengamananya di handle langsung oleh
polres dan TNI. Dan resiko caroknya sangat tipis, bahkan nyaris tidak ada.
Nah, ditingkat akhir, kerapan
sapi se-Madura, penanggung jawabnya adalah Empat Bupati yang berada di Madura.
Pengamanannyapun langsung dari Polda Jawa Timur dengan resiko carok yang tidak
ada. Kenapa, karena kerapan sapi ditingkat Kabupaten dan Se-Madura, penonton
yang masuk, diperiksa terlebih dahulu bawaannya sebelum masuk kedalam stadion
kerap. Dan cara menontonyapun tidak berdesak-desakan kayak ditingkat kecamatan
dan desa. Sudah tertata lebih rapi, duduk diatas tribun dan pandangan mata
menjangkau lapangan mulai start sampai finis.
Kerapan Sapi dan Identitas Sosial
Masyarakat Madura pecinta sapi
kerap, berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan sapi kerapan yang terbaik.
Karena dengan sapi kerap, harkat dan martabat seorang warga Madura menjadi
tujuan klis yang ingin digapainya. Ketika sapi kerap menjuarai pertandingan,
maka harkat dan martabat orang yang mempunyai tersebut menjadi terpandang. Tergantung
kelas dimana sapi tersebut menjadi juara. Menang dalam lingkup desa, maka
pemilik sapi pemenang tersebut menjadi terpandang di seantaro desa. Begitu seterusnya,
tingkat kecamatan, kabupaten dan se-Madura. Yang bikin kuping panas dan bahu
terangkat, ketika sapi kerapan tersebut menjuarai dalam pertandingan se-Madura.
Menjadi orang terpandang se-Madura, bisa dilalui dalam memenangi pertandingan
kerapan sapi di Madura. Kenapa demikian?, kerena ketika sapi tersebut lahir
sebagai juara, secara tidak langsung, orang yang mempunyai sapi tersebut dikatakan
sebagai orang yang berada diatas rata-rata. Mulai dari sisi ekonomi, dan kelas
sosial.
Antara Harta dan Prestise
Biaya perawatan sapi kerap,
sangat mahal. Harus kerja ekstra agar sapi benar-benar siap menjadi sapi kerap.
Jamu yang terdiri dari rempah-rempah, telur menelan biaya jutaan rupiah. Cari mandinyapun
lebih istimewa dari sapi biasa, bahkan dari pemilik sapi sekalipun. Ada ramuan-ramuan
khusus sejenis SPA bagi orang dikota besar. Tiga bulan sebelum pertandingan,
perawatan sudah mulai ditingkatkan. Mulai dari pemijatan, jamu, sampai
ramuan-ramuan husus demi vitalitas agar menjadi sapi terbaik selama
pertandingan. Sehari sebelum sapi diberangkatkan kelapangan untuk dilomba,
biasanya sang pemilik sapi mengadakan doa bersama demi keselamatan dan
kemenangan sang sapi yang akan diikutkan lomba. Sapi tersebut dipajang didepan
rumah, dihadapkan pada undangan warga sekitar yang turut mendoakan sapi
tersebut. Dan semalam suntuk sapi tersebut dipajang didepan rumah sampai mentari
pagi menyinari hari. Semalam itu pulalah, warga sekitar, lebih-lebih pemilik
sapi, juga turut tidak tidur sampai pagi, hal itu diyakini sebagai suatu
tirakat untuk kebaikan dan kemenagan sapi pada waktu perlombaan. Setelah lomba
usai, dan sapi benar-benar menjadi sang juara, sang pemilik sapi tersebut
menyelenggarakan tasyakuran. Dan sapi tersebut, lagi-lagi dipajang didepan
rumah semalam suntuk dengan warga sekitar yang tidak tidur karena turut bangga
atas capaian prestise yang telah digapainya.
Bicara prestise/kebanggaan, bagi
orang Madura, nilainya tidak bisa ditukar dengan uang/harta. Karena prestise
tersebut akan menjadi identitas sosial yang akan dikenal sepanjang waktu. Bahkan
ketika meninggal sekalipun. Sejarah kemenangan kerapan sapi menjadi cerita dan
kabar yang turun temurun. Walaupun orang yang mempunyai sapi juara tersebut
meninggal dunia, sejarah kemenagan itu tidak akan ikut terkubur. Anak cucu dan
buyutnya akan turut membanggakan atas capaian sang kakek dalam merawat dan
memenangi pertandingan kerapan sapi pada jamannya.
Jika dilihat dari sudut pandang
materi, mempunyai sapi kerapan sungguh rugi. biaya perawatan sampai biaya
sebelum dan sesudah lomba kerapan sapi menelan biaya yang tidak kecil. Toh walaupun
memenangi juara sekalipun, harga hadiah tidak sebanding dengan biaya perawatan.
Tapi karena nilai dan kebanggaan menjadi satu-satunya tujuan, maka biaya yang
besar, tidak menghalagi semangat para pecinta sapi kerap untuk memenangi
perlombaan. Menang bukan karena maksud merebut rupiah, tapi menang karena maksud
kebanggaan dan harga diri sang pemilik sapi kerap.
Salam Budaya….
Salam Budaya….
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...