SEMANGAT ANTI KORUPSI ITU HARUS DIAWALI DARI KAMPUS

Kampus, jamak diketahui sebagai pusat dealektika ilmu pengetahuan. Jika sewaktu SD-SMA materi diberikan miskin dealektis dan sering diterima mentah-mentah, tapi tidak pada pendidikan kampus. Kampus sudah menjadi ruang terbuka untuk "mempereteli" ilmu pengetahuan. Mengkaji, mengkeritisi sampai melahirkan teori baru, pusat kajiannya, berada di kampus, bukan di sekolah-sekolah SD-SMA. Bahkan naskah akademik untuk lahirnya Undang-Undang (UU) pun, banyak dilahirkan dari kampus. Kampus, tepatnya sebagai laboratorium ilmu pengetahuan. Gerakan idealisme, moralitas harusnya diawali dari kampus.


Pragmatisme Civitas Akademika.
Kampus sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan saat ini sudah tergerus akibat civitas akademikanya terdistorsi oleh paradaban baru, peradaban serba praktis, kilat, dan serba cepat. Peradaban ini tidak bisa dinafikan, peradaban ini perlu kesiapan mental dan pemahaman. Bahwa praktis, kilat, dan serba cepat tidak dari sisi yang justru mendistruksi atas tatanan mapan yang masih baik dan layak dikembangkan. Budaya Copas-istilah Coppy-Paste-tampa pertimbangan analisis matang dalam sebuah karya intelektual mahasiswa-dosen adalah gejala dustruk yang semakin melebar. Gerakan demonstrasi yang biasa dimobilisir oleh mahasiswa sudah miskin kajian mendalam dan kerap kali selesai ketika dibungkam dengan segepok uang dan deretan makan mewah di sebuah restoran. Bergerak di internal kampus, yang membungkam birokrasi kampus. Bergerak diluar kampus, yang membungkam stake holder negara. Padahal, masih segar dalam ingatan, peristiwa 1998 sebagai awal reformasi negeri, didorong oleh, karena negeri ini di pegang dan dikendalikan oleh para bromocora. Kini, reformasi tanpa kendali, korupsi menjadi-jadi.

Kenapa semangat pemberantasan korupsi itu harus berawal dari kampus? Karena kampus lah pusat kajian ilmu pengetahuan, pusat kajian baik-buruk, salah-benar, moralitas-demoralitas.
Ketika kampus sudah tidak sebagaimana fungsinya, siapa yang mau dijadikan panutan? Kajian siapa yang layak dijadikan pertimbangan? Lembaga lain di luar kampus, tidak sedikit yang sudah menjadi kepanjangan kepentingan kelompok tertentu yang substansinya bukan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat, tapi kemenangan kelompok tertentu dan kesejahteraan untuk golongan tertentu.

Karya-karya "bodong" yang banyak dilahirkan Dosen untuk mengejar gelar doktor maupun professesor seharusnya ditekan sekecil mungkin. Bukan malah diobral layaknya barang bekas inpor yang berceceran di pasar loak. Karya dosen harus benar berkontribusi nyata dalam mengurai problematika, bukan justru melahirkan problematika baru yang tukang sol sepatu pun bisa. Ketika karya doktor-profesor hanya sampai di ruang arsip tanpa ada langkah implementatif, apa bedanya dengan barang rongsokan yang kemudian dijual kilo-an?! Gaji sebagai Doktor dan Professor yang lancar mengalir setiap bulan menjadi gaji sia-sia, karena yang digaji hanya mengejar profesi dan mengabaikan substansi.

Karena karya profesornya sudah terdistorsi, karya mahasiswanya pun setali mata uang. Akhirnya, bangsa kehilangan bahan rujukan. Kampus sebagai sumber ilmu pengetahuan, pusat kajian, juga ikut arus sebagai penyumbang kehancuran. Dengan alasan yang sama; pragmatisme harga mati, saatnya idealisme dimumi, dikenang dari generasi ke generasi.

Seharusnya kampus harus bagaimana?
Kampus harus kembali ke fungsi awal, "Tempat dealektika dan sumber ilmu pengetahuan". Civitas akademika harus memaksimalkan fungsi pembelajarannya untuk melahirkan solusi atas setiap problematika hidup, mulai dari problem yang sifatnya pribadi sampai problem kolektif; atas nama bangsa, negara, bahkan skala masyarakat dunia. Karya civitas akademika, bukan lagi karya "bodong" sebagai akibat dari penyalahgunakan kemudahan dalam memanfaatkan internet dan mengejar kepraktisan mengejar prestise. Kemudahan mengakses informasi melalui media internet, cukup sebagai bahan pertimbangan dan pengayaan wawasan dalam melahirkan karya. Karya civitas akademika, harus menjadi rujukan dalam penyelesaian problem yang terjadi sesuai dinamika zaman.

Birokrat kampus, jangan bertindak ala politisi bejat yang menyuap, membungkam gerakan idealisme dengan kemapanan materi semu berjenis kelamin uang. Pejabat harus menjadi top leader (percontohan), dan menginspirasi atas yang lain untuk berkata dan bertindak yang melahirkan manfaat atas yang lain. Suap-menyuap, korupsi, harus tidak terjadi di kampus.

Gerakan mahasiswa harus murni gerakan idealis, gerakan yang berdasarkan kajian dan tujuan maslahah untuk kebaikan, kebenaran, dan keadilan. bukan gerakan pesanan yang ketika disumbat dengan uang, gerakan tersebut mati rasa, pengeraknya kenak penyakit amnisia, matanya jadi buta, telinganya jadi tuli, mulutnya jadi bisu.

Aturan yang telah dibuat bersama, berdasarkan pertimbangan sehat-positif, harus benar-benar ditegakkan tanpa memandang orang. Siapa pun yang melanggar, harus disanksi sesuai aturan yang sudah berlaku. Bobroknya negeri ini, salah satunya karena aturan (hukum) tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kampus harus menjadi lembaga utama dalam menegakkan aturan. Kampus juga harus membudayakan budaya transparan. Di saat zaman serba terbuka, saatnya kampus untuk membuka diri atas setiap kebijakan dan pengelolaan keuangan. Lebih-lebih keuangan yang didapat dari masyarakat umum (SPP). Kampus harus siap dikritik, karena kritik adalah sarana kontrol agar institusi tidak represif.

Kita sudah memasuki zaman kesetaran, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Baik sebagai warga Indonesia maupun sebagai warga dunia. Pemimpin sudah berorientasi melayani, melindungi masyarakat. Bukan lagi mereka yang bisa bertindak semena-mena dan menjadikan rakyat sebagai komoditas politik untuk mengumpulkan duit.

Mari, berbuat dan bertindak untuk kehidupan yang lebih baik.
Salam.

Komentar