Dalam
tulisan kali ini, saya tidak mau turut ikut pada pendapat yang
menempatkan Pancasila sebagai dasar negera, sebagaimana sudah
dikemukakan oleh banyak tokoh, tapi mau mengikuti pendapat, M. Dawam
Rahardjo, yang menempatkan Pancasila sebagai krangka berfikir
berbangsa, pedoman bertindak, dan motif berpolitik (Kompas, 22 Juni
2013). Pilihan ini sudah bulat, karena selain Soekarno maupun Hatta
tidak pernah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, juga karena,
pemaknaan M. Dawam Rahardjo menurut saya lebih pas; Pancasila sebagai
krangka berfikir berbangsa, warga negara Indonesia, bila betul-betul
menjadikan Pancasila sebagai krangka fikir dalam bertindak dan
berkata dalam kehidupan nyata kesehariannya, konflik atas nama agama,
ketimpangan sosial, diskriminasi atas kelompok minoritas,
meningkatnya jumlah kemiskinan di tengah naiknya Sumber Pendapatan
Belanja Negara dan Daerah (APBN/D) dalam setiap tahunnya, merebaknya
anak putus sekolah dan diskriminasi atas sekolah-sekolah yang berada
di pelosok desa di tengah alokasi biaya pendidikan 20 persen dari
APBN/D setiap tahunnya, dan banyak problem lain yang sebenarnya bisa
ditekan, diminimalisir, bila seluruh warga negara Indonesia
benar-benar menjadikan Pancasila sebagai krangka fikir.
Sebagai
warga negara yang baik, bunyi Pancasila, dari sila ke-1 sampai sila
ke-5, seyogyanya bisa dilaksanakan dengan baik. Sila pertama, warga
negara Indonesia adalah warga negara yang ber-Tuhan, Tuhan yang
dilalui melalui enam agama yang diperkenankan. Misalnya, ada warga
negara ber-Tuhan melalui selain enam agama yang diperkenankan, bagi
saya, itu boleh-boleh saja, asalkan tidak menganggu stabilitas
keamanan, kenyamanan, dan ketentraman warga negara lainnya. Dalam hal
apapun. Karena tidak menutup kemungkinan, dalam perjalanan waktu,
dengan substansi yang sama, agama-agama di Indonesia bisa berkurang
maupun bertambah. Sampai detik ini yang saya tahu, tak satu pun ada
ajaran agama dari ragam agama yang ada, menganjurkan keburukan, baik
melalui kata-kata maupun tindakan. Semua dalam koridor kebaikan dan
kebenaran. Yang terpenting, warga negara Indonesia tetap sebagai
masyarakat yang ber-Tuhan, titik.
Kenapa
masyarakat Indonesia harus ber-Tuhan?, karena dengan ber-Tuhan,
manusia dituntut untuk menyadari keterbatasanya, dan mengantungkan
harap atas seluruh usahanya, yang bisa jadi, berhasil atau gagal.
Keterbatasan tersebut, adalah suatu hal yang melekat secara alamiah
atas setiap manusia. Bila keterbatasan dan setiap usaha tidak
digantungkan pada Tuhan, kemungkinan untuk stres, bisa lebih mungkin
terjadi. Ber-Tuhan, salah satunya sebagai media untuk menetralisir
usaha-usaha manusia yang tidak tercapai, menjadi keputusan terbaik
dari Tuhan atas manusia. Jadi, Pancasila menempatkan ber-Tuhan
sebagai sila pertama, agar manusia tidak sombong dan tetap berpegan
pada kehendak terbaik Tuhan yang harus dicari melalui usaha-usaha
yang terus dilakukan.
Karena
masyarakat Indonesia ber-Tuhan, menjunjung tinggi kebaikan dan
kebenaran, maka kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagai bunyi sila
ke-2, dengan mudah digapai. Kenapa di umur kemerdekaan Indonesia yang
ke-68th kesenjangan sosial masih sangat tajam, kemiskinan dan
kebodohan semakin melebar, karena mayoritas penduduk negeri ini masih
terjerembab dalam ritus-ritus ibadah formal yang miskin penghayatan.
Agama hanya sebagai ajaran, tapi tidak diperaktikkan. Setiap orang
sibuk dengan simbol dan kebenaran agamanya masing-masing. Semangat
toleransi sebagai substansi utama dalam beragama terabaikan. Pesan
agama yang berbentuk kasih sayang sesama manusia tergantikan oleh
tindakan yang tidak mencerminkan kasih dan sayang. Semua bertumpu
pada kebenarannya sendiri, kelompoknya sendiri, dan tidak sedikit
yang memaksakan standart kebenarannya atas orang lain.
Semua
agama telah mengajarkan supaya umat beragama jujur, bertanggung
jawab, pintar, dan menyampaikan apa adanya atas segala hal. Tapi,
walaupun jujur, tanggung jawab, pintar, dan menyampaikan apa adanya
hampir menjadi cita-cita ideal setiap orang, masih belum bisa
ditradisikan secara maksimal, yang terjadi malah maraknya
penyimpangan dan penyalahgunaan. Budaya ini hampir terjadi di semua
lini, baik diperaktekkan langsung oleh penguasa maupun rakyat.
Memasuki
sila yang ke-3, "Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat dalam
permusyawaran dan perwakilan". Indonesia, menganut system
demokrasi perwakilan. Partai politik, adalah organisasi politik yang
melahirkan wakil-wakil rakyat sebagai corong masyarakat. Setiap wakil
rakyat, yang dicalonkan oleh partai politik, baik sebagai Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
harusnya benar-benar dapat mewakili rakyat. Persoalan kemiskinan,
kebodohan, dan persoalan lain atas rakyat dapat ditekan seminimal
mungkin, bila mereka yang menjadi wakil rakyat benar-benar mewakili
rakyat dan jujur dalam bertindak.
Bila
program pengangkatan, pembentukan lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD,
DPRD), eksekutif (pemerintah) maupun yudikatif (penegak hukum)
ditopang oleh cara yang ideal sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar dan prangkat hukum lainnya. Maka, cita-cita
negara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
akan lebih mungkin digapai. Semangat persatuan dan kesatuan itulah
yang harusnya mengikat semangat untuk mewujudkan cita-cita ideal
tersebut.
Mewujudkan
cita-cita sosial harus didukung oleh semua pihak dan mayoritas
rakyat. Karena Indonesia sudah menganut system Demokrasi perwakilan,
yang dimaknai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka,
rakyat harus saling bahu membahu dalam memilih wakilnya supaya
berkualitas dan berintegritas. Mengangkat wakil yang benar-benar
dapat menjadi penyampai aspirasi rakyat dan perumus solusi atas
sekian masalah yang dihadapi rakyat. Wakil rakyat adalah mereka yang
bekerja atas nama rakyat di organisasi besar bernama negara.
Cita-cita
sosial dalam berbangsa dan bernegara akan dicapai bila semua komponen
bangsa, mulai dari rakyat dan wakilnya, bahu-membahu dalam
mewujudkannya. Dapat bersikap jujur, bertanggung jawab, cerdas, dan
professional dalam setiap sikap-sifat hidupnya.
mari,
jadikan Pancasila sebagai krangka fikir, pedoman bertindak, dan motif
berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...