MENGUAK SKANDAL MEGA KORUPSI DI IAIN SUNAN AMPEL


Part 2
Melanjutkan dari tulisan pertama, serasa kurang lengkap, menguak skandal korupsi hanya dari dua sisi sebagaimana tulisan sebelumnya. Mari penulis lanjutkan untuk memasuki dari sisi yang lain.

3. Perpustakaan
Sejak seseorang dinyatakan lulus sebagai mahasiswa, seseorang tersebut dikenai biaya pengembangan perpustakaan dan pelatihan penggunaan bahan pustaka sebesar 100 ribu rupiah per program, per semester, per mahasiswa. Setiap tahun kurang lebih mahasiswa yang diterima berkisar 3000 orang. Uang yang diperkirakan berkumpul dengan hitung-hitungan kasar sebagaimana di atas berjumlah 300 juta rupiah. Jumlah uang yang besar, sangat cukup dijadikan modal untuk memberikan pelayanan yang prima dan meng-upgrade bahan pustaka. Buku-buku lama yang sampulnya kumuh dan rusak bisa diperbaharui, buku-buku kontemporer yang up to date sesuai dengan spesifikasi jurasan bisa ditambah untuk diperbanyak, buku-buku yang menarik didiskusikan bersama dalam forum bedah buku bisa dihelat. Kepustakaan di bidang audio juga tidak luput dari pembaharuan, film inspiratif yang menggugah kreatifitas disediakan lebih banyak dari sekedar film yang substansinya hanya sekedar hiburan. Koran-koran nasional dan regional bisa di-upgrade setiap hari, majalah mingguan, bulanan yang terkait dengan pengembangan kompetensi dan kreatifitas mahasiswa pola sirkulasinya berjalan dengan lancar, dan layanan kepustakaan yang humanis juga tak luput dari pembaharuan.
Beberapa yang penulis kemukakan tersebut mestinya menjadi perhatian yang serius, nyatanya, kepustakaan yang berbentuk buku, audio, majalah, koran tidak diperbahurui secara proporsional. Buku-buku yang sampulnya sobek, kumuh tetap dibiarkan begitu saja, buku-buku baru yang mestinya kudu ditemui dalam perpustakaan yang di-‘iklan’-kan berbasis CDS/SIS (Cumputerized Documentation Service/Integreted set of information systems) tidak tersedia dengan baik. kata-kata “di-upgrade mengikuti perkembangan”  sebagaimana bunyi brosur yang dikeleuarkan setiap tahun tidak terbukti nyata, hanya sekedar nyata di atas kertas kosong tak bermakna. Buku-buku menarik yang mestinya penting dibedah untuk didiaologkan dan didisuksikan sejak penulis jadi mahasiswa belum pernah diadakan. Koran-koran tak terurus dan sirkulasinya tidak normal. Majalah yang menghiasi ruang tandon perpustakaan lebih banyak dipenuhi oleh majalah lawas, majalah baru untuk bulan ini lebih capat baru bisa dinikmati satu bulan atau dua bulan selanjutnya.

Apakah tidak cukup uang yang super besar tersebut menyelesaikan beberapa persoalan di atas yang mestinya tidak menjadi persoalan. Yang menjadi persoalan terbesar sesungguhnya adalah, bagaimana caranya mahasiswa mampu mengasah dan meningkatkan skill dan kreatifitasnya melalui perpustakaan. Buatlah mahasiswa kerasan dengan layanan yang prima dan fasilitas yang proporsional. Ketidakproporsionalan layanan perpustakaan, penulis meyakini, salah satunya adalah karena ada penyalah gunaan anggaran, atau ada ‘pengemplangan’ anggaran oleh pelaksana kebijakan terkait.

Penarikan dana sebesar 25 ribu per orang atas mahasiswa yang mau wisuda, juga tidak jelas peruntukannya untuk apa, walaupun misal penarikan dana tersebut di bawah SK rektor, seharusnya kebijakan tersebut tetap bisa dijelaskan penggunaannya untuk apa. Jangan membuat kebijakan yang peruntukan dan kegunaannya tidak bisa dijelaskan. Karena IAIN Sunan Ampel bila disederhanakan, ibarat penjual dan mahasiswa-lah sebagai pembelinya.

4. Asuransi
Setiap mahasiswa, dikenai biaya asuransi sebesar 5 ribu rupiah per semester. Mengacu kepada data yang didapat dari kantor akademik pusat, mahasiswa aktif yang melakukan registrasi di tahun akademik 2012-2013 semester genap, berjumlah 8.984 mahasiswa. Belum termasuk mahasiswa beasiswa yang tersebar di masing-masing fakultas. Belum juga termasuk mahasiswa S2, yang katanya bila ditotal, kira-kira berjumlah 10.500 mahasiswa. Luar biasa banyak, bukan? Semua mahasiswa yang penulis sebutkan, dikenai biaya asuransi dalam setiap semesternya. Berapa uang yang kira-kira terkumpul, silakan pembaca kalikan sendiri.

Dalam konteks ini, penulis hanya menuntut keadilan dari IAIN Sunan Ampel. Adik teman penulis di Fakultas Ushuludin, meninggal dunia karena sakit, dana asuransi yang turunkan IAIN melalui Lembaga Kemahasiswaan cuma 2.500 ribu rupiah. Mahasiswa Fakultas Syariah, yang menjadi korban pembunuhan, mendapatkan 3 juta rupiah. Uang yang dikucurkan sangat tidak imbang dengan nominal uang yang didapatkan oleh institusi itu sendiri. Tidak hanya berhenti di situ, IAIN Sunan Ampel yang mempunyai Lembaga Bantuan Hukum (LBH), khusus dalam kasus mahasiswa Fakultas Syariah tersebut, mestinya bisa memberikan bantuan hukum yang maksimal. Tapi kenyataannya, menurut direktur keterangan Direktur LBH, LBH diminta mendapingi kasus tersebut tanpa didanai sepeser pun dari IAIN Sunan Ampel itu sendiri. Padahal, LBH butuh uang operasional dalam kasus tersebut. Juga, LBH butuh partner advokat ahli hukum acara murni yang professional. Tapi karena LBH hanya diminta mendampingi tanpa didukung oleh uang oprerasional, maka LBH hanya membantu sekedarnya dan tidak bisa maksimal.

Dari dua kasus di atas, sungguh lembaga IAIN tak ubahnya ‘pemeras’ yang jelas-jelas menyengsarakan orang yang diperasnya.

5. Pelayanan Kesehatan
Setiap mahasiswa, dikenai biaya kesehatan sebesar 10 ribu per mahasiswa setiap semester. Hitung-hitungannya, sebagaimana hitung-hitungan sebelumnya. Cuma seberapa besar sih mahasiswa yang sakit dan dirawat di klinik IAIN Sunan Ampel? Semakin mempertegas bahwa penarikan dana kesehatan tersebut adalah kata lain dari pemerasan oleh IAIN Sunan Ampel ketika klinik tersebut hanya melayani penyakit ringan dan biaya obatnya sangat murah, bahkan obat-obat tersebut bisa didapat secara gratis di Puskesmas yang biaya obatnya didanai langsung oleh APBD maupun APBN. Klinik tersebut tidak bisa menangani penyakit gawat darurat yang dialami mahasiswa. Setiap mahasiswa sakit yang dirujuk ke klinik tersebut, dan klinik tersebut tidak bisa menanganinya, maka klinik tersebut merujuk mahasiswa ke rumah sakit umum dengan biaya sendiri. Sangat tidak adil rasanya atas perlakuan tersebut. Mengingat, uang yang terkumpul dalam setiap semester jumlahnya tidak sedikit. Apalagi, mahasiswa yang memeriksakan diri ke klinik, hanya sekian persen dari total mahasiswa yang ada. Dan mahasiswa yang sakit parah pun, hanya sebagian kecil dari jumlah mahasiswa yang ribuan.

6. Jurnal Fakultas
Setiap mahasiswa, dikenai biaya Jurnal fakultas sebesar 20 ribu rupiah per mahasiswa. Jurnal tersebut, yang penulis alami di Fakultas Syariah, tidak pernah jelas keberadaannya. Majalah Arrisalah yang pernah mengklaim dana tersebut, dibantah oleh pejabat fakultas, karena penarikan dana tersebut istilahnya “jurnal’, bukan “majalah”. Akhirnya, Majalah Arrisalah di-includ-kan pada dana DPP SEMA Syariah. Memang pernah dengar, di Fakultas Syariah ada Jurnal al-Qanun, tapi sampai penulis mau lulus pun, belum pernah kebagian untuk menikmati jurnal tersebut, atau memang jurnal tersebut tidak khusus mahasiswa. Bila memang benar, kenapa biayanya dibebankan kepada mahasiswa?

Entah di Fakultas lain, penulis belum sempat mengorek informasi terlalu jauh.

6. Tabloid Solidaritas
Setiap mahasiswa, dikenai biaya Tabloid Solidaritas sebesar 10 ribu rupiah per semester. Rencana agenda tabloid tersebut tidak normal karena salah satu alasannya adalah dana tersebut tidak bisa digunakan secara maksimal, begitulah yang dituturkan Pimpinan Umum (PU) tabloid tersebut. Tabloid yang sejatinya menjadi pengontrol kebijakan kampus menjadi ‘mandul’ karena dimandulkan sendiri oleh lembaga kampus itu sendiri. Ruag geraknya dibatasi, goresan penanya yang kritis dijegal melalui penerbitan yang hanya bisa diterbitkan melalui rekanan IAIN itu sendiri. Ahirnya, lembaga yang menerbitkan tabloid tersebut ibarat singa yang dikerangkeng dan dicopot gigi taringnya.

7. Caffe Maqha
Awalnya, gedung yang dijadikan caffe tersebut, adalah ruang kuliah Fakultas Tarbiah. Caffe tersebut muncul ditengah terbatasnya ruang kuliah atas fakultas-fakultas di lingkungan IAIN Sunan Ampel akibat adanya mega proyek dari IDB. Bukan caffe-nya yang akan penulis soal, tapi, bagaimana pertanggungjawaban pengelolaan caffe tersebut. Labanya masuk kepada siapa? Jika masuk ke institusi IAIN, laba tersebut dipergunakan untuk siapa?

Akhirnya
Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain menyangkut kebijakan dan pertanggungjawaban pengelolalan dan penggunaan dana yang jelas-jelas disebutkan dalam Statuta IAIN Sunan Ampel tahun 2008 adalah dari Sumber Pendapatan Belanja Negara (APBN), Sumber Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan dari Masyarakat yang berbentuk Sumber Pembinaan Pendidikan (SPP), biaya seleksi ujian masuk dan usaha-usaha lainnya.

Dana yang diproleh dari masyarakat, jelas diatur di dalam Statuta Bab XVII Pembiayaan Pasal 143 (5) yang berbunyi: “Penggunaan dana yag berasal dari masyarakat berpedoman pada prinsip transparansi, akuntabilitas, efesiensi, dan efektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

Dana yang jelas-jelas dari APBN dan APBD, diatur di dalam Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2003 tentang Keungan Negara, Bab I Ketentuan Umum pasal 3 (1)  yang berbunyi: “Keungan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan dan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.”

Di dalam UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 (3) yang berbunyi “Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh sumber dananya dari APBN dan APBD, atau sumbangan masyarakat dalam maupun luar negeri”. Di perkuat oleh Asas dan Tujuan Bagian Kesatu Pasal 2 (1) dalam UU yang sama berbunyi “Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik”.

Dari tiga undang-undang, dan Statuta 2008 sebagai landasan hukum dalam memotret problematika sebagaimana penulis paparkan, menjadi jelas bahwa IAIN Sunan Ampel telah ‘melanggar’ atas amanah undang-undang dan statuta tersebut. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bab II pasal (2) dan (3) menjadi pas untuk menjerat ‘pengemplang’ dana kegiatan mahasiswa di lingkungan IAIN Sunan Ampel itu sendiri.

Dan, menurut penulis, IAIN Sunan Ampel, tidak menjalankan amanah Statuta 2008 Bagian Kedua prinsip Managemen dan Akuntabilitas pasal 83 (1) yang berbunyi: “Institut menerapkan prinsip manajemen berbasis kinerja dan tata kelola peguruan tinggi yang baik”. Manajemen berbasis kinerja dan tata kelola perguruan tinggi yang baik dijelaskan dalam pasal (3) yaitu: “Bercirikan partisipatori, berorientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, di masa kini dan masa datang, efektif, efesien, ingklusif, dan mengkuti aturan hukum". Selain itu, juga tidak menjalankan amanah pasal 85 (5) dalam bagian yang sama, yang berbunyi: “Laporan ditempatkan di Perpustakaan Institut agar dapat diketahui oleh umum." Atas amanah pasal 85 (1) yang berbunyi: “Rektor wajib menyampaikan laporan semester tahunan dan akhir masa jabatan kepada menteri melalui Direktur Jendral setelah mendapatkan penilaian senat”.

Kenapa penulis ‘berani’ mengatakan demikian, karena penulis sudah bolak-balik ke perpustakaan institut untuk mengetahui laporan tersebut yang ternyata nihil sampai sekarang.

Pembaca tertarik untuk mengukur kebenaran tulisan penulis?, silahkan kroscek sendiri, penulis siap menunjukkan data-data yang telah dikumpulkan bersama rekan penulis.

Mohon maaf, inilah bentuk kecintaan penulis atas IAIN Sunan Ampel yang pada tanggal 16 Maret 2013 nanti, penulis akan diwisuda oleh lembaga tercinta kita ini.

Salam....

0 Komentar