SELAMAT HARI IBU

Setiap tahun, tapatnya pada tanggal 22 Desember, diperingati sebagai "Hari Ibu". Peringatan ini menjadi menarik karena perempuan, yang hakikatnya sebagai ibu, rentan mendapatkan diskriminasi oleh siapa pun, kapan pun, dan dimana pun.

Komisi Nasional anti-kekerasan terhadap perempuan mencatat, hingga tahun 2012 terdapat 282 peraturan daerah di 100 kabupaten di 28 provinsi yang mendiskriminasi perempuan (Kompas, 28/12/'13). Peringatan ini, salah satunya, dalam rangka untuk mengugah kesadaran manusia untuk memulyakan perempuan yang rentan mendapatkan diskriminasi.


Kisah diskriminatif atas perempuan dari masa ke masa selalu menarik untuk didiskusikan. Dulu, pada masa jahiliyah, perempuan dapat diwariskan, dijadikan komoditas perdagangan. Ketika datang bulan, diusir dari rumah dan ditempatkan di gua-gua pegap tak bercahaya. Laki-laki dapat memperistri sekehendak hati, berapa pun jumlahnya. Laki-laki yang bertahta, apalagi berharta, kecenderungan dalam mengekploitasi perempuan lebih mungkin. Mengingat, harta, tahta, dan wanita menjadi istilah sejak peradaban manusia dahulu kala.

Peradaban masa kini, di bawah seruan emansipasi, gender, malah semakin memperpuruk perempuan. Gerakan yang katanya untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan kembali menjerembabkan perempuan sebagai komuditas bisnis yang menguntungkan. Adat istiadat yang menempatkan perempuan untuk mengurus urusan rumah tangga, anak, dan melayani suami dilabrak oleh gerakan emansipasi agar perempuan juga dapat memerankan dirinya dalam peran yang biasa diperankan oleh laki-laki. Tidak sedikit perempuan yang atas nama emansipasi mengejar karier yang sebelumnya biasa diisi oleh laki-laki, tubuh menarik perempuan menjadi magnet dahsyat dalam menarik konsumen, bahkan perempuan-perempuan seksi pilihan tidak sedikit yang juga dijadikan pelampiasan nafsu bejat pemilik suatu perusahaan. Apa boleh dikata, perempuan yang lemah, baik secara fisik apalagi ekonomi, memang rentan mendapatkan penindasan.

Dalam rumah tangga, perempuan juga tidak sedikit yang menjadi korban kebejatan suami. Suami seakan bebas sesuka hati, apalagi untuk berpoligami, agama pun (islam) menoleransi sampai maksimal 4 orang. Kekerasan dalam rumah tangga sering dilakukan suami atas istri. Tokoh agama (islam) yang melegitimasi bahwa istri adalah pelayan atas suami menjadi konstruk umum yang sangat merugikan perempuan. Istri tertuntut untuk melayani sedangkan suami bebas bertindak sesuka hati, ini jelas diskriminasi.

Dalam soal reproduksi, perempuan selalu menanggung lebih berat ketimbang laki-laki. Dalam mengandung, yang normalnya 10 bulan, bahkan bisa lebih, perempuan lah yang lebih berisiko menghadapi kematian, lebih-lebih menjelang melahirkan. Dalam urusan "kecelakaan bercinta", yang kerap terjadi diantara anak muda yang berpacaran, perempuan lagi yang mesti menanggung beban, laki-laki dapat dengan mudah 'nyelonong' pergi meninggalkan tanggung jawab yang dipikul perempuan.

Sejak perempuan melahirkan, perempuan lagi yang paling banyak direpotkan, mulai dari memberikan ASI, paling sering dikencingi dan di-be'oli sang bayi, dan segala kerepotan lain yang kerap ditanggung oleh perempuan.

Tumbuh kembang anak sejak kecil sampai dewasa, perempuan lah yang paling banyak dan paling sering menanggung derita akibat kelakuan nakal sang anak. Dan, peradaban kehidupan ini, sangat ditentukan oleh perempuan, karena perempuan lah yang menjadi cermin pertama bayi selama tumbuh kembang. Asah-asih-asuh perempuan atas bayinya sangat menentukan peradaban manusia selanjutnya. Perempuan adalah penentu utama kehidupan. Maka tidak heran jika dalam ajaran agama (Islam) dijelaskan bahwa "Surga itu berada di bawah telapak kaki perempuan (ibu)".

Berterimakasihlah kita, karena perempuan (ibu), kita bisa menikmati kehidupan.

*Selamat hari Ibu, 22 Desember 2013.

Komentar