Isu ini mengelinding begitu saja
ditengah masyarakat. Ada yang pro, kontra, bahkan tidak sedikit yang apatis
atas isu tersebut.
Yang berpendapat pro, rata-rata
karena, kata ulama’ mudah diklaim oleh siapapun tanpa ditopang oleh basic keilmuan yang kuat. Tidak hanya
sekedar itu, permusuhan, pertikaian, dan segala cikal bakal distruk dikawal
oleh orang yang tidak sedikit menyatakan dirinya adalah ulama’. Oleh sebab itu,
penting sertifikasi ulama’ itu diadakan untuk melindungi masyarakat dari
propaganda distruk yang kerap kali dikawal oleh orang yang mengatasanamakan
ulama’.
Yang berpendapat kontra, ulama’
tidak penting disertifikasi karena kata ‘ulama’ adalah gelar sosial yang
diberikan langsung oleh masyarakat tanpa harus melalui lembaga pembuat
sertifikat. Selain itu, ulama’ adalah bahasa lain dari seseorang yang menguasai
ilmu agama secara mendalam. Mendalam dalam arti, pemahaman keagamaannya
melebihi pemahaman umum masyarakat. Sehingga ulama’, dalam mindset umum
masyarakat, pantas dan layak dihormati, dimulyakan karena kedalaman ilmu yang
dimiliki dan prilaku terhormat dalam
kesehariannya.
Mereka yang apatis, berangkat dari
mindset yang berbeda dengan pendapat pro dan kontra. Kalangan ini menempatkan
ulama’ tersebut sebagaimana manusia lainnya. Menghormati, memulyakan sekedarnya.
Tidak ada fanatisme atas personifikasi ulama’. Jika ajaran ulama’ membawa dan
berdampak baik atas dinamika kehidupan yang tetap terus berlanjut, maka besar
kemungkinan ajaran tersebut tidak akan mendapat kecaman, termasuk dari orang
yang jauh sekalipun. Tapi, apabila ada ajaran ulama’ yang membawa dan berdampak
tidak baik atas dinamika kehidupan, maka besar kemungkinan ajaran tersebut akan
mendapat kecaman, termasuk dari orang dekat sekalipun. Orang yang berada
digolongan ini, sudah berada dalam tataran peradaban kehidupan yang lebih baik
dari dua pendapat pro dan kontra diatas. karena memandang ulama’, tidak atas
dasar syimbolisasi yang melekat dalam pribadi seorang ulama’, tapi lebih kepada
perkataan dan tindakan seorang ulama’ tersebut. Membawa kebaikan apa keburukan.
Jika baik diterima, jika buruk ditolak walaupun hal tersebut dari seorang ulama’
sekalipun.
Sertifikasi ulama’ muncul, akibat
segilintir orang yang mengatasnamakan ulama’ tapi prilakunya tidak mencerminkan
ke-ulama’an-nya. Sebagian, memang ahli dalam ilmu agamanya, tapi pekerjaannya
distruk. Membawa keresahan-keresahan dalam masyarakat. Mengkafirkan orang,
menyesatkan orang, bahkan ada yang tidak segan-segan mengatakan orang muslim
sudah tidak muslim lagi. Ini contoh kecil dari sekian tindakan distruk lainnya.
Apakah begini ulama’?. Akan hal tersebut, maka tidak heran bila muncul gagasan
untuk mensertifikasi ulama’. Tujuannya, agar mayoritas masyarakat Indonesia
yang masih bodoh dalam ilmu agama,
tidak semakin membingungkan dan memperbodoh umat. Lagian, masyarakat Indonesia,
yang memahami betul tentang ilmu agama masih sedikit, yang banyak adalah mereka
para penganut agama. Sedangkan para penganut, lebih berpegang kepada orang yang
menjadi imamnya. Sedangkan dalam agama, imam yang ditunjuk adalah para ulama’. Jadi,
ulama’ sebagaimana Imam Syafi’e, harus menjadi sosok figur yang baik, perkataan
dan tindakannya harus sesuai dengan nilai-nilai agama islam yang agung. Bilamana
tidak, tatanan luhur sebagaimana ajaran agama, tidak akan pernah digapai dan
tercapai.
Hakikatnya, kita semua berpeluang
untuk menjadi ulama’, ulama’ disini, ialah orang yang mengawal orang lain untuk
kebaikan dan kehormatan hidup dalam dinamika kehidupan yang tetap terus
berlanjut.
Wallahu A’lam….
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...