SERTIFIKASI ULAMA’?!



Isu ini mengelinding begitu saja ditengah masyarakat. Ada yang pro, kontra, bahkan tidak sedikit yang apatis atas isu tersebut.

Yang berpendapat pro, rata-rata karena, kata ulama’ mudah diklaim oleh siapapun tanpa ditopang oleh basic keilmuan yang kuat. Tidak hanya sekedar itu, permusuhan, pertikaian, dan segala cikal bakal distruk dikawal oleh orang yang tidak sedikit menyatakan dirinya adalah ulama’. Oleh sebab itu, penting sertifikasi ulama’ itu diadakan untuk melindungi masyarakat dari propaganda distruk yang kerap kali dikawal oleh orang yang mengatasanamakan ulama’.

 
Yang berpendapat kontra, ulama’ tidak penting disertifikasi karena kata ‘ulama’ adalah gelar sosial yang diberikan langsung oleh masyarakat tanpa harus melalui lembaga pembuat sertifikat. Selain itu, ulama’ adalah bahasa lain dari seseorang yang menguasai ilmu agama secara mendalam. Mendalam dalam arti, pemahaman keagamaannya melebihi pemahaman umum masyarakat. Sehingga ulama’, dalam mindset umum masyarakat, pantas dan layak dihormati, dimulyakan karena kedalaman ilmu yang dimiliki  dan prilaku terhormat dalam kesehariannya.

Mereka yang apatis, berangkat dari mindset yang berbeda dengan pendapat pro dan kontra. Kalangan ini menempatkan ulama’ tersebut sebagaimana manusia lainnya. Menghormati, memulyakan sekedarnya. Tidak ada fanatisme atas personifikasi ulama’. Jika ajaran ulama’ membawa dan berdampak baik atas dinamika kehidupan yang tetap terus berlanjut, maka besar kemungkinan ajaran tersebut tidak akan mendapat kecaman, termasuk dari orang yang jauh sekalipun. Tapi, apabila ada ajaran ulama’ yang membawa dan berdampak tidak baik atas dinamika kehidupan, maka besar kemungkinan ajaran tersebut akan mendapat kecaman, termasuk dari orang dekat sekalipun. Orang yang berada digolongan ini, sudah berada dalam tataran peradaban kehidupan yang lebih baik dari dua pendapat pro dan kontra diatas. karena memandang ulama’, tidak atas dasar syimbolisasi yang melekat dalam pribadi seorang ulama’, tapi lebih kepada perkataan dan tindakan seorang ulama’ tersebut. Membawa kebaikan apa keburukan. Jika baik diterima, jika buruk ditolak walaupun hal tersebut dari seorang ulama’ sekalipun.

Sertifikasi ulama’ muncul, akibat segilintir orang yang mengatasnamakan ulama’ tapi prilakunya tidak mencerminkan ke-ulama’an-nya. Sebagian, memang ahli dalam ilmu agamanya, tapi pekerjaannya distruk. Membawa keresahan-keresahan dalam masyarakat. Mengkafirkan orang, menyesatkan orang, bahkan ada yang tidak segan-segan mengatakan orang muslim sudah tidak muslim lagi. Ini contoh kecil dari sekian tindakan distruk lainnya. Apakah begini ulama’?. Akan hal tersebut, maka tidak heran bila muncul gagasan untuk mensertifikasi ulama’. Tujuannya, agar mayoritas masyarakat Indonesia yang masih bodoh dalam ilmu agama, tidak semakin membingungkan dan memperbodoh umat. Lagian, masyarakat Indonesia, yang memahami betul tentang ilmu agama masih sedikit, yang banyak adalah mereka para penganut agama. Sedangkan para penganut, lebih berpegang kepada orang yang menjadi imamnya. Sedangkan dalam agama, imam yang ditunjuk adalah para ulama’. Jadi, ulama’ sebagaimana Imam Syafi’e, harus menjadi sosok figur yang baik, perkataan dan tindakannya harus sesuai dengan nilai-nilai agama islam yang agung. Bilamana tidak, tatanan luhur sebagaimana ajaran agama, tidak akan pernah digapai dan tercapai.
 
Hakikatnya, kita semua berpeluang untuk menjadi ulama’, ulama’ disini, ialah orang yang mengawal orang lain untuk kebaikan dan kehormatan hidup dalam dinamika kehidupan yang tetap terus berlanjut.

Wallahu A’lam….

Komentar