BERANI JUJUR, HEBAT!


Tema diatas, di ambil dari slogan yang di pasang di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tema tersebut, dalam konteks tulisan ini, tidak untuk koruptor atau siapapun saja yang di minta ‘kejantanan-nya’ untuk melaporkan tindak pidana korupsi. Tapi lebih kepada seseorang agar berbuat jujur dalam melaporkan penghasilan dan pendapatan yang di dapatinya. Hususnya abdi negara.
 
Kompas, Senin, 25 Februari 2013 melaporkan tentang gaya kepemimpinan Wakil Gubernur Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama. Ahok-nama panggilan Basuki Tjahaja Purnama- melalui situs pribadinya, ahok.org, menjelaskan blak-blakan tentang gaji pokok, dan tunjangannya. Pilihan yang tidak semua pejabat berani melakukannya. Hal tersebut bagian dari buah demokrasi yang mengamanahkan untuk bersikap transparan. Amanah Undang-Undang (UU) No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadi instrumen yuridis dalam mempertegas sikap tersebut.

Banyaknya pejabat, maupun Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang saat ini kaya raya, sedangkan gaji pokok maupun tunjangan lainnya tidak menjangkau atas kekayaan tersebut, maka patut dicurigai sebagai koruptor. Apalagi asal-usul orang tersebut dari golongan masyakarat miskin dan tidak punya usaha bisnis yang memungkinkannya.

UU mengatur, setiap calon pejabat, agar melaporkan jumlah kekayaannya. Yang bergerak maupun tidak. Salah satu tujuannya, dalam rangka meminimalisir peluang tindak pidana korupsi yang kapan saja bisa terjadi atas pejabat dalam tingkat apapun.

Trobosan Ahok patut di acungi jempol positif, karena selain dirinya melaporkan daftar kekayaannya kepada negara, juga agar masyarakat tahu, kerja Ahok di gaji dari kas negara nilainya berapa. Tidak hanya itu, kibajakan politis pemerintah DKI Jakarta dalam mempublikasikan Anggrakan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan anggaran belanja biaya agenda dalam setiap tahunnya adalah bagian dari salah satu pertanggung jawabanya atas negara maupun rakyat. Tidak hanya negara yang dapat mengontrol uang tersebut, tapi juga rakyat punya hak untuk melakukan controling atas penggunaan uang yang ada. Mantapnya lagi, pemerintah DKI Jakarta kini, mampu melaporkan setiap program agenda yang telah dilaksanakan melalui media yang dapat di akses oleh masyarakat umum.

Jika semua instansi pemerintah bisa meniru gaya kepemimpinan pemerintah DKI Jakarta kini, maka penulis yakin, rakyat selaku orang pertama yang berkewajiban membayar pajak, lebih mungkin untuk berprilaku disiplin dalam membayar pajak. Banyaknya pajak yang tertunggak kini, salah satunya dipengaruhi oleh ketidak percayaan rakyat atas pemerintah yang dalam dasawarsa terahir, banyak terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Memang, kondisi negeri kita ini masih sakit, sakit karena ulah orang Indonesia sendiri yang culas. Pernyataan Deny Indrayana, waktu menjabat sebagai Juru Bicara (Jubir) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  (SBY) mengatakan bahwa, hampir 80% pejabat dan pegawai di Indonesia tidak profesional, penyebab utama ketidak profesionalan tersebut adalah sejak mau menjadi pejabat maupun pegawai, sudah penuh dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KNN). KKN itulah yang menjadi biang keladi utama. Karena mereka menjadi pejabat maupun pegawai atas dasar ‘wani piro’, maka setelah jadi, selain tidak bisa bekerja yang bagus, juga otaknya selalu berfikir, bagaimana caranya untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkannya sebelum menjadi pejabat maupun pegawai di maksud.

Itulah serangkaian sebab, kenapa korupsi di Indonesia sedemikian akutnya. Perubahan cepat bisa dilakukan dengan, sebagaimana pernah dilontarkan oleh Mahfud MD, “Bumi hanguskan seluruh komponen masyarakat, dan ciptakan masyarakat baru yang terputus dari pola pikir lama yang penuh dengan KKN”. Atau perubahan pelan tapi pasti, dengan, sebagaimana yang terjadi saat ini, para pejabat maupun pegawai hasil rekrutmen gaya lama, di training untuk dapat bekerja secara profesional dan melakukan pengangkatan pejabat berdasarkan fit and proper test, dan persyaratan lain yang menjauhkan dari tindak KKN. Sedangkan untuk pengangkatan pegawai, sudah diatur berdasarkan kemampuan yang dimiliki, tidak lagi-lagi, berdasarkan pendekatan KKN.

Perubahan pertama tidak mungkin, perubahan kedua mungkin tapi berat. Berat dalam arti, untuk mewujudkan pemerintahan Good Governance sebagaimana yang di cita-citakan, tidak semudah menyunggingkan senyum. Buktinya kini, masih kerap kali ditemui dalam jumlah kecil, calo PNS, yang mencoba meloloskan ‘orang’-nya di tengah aturan yang sudah serba ketat. Karena KKN sudah mengkarakter, mendarah daging, dan dianggap sah-sah saja dilakukan.

Mereka para abdi negara yang, meskipun telah di training berkali-kali tapi tetap tidak bisa bekerja secara profesional, tunggu saja masa pensiunnya yang kerap kali datang lebih awal lantaran terserang penyakit modern yang bernama strok, jantung, dan penyakit ‘ngetrend’ lainnya. Tidak perlu di bumi hanguskan sebagaimana gagasan diatas, karena Tuhan punya ‘cara’ tersendiri dalam ‘menghanguskan’-nya. Hehehe. Husus kalimat terahir, ini tidak serius.

Semoga Tuhan merahmati kita semua. Amien...

Komentar