Prostitusi;
selalu menarik diperbincangkan. Pro kontra atas komersialisasi
syahwat ini selalu hadir setiap zaman. Praktik "haram" tapi
dibutuhkan ini hampir di seluruh kota di dunia ada. Sekedar menyebut
contoh; Indonesia, lokalisasi di Kramat Tunggak, Jakarta dan Dolly di
Surabaya. Thailand, Pattaya terkenal dengan wisata sex-nya.
Amsterdam, Belanda Kota "meng-halal-kan Mariyuana sebagai
pelengkap seksualitas. Manama, Bahrain, tetangga Arab Saudi. Las
Vegas Amerika Serikat. Rio de Janeiro Kota Topless, Brazil. Moskow,
Rusia. Macau, China. Tijuana, Mexico. Negara-negara muslim pun yang
mengecam atas hadirnya dunia "esek-esek" tersebut tak
ketinggalan, Jalan Kadem, di Istanbul Turki, Jalan Chow Kit, Kaula
Lumpur, Malaysia, Jalan Khalid bin Al Walid, Dubai, Uni Emirat Arab,
Kota Jiunieh, Bairut, Libanon, dan Shahre, di Iran.
Prostitusi,
hampir disetiap titik di dunia yang dihuni oleh manusia selalu ada.
Hadirnya ada yang dilegalkan, walaupun juga tidak sedikit yang
mengecam.
Prostitusi
yang tak lain dari bisnis "esek-esek" ini selalu prospek di
setiap denyut kehidupan. Barangkali karena, seks adalah kebutuhan
psikologis manusia yang membuat banyak orang "galau" bila
tidak menemukan sarana yang efektif untuk melampiaskannya.
Seksualitas
yang terjadi dalam rumah tangga kadang membosankan. Terlebih jika
sebuah keluarga tak mampu me-manage konflik yang pasti terjadi
diantaranya. Dan, tidak peduli pada perawatan tubuh sebagai pemicu
gairahnya seks dalam sebuah keluarga menjadi faktor lain kenapa
setiap keluarga mencari kepuasan seksnya pada orang lain. Tempat yang
mudah, ialah prostitusi.
Prostitusi
di Indonesia, dari sekian informasi yang saya dapat dari membaca,
sudah ada sejak dahulu kala. Tapatnya di abad ke-17 saat negeri ini
masih dikuasai oleh Hindia Belanda. Prostitusi di segala titik lalu
lalangnya manusia, baik yang punya urusan antar kota dan negara,
selalu ada. Pelabuhan, Bandar Udara, Pusat Kota, Stasiun, bahkan di
daerah terpencil pun, wanita-wanita pemuas nafsu selalu ada.
Pemerintah Hindia Belanda menfasilitasinya.
Prostitusi
sejak dulu sudah terklasifikasi. Kelas atas, menengah, dan bawah.
Dulu, kelas atas pelanggannya terdiri dari pejabat VOC (Verenigde
Oost Indische). Wanita-wanita pemuas nafsu didatangkan dari berbagai
penjuru kota, bahkan negara, semata demi memenuhi kebutuhan dan
pemenuhan nafsu seksualitas pemangku kepentingan tersebut. Kelas
menengah dan bawah pun tak ketinggalan, dengan model dan pangsa pasar
yang sesuai dengan isi dompet para pelanggannya.
Jakarta,
sebagai ibu kota negara, pada tahun 1966-1977, prostitusi sempat
dilegalkan oleh Bang Ali-Sebutan Atas Gubernur DKI Jakarta yang
bernama Ali Sadikin. Kebijakan Gubernur ke-9 kota Jakarta ini memang
menuai kontroversi. Bang Ali dicaci, walaupun juga tidak sedikit yang
memuji. Alasan sederhana yang dipakai oleh Bang Ali waktu itu,
"Prostitusi dilokalisir demi stabilitas kota Jakarta".
Dulu, Para penjaja seks ada di mana-mana, di setiap titik jalan
strategis selalu ditemui wanita berpakaian super mini untuk
menjajakan kenikmatan bercinta. Selain itu, virus HIV, penyakit
mematikan yang sampai kini belum ditemukan penangkalnya menjadi salah
satu keresahan Bang Ali. Akhirnya, sebuah daerah, Kramat Tunggak
namanya, dipilih sebagai tempat lokalisasi untuk menampung semua
pelacur yang ada di kota Jakarta. Para hidung belang, bisa lebih
fokus pada tempat tersebut untuk melampiaskan nafsunya. Penyakit
menular yang bernama AIDS/HIV, pendataannya lebih mudah. Hadirnya
lokalisasi, juga menghadirkan denyut ekonomi baru atas masyarakat dan
pemasukan yang tidak sedikit atas kota metropolis tersebut. Kebijakan
Bang Ali dalam melegalkan prostitusi dan perjudian waktu itu,
menjadikan kota Jakarta sebagai kota yang tata kotanya terbaik.
Banyak sarana umum yang dibangun, yang salah satu danannya dari pajak
prostitusi dan perjudian tersebut.
Dolly,
yang katanya sebagai pusat prostitusi terbesar di Asia, oleh Wali
Kota Surabaya, Tri Risma, akan resmi ditutup sejak Januari 2014,
pembinaan atas wanita tuna susila tersebut sudah dilakukan sejak
beliau menjabat sebagai wali kota Surabaya. Keterampilan menjahit,
dan didatangkannya tokoh agama untuk memberikan penyuluhan dan
penyadaran adalah sekian contoh dari banyak upaya lain yang telah
dilakukannya. Tujuan utamanya adalah, agar wanita-wanita molek
tersebut "tobat" dan mau menjalani hidup tidak melalui
jalur "haram" tersebut. Para PSK Dolly, setelah dibina,
sejak Januari 2014, akan dikasih uang pesangon sebesar 5 juta per
orang oleh Ibu yang mendapatkan perhargaan sebagai Wali Kota
berprestasi di bidang "Kebersihan&Kesehatan" oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu yang lalu. Uang
tersebut sebagai modal untuk berwirausaha, atau untuk biaya awal lain
dalam memulai hidup "baru".
Kebijakan
Bu Risma, bagi yang pro, adalah kebijakan prestatif dan mendapatkan
banyak pujian. Bisnis "dosa" tersebut akhirnya dihentikan.
Tapi bagi yang kontra, kebijakan tersebut meresahkan. Bisnis yang
menopang banyak kehidupan manusia tersebut tanpa solusi yang utuh.
Pedagang kopi, makelar parkir, buruh cuci, germo, pemilik wisma
kehilangan mata pencaharian. Yang tak kalah penting, para hidung
belang yang biasa melampiaskan kebutuhan seksnya di Dolly, tidak
menemukan solusi.
Kebijakan
ini hanya akan memunculkan keresahan baru. PSK-PSK yang bekerja di
Dolly kemungkinan mencari tempat lain untuk mangkal demi sesuap nasi
akan terjadi. Bahkan akan mempersulit pendataan dan pendeteksian
penyakit menular yang bernama AIDS/HIV. Germo-germo pun tidak akan
tinggal diam untuk tetap menjalankan profesinya. Karena itu lah
denyut hidupnya.
Dari
sekian penelitian yang banyak orang melakukan, prostitusi terjadi,
alasan utama adalah persoalan ekonomi/kemiskinan. Hampir semua wanita
yang memilih berprofesi sebagai PSK hanya karena agar dapur keluarga
tetap "ngepul". Wanita-wanita tersebut bertindak sebagai
tulang keluarga. Profesi lain yang katanya "halal" tidak
mencukupi kebutuhan keluarga. PSK, walaupun banyak orang menganggap
sebagai profesi hina, tetap banyak perempuan memilihnya, karena
profesi PSK, lebih menjanjikan dalam mengumpulkan uang secara cepat.
Jadi PSK juga tidak mudah, perlu tubuh cantik sesuai standart
kecantikan terkini. Bila tidak, profesi PSK pun tetap menjadi problem
dan tidak mudah mengumpulkan duit.
Jika
pemerintah, atau siapa pun yang hanya bisa menutup tanpa memberikan
solusi atas bisnis sensualitas tersebut, maka prostitusi dengan
model, nama, dan kedok yang berbeda akan terus berlanjut.
Jika
tokoh agama hanya mampu membacakan ayat agama yang melarang atas
profesi tersebut, ajaran agama hanya akan ada dalam kitab dan sampai
di mimbar-mimbar acara srimonial.
Prostitusi
tidak bisa diputus karena sudah menyangkut hajat hidup orang banyak.
Barangkali, hadirnya prostitusi, adalah bagian dari kehendak Tuhan
agar kehidupan terasa lebih indah.
Prostitusi
memang dilarang dan dikecam, tapi juga disayang dan dirindukan.
Prostitusi
Owh Prostitusi...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...