Hari ini, Kamis, 15 November 2012
saya hadir dalam sebuah diskusi yang helat oleh Ikatan Mahasiswa Sumenep
(IKMAS) di Surabaya. Diskusi tersebut mengangkat tema “PESANTREN”. Dari sekian
dialektika yang terbangun dalam menbincang pesantren, teman-teman punya
pemahaman sendiri-sendiri dan punya sudut pandang yang beragam. Rata-rata,
dipengaruhi oleh kitab, buku yang membahas tentang pesantren, dan pengalamannya
selama nyantri di Pondok pesantren. Pesantren dikomentari sesuai dengan
sudut pandang dan pemahamannya masing-masing.
Deskripsi ini dibuat, tidak untuk
membenarkan pendapat saya dan teman-teman selama diskusi itu dihelat. Tapi hanya
sekedar memaparkan akan hal yang di dialektikakan selama diskusi tersebut
berlangsung.
Dari sekian komentar yang saya
tangkap, seakan membenarkan bahwa di pesantren itu berfaham otoritarianisme. Otoritarianisme
dalam arti, setiap pendapat dan perintah kiai maupun ustadz harus di ikuti dan
cendrung menjadi aturan. Sedikit santri yang membantah dan bisa jadi tidak
satupun santri yang berani membantah. Karena bila ada santri yang berani
membantah, konsekuensinya berat. Berat dalam arti, sanksinya bisa diusir dari
pesantren dan hukuman fisik.
Lagi, bila ada santri yang sedikit
berfikir atau bertindak ‘liar’ juga menjadi ancaman terusir dan mendapatkan
hukuman fisik. Liar dalam arti sempit, pemikiran maupun tindakan santri
tersebut tidak sesuai dengan pakem yang sudah digariskan oleh kiai
ataupun ustadz.
Jadi, akan hal tersebut, melahirkan
kesimpulan. Tindak tanduk kiai maupun ustadz menjadi hal yang harus bahkan
wajib untuk diikuti oleh santri. Bila mana tidak, konsekuensinya sebagaimana
yang saya ulas diatas.
Selanjutnya, ditanamkan kuat-kuat
dibenak santri, kata barokah, dimana barokah disini, sebagaimana kata ustadz
saya dulu selama nyantri disalah satu pondok pesantren, bermakana
tambahan nilai kebaikan. Bagi yang punya pemahaman lain. Silahkan!. Bila santri
yang bertindak dan melakukan hal yang berkaitan erat secara dekat maupun jauh
dengan kepentingan kiai maupun ustadz, maka terkonstruk-karena memang sengaja
dikonstruk-dalam benak santri untuk dan akan mendapatkan barokah tersebut. Jadi,
barokah difahami, hanya bisa didapat apabila santri tersebut bertindak atas dan
untuk kepentingan kiai maupun ustadz. Banyak santri yang berlomba-lomba, bahkan
tidak sedikit yang ditemui untuk melakukan hal yang berkepentingan lansung dengan
kiai maupun ustadz.
Kemudian, anak kiai,
secara otomatis menjadi kiai. Secara otomatis pula, dihormat sebagaimana kiai
itu juga. Bahkan muncul celetukan, jangankan anak kiai, peliharaan kiaipun harus
dihormat dengan mempeliharanya sebaik-baiknya. Peliharaan tersebut bisa berupa
hewan ternak sejenis kambing, sapi, dan yang lainnya. Termasuk juga hewan
sejenis kucing, barung atau yang lainnya. Yang pasti, sekali lagi!, semua yang
berhubungan dan kepentingan kiai maupun ustadz menjadi harga mati yang harus
diikuti, dan dihormati. Hal seperti ini masih tidak terlalu parah dan tidak
terlalu menimbulkan masalah. Yang bikin masalah adalah, apabila ada anak kiai
yang menabrak pakem standart kebaikan yang telah dibentuk oleh masyarakat dan hukum
agama sekalipun, anak kiai tersebut masih tetap dipuja dan dimulya. Seakan,
santri maupun masyarakat harus bermufakat untuk memaklumi prilaku anak kiai
tersebut. Istilah ngetrend-nya anak kiai tersebut dikenal dengan sebutan
helap. Bila kata helap tersandang dipundak sang putra kiai, maka
santri dan masyarakat ‘dipaksa’ memaklumi tindak tanduk sang putra kiai
tersebut walaupun tindakannya melanggar pakem dan hukum agama sekalipun.
Pakem disini saya maknai, standart kebaikan
dan keburukan dalam suatu masyarakat.
Kembali kepada putera
kiai yang helap. Juga sering terjadi dan ditemui, putra kiai tersebut
harus mengajar dan mutlak mengantikan-genarasi penerus-kiai. Dan, sering juga
banyak ditemui, tidak punya kapasitas untuk mengajar akan hal yang mesti
diajarinya, bahkan tidak sedikit yang ditemui, sang putra kiai tersebut, tidak
memunuhi standart dan kualifikasi keilmuan yang diajarkannya. Sehingga yang
terjadi kemudian, ‘penyesatan’ ajaran, dan tidak sesuai dengan standart dan
kualifikasi ilmu yang diajarkannya. Lagi-lagi, santri dan masyarakat, ‘dipaksa’
untuk memaklumi hal tersebut.
Kemudian yang terjadi
juga, pengankatan pengurus, tidak dibangun diatas dasar professionalism. Professionalism
dalam arti, yang diangkat oleh kiai maupun ustadz, atas dasar emosionalisme dan
pendekatan lain, dan memang jauh dari kapabilitas santri itu diangkat. Sehingga
yang terjadi kemudian, kepengurusan tidak bisa berjalan secara efektif karena pengurusnya
diangkat tidak atas dasar kapabilitas dan kapasitasnya masing-masing. Akan tambah
parah, apabila system dalam kepengurusan tersebut tidak dibuat dan dibangun
diatas pertimbangan sehat dan hati nurani. Tapi lebih kepada titah dan dawuh
kiai maupun ustadz. Akan menjadi super parah, apabila kiai maupun ustadz
tersebut, miskin ilmu menagemen dan tata kelola sebuah kepengurusan.
Bila hal diatas benar
adanya dan memang terjadi, saya punya jawaban agar hal diatas tidak terjadi, bila
tidak bisa ditolak, lebih-lebih diminimalisir dengan kiat, kerja keras dan
kerja cerdas. Agar keberlangsungan pesantren yang mengandung sejuta nilai
kebaikan tidak tergerus oleh jaman.
Diantaranya adalah,
agar pesantren tidak dicap otoriter. Maka perintah dan tindak tanduk kiai
maupun ustadz, harus dipertimbangkan nilai baik dan buruknya. Bila memang jelas
baik, jelas pantas untuk diikuti dan di amininya.
Kemudian, bila ada
santri berfikir dan bertindak nyeleneh diluar ajaran kiai maupun ustadz.
Berilah ruang untuk menjelaskan dan mengklarifikasi. Lagi-lagi pertimbanganya
adalah baik dan buruk. Bila fikiran dan tindakan santri tersebut akan
berimplikasi bahkan melahirkan suatu yang baik, kenapa harus ditolak?!. Dan bagi
saya saat ini, sudah haram hukumnya memaksakan sesuatu kepada siapapun. Apalagi
yang dipaksakan tersebut kadang sudah jelas akan berimplikasi negative dan
melahirkan suatu yang tidak baik. Jalan tengahnya, ikuti pepesan ulama’-bukan
kiai- terdahulu yang punya konsep “memelihara kebiasaan-budaya-lama yang baik,
dan membuat-mengambil-budaya-baru yang lebih baik”. Juga, selain pertimbangan
baik baik dan buruk. Kita, yang beragama islam, tidak dianjurkan oleh ajaran agama,
untuk memaksakan kehendak, termasuk kehendak baik sekalipun. Bila masih belum
yakin, pelajari pribadi rosul Muhammad dan kitab yang diturunkan kepadanya.
Putra kiai, selain
secara otomatis harus dimulya, dihormat, dan menjadi generasi penerus kiai. Juga
harus ‘dipaksa’ untuk belajar yang sungguh-sungguh. Agar, segala ucapan dan
tindakanya sesuai dengan pakem dan ajaran agama yang sesungguhnya. Hal-hal
yang sifatnya nyeleneh dan menimbulkan efek negative pada santri dan
masyarakat, harus difahami secara utuh, dan dikembalikan kepada fitrah manusia
yang tidak lepas dari sifat salah dan hilaf. Diperkuat oleh adegium, “sesuatu
yang keluar dari dubur ayam tapi telur, ambillah. Karena itu baik dan bagus. tapi
bila muntah walaupun itu keluar dari mulut, maka buanglah, karena itu tidak
baik dan buruk”. Sederhananya adalah “Lihatlah apa yang disampaikan, jangan
melihat siapa yang menyampaikan!” hal tersebut dalam maksud, walaupun kiai yang
menyampaikan, tapi itu tidak baik, maka jangan ikutilah. Walaupun orang yang
kita cap goblok dan hina sekalipun menyampaikan, tapi itu baik, maka ikutilah. Karena
baik buruk tidak atas dasar seseorang, tapi karena sebuah aturan yang
melahirkan keteraturan. Baik aturan itu berbentuk pakem maupun ajaran
agama. Agama disini saya persempit, agama Islam yang kaffah.
Pembentukan dan
pengangkatan pengurus, juga tidak harus melulu apa kata kiai maupun
ustadz. Tapi juga boleh dari yang lain. Dawuh kiai maupun ustadz juga
harus di uji nilai maslahah dan mafsadahnya. Siapapun saja boleh memberikan
saran dan masukan, tanpa harus memandang orang itu siapa dan dari mana, tapi
lebih kepada, apakah saran masukan tersebut baik apa tidak. Jika baik, kenapa
harus ditolak?!. Sekali lagi, tetap harus dengan pertimbangan akal sehat dan
hati nurani.
Bentuklah system yang
bagus dalam pembentukan, pengangkatan, dan managemen pengurus selama
menjalankan kepengurusan. Jika masih belum bisa membentuk system yang bagus,
utuslah atau datangkanlah orang yang kiranya bisa menularkan bagaimana
membentuk dan membuat system yang bagus. bangunlah networking yang
mantap, dengan siapapun saja dan teruji kredebilitasnya.
Jadi, semua yang
terjadi dalam pesantren, harus sudah saatnya dibangun diatas dasar professionalism.
Professionalism disini, meminjam bahasanya MH Ainun Nadjib “sesuai dengan
takarannya masing-masing”. Maksud dari kata takaran disini, berikan suatu hal
apapun pada orang yang membidanginya, bahasa pesantrennya, sesuai dengan keahliannya
masing-masing. Mereka yang ahli dibidang ilmu nahwu misalnya, suruh ngajar dan
memperaktekkan ilmu nahwu. Jangan yang lain. Biar tidak bikin pesantren
amburadal dan menggerus ketertarikan masyarakat untuk memondokkan putranya pada
sebuah pesantren.
Yakinkan masyarakat,
dengan kualitas santri yang sangguh menularkan manfaat dan membawa maslahah
kepada masyarakat.
Selain trah dan
keturunan itu penting, juga yang tidak kalah penting, professionalism dan
kesanggupan pribadi-pribadi dalam dunia pesantren berjalan sebagaimana
kapasitas dan kredibelitasnya. Pantaskan kiai dan putra kiai sebagaimana
tempatnya. Pantas dalam arti, segala tindak tanduk yang dilakukan kiai dan
genarasinya, jelas untuk maslahah yang dibangun diatas pertimbangan akal sehat
dan hati nurani. Toh bila misal jelek sekalipun, pahamilah kiai dan putranya tersebut
sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari sifat salah dan lupa.
Sadarkan masyarakat
sejak dini dan berikanlah pemahaman yang utuh.
Uraian diatas tidak
untuk diperdebatkan, dan diskusi IKMAS tidak atas penelitian ilmiah yang teruji
kebenaranya. Semua masih atas dasar pengalaman, pemahaman dari masing-masing
santri yang pernah nyantri di suatu pondok pesantren.
Jika memang ada
sanggahan yang sifatnya konstruktif, mari lanjutkan, sebagai maksud untuk tetap
memperbaiki diri dalam melahirkan sejuta manfaat untuk diri dan orang lain.
Salam Ta’dzim…
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...