MENYOAL SK SKORSING REKTOR IAIN SUNAN AMPEL

*Marlaf Sucipto
Tertanggal, 13 Maret 2013, Rektor IAIN Sunan Ampel, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) skorsing atas beberapa mahasiswa IAIN Sunan ampel yang melakukan demonstrasi, puncaknya, Rabu, 6 Maret 2013. Dalam demonstrasi tersebut, kebetulan berahir ricuh dan terjadi anarkhisme. Mahasiswa yang terindikasi melakukan anarkhis, perkembangan terahir, sudah berada di Rumah Tahanan (Rutan) Medaeng Surabaya, sambil menunggu proses persidangan dari pengadilan. Sebelumnya, para mahasiswa tersebut, melalui proses pendewasaannya di Polrestabes Surabaya.

Mahasiswa yang mendapatkan sanksi skorsing, ternyata tidak hanya mahasiswa yang saat ini berada di Medaeng, tapi juga mahasiswa yang tidak terindikasi melakukan anarkhis, juga mendapatkan sanksi skorsing. Alasan rektor meng-skorsing, karena mahasiswa yang tertuang dalam lampiran SK skorsing dianggap melanggar SK Rektor Nomor: In.02/1/PP.00.9/1199/P/2011 tanggal 12 Agustus 2011 tentang Kode Etik Mahasiswa IAIN Sunan Ampel. Dan, SK Rektor Nomor : In.02/1/PP.00.9/917/P/2012 tanggal 10 September 2012 tentang Panduan Penyelenggaraan Pendidikan Program Strata Satu (S1) IAIN Sunan Ampel.

Setelah saya pelajari, Kode Etik Mahasiswa, dan Panduan Penyelenggaraan Pendidikan Program Strata Satu (S1) IAIN Sunan Ampel Surabaya, ditemui beberapa kejanggalan. Diantaranya:

  1. Di dalam Kode Etik Mahasiswa, BAB I, KETENTUAN UMUM, Pasal 1, ayat (7) dijelaskan bahwa, “Pelanggaran kode etik adalah setiap sikap, perkataan, perbuatan dan busana yang bertentangan dengan kode etik mahasiswa”. SK skorsing atas mahasiswa yang tidak terindikasi melakukan anarkhis, bertentangan dengan SK Kode Etik Mahasiswa, BAB VI, SANKSI, Pasal 10, ayat (1), yang menjelaskan bahwa, “Pemberian sanksi yang dijatuhkan pada mahasiswa dilaksanakan setelah melalui proses pemeriksaan dan pembuktian”.
Melalui tulisan ini, saya tidak dalam rangka mengatakan mahasiswa yang di skorsing tersebut tidak bersalah dan tidak layak mendapatkan sanksi skorsing, tapi lebih kepada, hak mahasiswa, untuk diperiksa, dan dibuktikan kesalahannya juga penting. Mahasiswa yang disanksi skorsing tersebut belum pernah diperiksa dan dibuktikan kesalahannya.

Keputusan skorsing satu semester, juga menyalahi, BAB VI, SANKSI, Pasal 8, Ayat (4), “Pencabutan hak memperoleh layanan akademik dan administratif maksimal satu (1) semester, menyalahi pasal 10, Ayat (4), yang menjelaskan, “Sanksi sebagaimana dimaksud pada pasal 8 ayat (4), dilaksanakan oleh Dekan atau Direktur”. Sedangkan SK skorsing tersebut, dilaksanakan oleh Rektor.

Dari beberapa uraian diatas, saya berani mengatakan, Rektor IAIN Sunan Ampel, melanggar SK Rektor itu sendiri.

SK skorsing atas mahasiswa yang saat ini sudah di Medaeng, itu baru bisa diterima, walaupun tidak sepenuhnya. Diterima maksudnya, mahasiswa tersebut, indikasi atas tindak anarkhisme itu sudah jelas, terbukti dari bukti-bukti yang ditunjukkan oleh IAIN Sunan Ampel kepada penagak hukum (Polrestabes) itu sendiri. Tapi atas mahasiswa yang tidak terindikasi melakukan tindak anarkhisme, SK Skorsing tersebut sangat tidak adil, apalagi hak mahasiswa untuk dibuktikan pelanggaran dan kesalahannya tidak pernah diberikan oleh IAIN Sunan Ampel. Keputusan sepihak, dan menurut saya, keputusan tersebut represif dan otoriter.

Tidak menerima maksudnya, dalam dunia hukum, apalagi Indonesia adalah negeri hukum, sanksi ganda itu tidak pernah terjadi. Mahasiswa yang berada di Medaeng, sudah akan memasuki proses diadili secara hukum, dan sanksinya, sudah dijalani, mulai dari Polretabes sampai di Medaeng, sejak 6 Maret 2013. Selain saksi hukum yang harus dipikul, mahasiswa tersebut juga dipaksa mendapatkan sanksi akademik berupa skorsing. Walaupun juga belum pernah dibuktikan pelanggaran dan kesalahannya oleh Dewan Kode Etik, tapi bukti-bukti yang ditunjukkan oleh IAIN Sunan Ampel ke penegak hukum, saya anggap sudah mewakilinya. Sanksi hukum dapat, sanksi skorsing pun memperlengkap. Subhanallah, sempurna sekali!

Mahasiswa yang disanksi skorsing berjumlah, 32 orang, 3 orang dari Fakultas Dakwah, selebihnya dari Fakultas Syariah. Masing-masing mahasiswa tersebut, di skorsing selama satu semester. 14 orang di Medaeng, selebihnya tidak.

Jika skorsing itu harus satu semester, sebagaimana SK tentang Kode Etik Mahasiswa, mestinya yang melaksanakan adalah dekan atau direktur, bukan rektor!. Tapi SK Skorsing tersebut yang melaksanakan adalah rektor. Jika rektor menggunakan pertimbangan lain atas keputusan tersebut, mestinya tidak menjadikan SK Kode Etik Mahasiswa sebagai landasan dalam melaksanakan sanksi tersebut. Terus, landasan apa donk?

Semoga “perlakuan” ini semua, atas siapun yang terlibat dalam rangkaian aksi Demonstrasi pada 6 Maret 2013, menjadi ‘pelajaran’ berharga, dan mempercedas dirinya, dalam mengarungi kehidupan yang harus lebih baik selanjutnya. Amien.

  1. Di dalam Panduan Penyelenggaraan Pendidikan Program Strata Satu (S1) Tahun 2012, belum saya temui aturan yang mengatur tentang Skorsing, atau mungkin, karena SK tentang Kode Etik Mahasiswa menjadi satu buku dengan Panduan tersebut, maka, panduan dan SK Kode Etik Mahasiswa menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Atau ada keterangan lain, terlebih dari pihak yang punya otoritas mengeluarkan SK tersebut, di tengah kesibukannya, saya harap berkenan untuk memberikan tanggapan yang sebenarnya.
Untuk IAIN Sunan Ampel Lebih Baik
Demi nama baik IAIN Sunan Ampel, kalau boleh saya menyarankan. Karena IAIN Sunan Ampel adalah lembaga Negara, dimana Negara, sebagaimana amanah UUD 1945 amandemen yang ke-3, BAB 1, BENTUK DAN KEDAULATAN, Pasal 1, ayat (2), yang berbunyi, “Kedaulatan Berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Maka, tidak ada salahnya, demi nama baik IAIN Sunan Ampel sebagai representasi dari lembaga Negara, untuk membentuk Tim Investigasi dalam menulusuri tuntutan mahasiswa, yang sempat saya tuangkan dalam bentuk tulisan berjudul, “Menguak Mega Skandal Korupsi di IAIN Sunan Ampel”.

Saran saya dalam rangka, agar nama baik IAIN Sunan Ampel kembali pulih. Saya meyakini, demonstrasi pada 6 Maret 2013 yang menjadi berita nasional, mencoreng nama baik IAIN Sunan Ampel karena dugaan korupsi tersebut. Biar semuanya menjadi terang, dan tidak semua orang yang berada dilingkungan IAIN Sunan Ampel merasa malu karena “ulah”, yang saya yakini, hanya sebagian kecil orang, melalui Senat Institut, IAIN Sunan Ampel secepatnya membentuk Tim Investigasi Independen. Sebagaimana dilakukan oleh Komisi Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang pernah membentuk Tim Investigasi dalam menelusuri bocornya sprindik penetapan Anas Urbaningrum (Mantan Ketua Partai Demokrat) sebagai tersangka dalam kasus, skandal mega korupsi Hambalang beberapa waktu yang lalu.

Tim Investigasi, harus terdiri dari orang yang teruji kredibelitas, dan kapabilitasnya. Dalam rangka menjaga netralitas, tim tersebut, harus ada unsur orang luar IAIN Sunan Ampel. Sebagaimana Anies Baswedan dulu, yang menjadi salah satu Tim Investigasi, dari unsur eksternal, atas bocornya sprindik Anas Urbaningrum.

Bisakah IAIN Sunan Ampel melakukan hal yang demikian? Agar semuanya menjadi jelas, dan tidak semua unsur yang berada di IAIN Sunan Ampel turut malu atas isu, yang awalnya hanya beredar di lingkungan IAIN Sunan Ampel sendiri, kemudian menjadi berita regional, dan ahirnya, nasional.

Sampai kapanpun tragedi 6 Maret 2013, tidak akan dilupakan oleh banyak orang. Mahasiswa, apalagi saya, selaku orang pertama yang mengawal terjadinya demonstrasi tersebut. Dan sudah waktunya, ‘model’ pemerintahan yang baik, sudah mulai diterapkan, kecuali IAIN Sunan Ampel kini, akan ditulis oleh sejarah, sebagai lembaga yang bertahan menggunakan ‘pola’ pemerintahan lama, ditengah peradaban bangsa dan Negara, yang sudah lebih baik.

Atau, IAIN Sunan Ampel sengaja bermaksud “menyembunyikan” kebokrokannya, yang oleh sejarah akan dicatat bobrok. Model “mengamankan” orang yang diduga bertanggung jawab atas sebuah kebobrokan, sudah tidak laku lagi untuk jaman saat ini. Dan model pengkritik sebagaimana saya yang berani blak-blakan, saat ini sudah dilindungi Undang-Undang. Tidak ada “pembungkaman” terstruktur sebagaimana dulu pernah terjadi di Republik ini.

Saatnya IAIN Sunan Ampel, memperbaiki citra lembaga Negara tersebut, yang tercoreng akibat ulah sebagian orang yang tidak bisa mempertanggungjawabkannya secara “jantan”.

IAIN Sunan Ampel yang dimimpikan sebagai kampus penulis, oleh Rektor, sejak Prof. Dr. Nur Syam, M. Si., sampai Prof. Dr. Abd. A’la, M. Ag. kira-kira, bila ada model tulisan sebagaimana yang saya tulis, masih berkenan ndak ya?

Wallahua’lam,
Semoga kita semua selalu dalam petunjuk, ridha, dan hidayah Allah SWT. Amien.
Mohon Maaf atas segala salah dan khilaf.

*Mantan Gubernur Senat Mahasiswa Fakultas Syariah
IAIN Sunan Ampel Surabaya
Periode 2012-2013

0 Komentar