Sudah
97 hari berlangsung, Tragedi 06 Maret 2013, menyisakan teki-teki yang
banyak orang hanya sampai dititik spekulasi. Isu ini itu sengaja
dimunculkan oleh pihak tertentu yang memanfaatkan momentum ini untuk
mengarahkan moncong peluru kepada pemegang dan pengendali peluru
utama. Mereka yang masih belajar mengendalikan peluru dan merasa
dikorbankan atas kasak-kusuk dinamika politik kampus, sebagian ada
yang menelan mentah-mentah atas sekian opini yang sengaja dibuat
untuk menghancurleburkan ikatan persaudaraan, persahabatan,
pertemanan, yang dibangun diatas semangat gerak bersama dalam
menegakkan kebenaran. Tentunya benar menurut hukum, tata nilai,
moral, dan akhlaq mulia.
Jika
kita tidak cerdas menyikapi ini semua, persahabatan yang sudah lama
dibangun akan retak dan hancur dari dalam. Sehingga, "musuh"
tidak perlu repot-repot melakukan penghancuran dari luar, karena di
dalam sudah termakan opini untuk saling menghancurkan sesama teman
persahabatan. Ini yang dinamakan politik "Devide et Empire";
politik pecah belah yang dulu diterapkan penjajah untuk menghancurkan
Nusantara dengan mengadu domba masing-masing pihak, kemudian
menguasainya.
Pernyataan
yang mengatakan, "Tidak mungkin gerakan mahasiswa murni dalam
berdemonstrasi" menjadi tanda tanya besar bagi saya? Apa iya
mahasiswa yang selama berdiskusi ideal tiba-tiba berubah menjadi
pragmatis karena sebab silau atas tawaran menggiurkan?
Demonstrasi
yang dibangun, murni menuntut hak mahasiswa!, bila ada tendensi lain,
itu diluar yang saya ketahui!, dan perlu dibuktikan juga
tuduhan-tuduhan itu. Jika tuduhan tersebut hanya sampai di titik
spekulasi yang jelas-jelas bertujuan untuk mengembosi gerakan
mahasiswa yang ideal, saya seorang menganggap kentut yang terasa
baunya kemudian menghilang bersama waktu.
Tak
satupun saya temui selama forum-forum diskusi dihelat, perbincangan
yang secara terang-terangan maupun tidak, mengarah kepada, "Jika
kita demo, kita dapat ini maupun itu yang sifatnya materiil maupun
keuntungan lain yang sifatnya pribadi". Gerakan tersebut, sekali
lagi, murni untuk kepentingan mahasiswa secara keseluruhan, walaupun
sebagian besar mahasiswa acuh tak acuh dan skeptis atas gerakan yang
nyata-nyata memperjuangkan haknya.
Tuduhan
yang mengatakan, "Marlaf Sucipto mendapatkan keuntungan meteriil
atas rangkaian demonstrasi yang berujung anarkhis" dipersilakan
untuk dibuktikan kebenarannya. Bila hanya sekedar opini yang ditiup
untuk menghancurkan tata persahabatan diantara kami, saya yakin masih
ada diantara kami yang tidak tiba-tiba menelan tanpa mengunyah atas
opini tersebut. Bila memang benar demikian, sudah saya anggap (maaf)
tinja yang disemburkan ke dalam WC.
Nah,
yang menjadi tanda tanya besar sekarang, Praktikum dan Puspema, dan
beberapa tuntutan lain dalam demonstrasi, kok tiba-tiba hilang turut
lenyap bersama gelombang waktu yang terus berlangsung? Padahal
demonstrasi yang berujung anarkhis, tindak anarkhismenya sudah
ditangani langsung oleh penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, dan
hakim. Penegak hukum tersebut sudah mengetahui motif terjadinya
demonstrasi tersebut. Dan sudah jelas, terang-benderang, jika
tuntutan demonstrasi tersebut tidak dipertanggungjawabkan secara
proporsional dan professional oleh institusi IAIN Sunan Ampel.
Mestinya motif demonstrasi tersebut menjadi lanjutan investigasi
penegak hukum untuk mengetahui lebih dalam akan dugaan penyimpangan
dan penyalahgunaan wewenang yang menitikberatkan pada kegiatan
Praktikum dan Puspema. Mari berdoa, semoga hal tersebut segera
ditindaklanjuti.
IAIN
Sunan Ampel sebagai lembaga negara, mestinya dicerminkan sebagai
lembaga yang kredibel, professional, dan akuntable.
Pemberian
sanksi atas mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi sangat tidak
professional. Mekanisme yang mestinya dilalui, tidak dilalui.
Pemberian sanksi tanpa terlebih dahulu melalui prosedur aturan yang
ada adalah tindakan yang sewenang-wenang, dan itu tidak dibenarkan
oleh hukum. Tindak anarkhisme memang salah, tapi institusi
menjatuhkan sanksi tanpa melalui prosedur yang ada juga salah.
Demonstrasi
tidak tiba-tiba terjadi, proses dialogis persuasifnya sudah berjalan
kurang lebih sekitar 7 bulan sebelum demonstrasi dihelat. Demonstrasi
menjadi cara terahir setelah kran dialogis persuasif tertutup rapat.
Jadi, sangat tidak tepat bila ada orang yang mengatakan bahwa
demonstrasi yang dihelat adalah "pesanan". Tambah ngawur
lagi ketika hanya beropini tanpa bisa membuktikan.
Terkait
Puspema, yang menjadi tanda tanya besar adalah, "Kenapa
penarikan biaya Puspema yang sudah dilakukan sejak tahun 2008
lembaganya baru dibentuk pada pertengahan tahun 2012, itu pun tidak
oleh Rektor sebagai penanggung jawab utama, tapi oleh Pgs Rektor, ada
apa dengan Rektor?"
Terkait
Praktikum, "Kenapa kegiatan ini tidak dilaksanakan secara
proporsional dan professional, dimana penarikan biayanya sudah sejak
tahun 2009". Tidak dilaksanakannya Praktikum selama 3-4 semester
di masing-masing angkatan mahasiswa adalah cermin cerah jika kegiatan
tersebut tidak dilaksanakan secara professional. Dan melaksanakan
Praktikum selama empat hari berlangsung yang masing-masing hari
dihitung satu kali praktikum juga menjadi tanda bahwa pelaksanaan
Praktikum tersebut tidak dilaksanakan secara proporsional. Mengingat,
kisaran biaya yang dikeluarkan tidak kecil dan mestinya setiap
Praktikum dilaksanakan setiap semester sekali, bukan sehari.
Kesalahan menjadi kuadrat, empat praktikum yang terhutang, dijadwal
untuk dilaksanakan selama empat hari, ternyata senyatanya hanya tiga
hari.
Kegiatan
Praktikum di bawah tanggung jawab dan pengawasan Wakil (dulu
pembantu) Rektor 1. Dulu, Wakil Rektor 1 diakui kehebatannya di
bidang ilmu pengetahuan, karena kejeniusannya, menjadi satu dari
beberapa civitas akademika yang opininya bisa tembus dimuat di Koran
Kompas. Kenapa wakil Rektor 1 tidak berdaya ketika Praktikum tidak
dilaksanakan dengan baik, apakah tidak ada evaluasi?, bilamana ada,
sejauh mana evaluasi tersebut, kok sampai macet terlalu lama kegiatan
Praktikum tidak terlaksana. Jika hanya satu semester tidak terlaksana
mungkin masih wajar, tapi kalau berkali-kali semester, sudah
tergolong kebangeten.
Kegiatan
Puspema dan Praktikum, sudah dilengkapi dengan pedoman
pelaksanaannya. Tapi kegiatan tersebut sangat tidak mengacu kepada
buku pedoman tersebut. Ini jelas pelanggaran.
Disisi
lain, setiap mahasiswa tertuntut untuk melakukan pembayaran setiap
semester. Tidak boleh telat dengan alasan apa pun! Karena bila telat,
tidak boleh tidak harus cuti. Tak pernah ada toleransi. Institusi
hanya tegas melakukan penarikan biaya kegiatan, tapi tidak
bertanggung jawab atas kegiatan yang mestinya dilaksanakan.
Mahasiswa
yang terlibat demonstrasi, diganjar dengan sanksi skorsing dan Drop
Out (DO). Walaupun terbitnya DO, secara formal tidak dikaitkan dengan
aksi demonstrasi, tapi serat mengandung muatan politis.
Terbitnya
Surat Keputusan Skorsing dan DO, setelah dipelajari, ternyata cacat
hukum. Institusi menggunakan prangkat aturan hanya untuk bertindak
sewenang-wenang, otoriter, dan represif.
Untuk
sekedar menyebut contoh, banyak civitas akademika yang dirasa
melakukan pelanggaran, mulai dari busana yang menampilkan lekuk tubuh
sampai hadirnya penjaja prodak tertentu dengan busana supermini. Atas
hal ini, tak pernah ada sidang Komisi Etik untuk memberikan sanksi
atas mereka yang berbusana tidak apik. Penjaja prodak dengan pakain
supermini sudah barang tentu melalui proses perizinan kepada
institusi.
Contoh
ini sekedar contoh kecil dari sekian pelanggaran institusi. Baik
pelanggaran ringan, berat, dan super berat.
Melalui
tulisan ini, saya hanya mau berbagi, kalau kesalahan institusi yang
menumpuk, mulai yang ringan sampai yang berat, tersamarkan oleh
kesalahan "kecil" yang dilakukan oleh Mahasiswa yang
berteriak lantang mengkritisi atas sekian kebejatan birokrasi yang
akut.
Saya
harap, institusi tercinta bisa memberikan klarifikasi balik atas
sekian opini yang saya tulis. Karena bila tidak, institusi akan
dibaca sebagai institusi sebagaimana saya tulis.
Mohon
maaf atas segala salah dan khilaf.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...