Sebuah
film, gubahan dari novel mahakarya Haji Abdul Karim Amrullah, atau
yang akrab dipanggil Buya Hamka, tepatnya pada 19 Desember 2013,
tayang perdana di seluruh bioskop Indonesia.
Dalam
waktu tersebut, saya, yang sejak siang merencanakan untuk menonton
film "Sekola Rimba", setiba di bioskop, berubah rencana
menonton film ini, karena tergugah oleh tiga kata "Mahakarya
Buya Hamka" dalam rangkain deskripsi singkat film tersebut.
Sosok Hamka, saya kenal karena karyanya, walau pun karya novel
spektakuler yang menjadi film ini belum pernah saya baca, seketika
itu juga, saya langsung menyakini jika film ini sungguh bagus dan
patut ditonton.
Ternyata
benar, film dengan aktor utama Herjunot Ali yang berperan sebagai
sosok Zainuddin, aktris Pevita Pearce sebagai Hayati, dan Reza
Rahardian sebagai Aziz mampu "mengobrak-abrik" emosi
penontonnya untuk menangis haru, ketawa lucu, dan terkadang disaat
asik-asiknya menangis, penonton tiba-tiba dibuat tertawa lepas.
Zainuddin,
seorang pemuda miskin, dengan bapak yang dibesarkan di lingkungan
adat Minangkabau, Padang, dan ibu di lingkungan adat Bugis, Makassar,
terombang-ambing kerena sudah sejak kecil tidak merasakan kasih
sayang dari orang yang dicintainya. Ibunya meninggal mendahului
bapaknya, kemudian bapaknya menyusul kepergian ibunya. Zainuddin
kecil hidup sebatangkara, di lingkungan adat Bugis, Makassar.
Di
awal Zainuddin memutuskan untuk mengenali garis keturunan dari
bapaknya, sekaligus menimba ilmu agama di lingkungan dimana bapaknya
dibesarkan, Zainuddin muda bertemu dara cantik bernama Hayati, yang
kemudian keduanya saling jatuh cinta. Cinta itu lah yang membuat
keduanya mengungkap rasa dengan tinta. Surat yang ditulis Zainuddin,
berbalas surat yang ditulis Hayati. Karena cinta itu pula lah,
kreatifitas Zainuddin di bidang tulis-menulis, terasah dan akhirnya
menjadi penulis ulung yang karyanya cetar ke semua penjuru Nusantara.
Kosa
kata yang dirangkai oleh Zainuddin, kemudian membentuk kalimat indah
mampu membuat Hayati semakin hanyut dalam perasaan cinta yang semakin
dalam. Keduanya semakin tak kuasa untuk berjauhan, inginnya, selalu
bersama dalam mengarungi hari-hari indah penuh cinta. Pertemuan
mereka semakin inten walau sekejap, walau pun juga tanpa sebait kata.
Surat yang saling diselipkan tatkala berjumpa, mewakili kekakuan
lidah karena gejolak cinta yang memuncah. Cinta keduanya tercium oleh
tokoh adat setempat, yang kemudian meminta agar Zainuddin angkat kaki
dari daerah dimana Bapaknya dilahirkan, karena cinta diantara
keduanya, ditengarai akan berakibat buruk pada adat-istiadat yang
dipatenkan dari generasi ke genarasi oleh tokoh adat setempat.
Zainuddin yang dianggap berasal dari garis keturunan yang tidak
jelas, ditopang dengan kemiskinan hidup yang dialaminya, berbanding
terbalik dengan kondisi Hayati sebagai anak bangsawan terpandang
dengan garis keturunan yang jelas.
Zainuddin
remaja, yang terusir dari Batipuh, daerah dimana ia kenal-mengenali
sosok cantik bernama Hayati, di senja yang temaram, dengan bekal
pakaian yang dikenakan, pergi meninggalkan Batipuh. Sebelum Zainuddin
betul-betul pergi dari Batipuh, sejanak sosok rupawan tersebut
menyambangi tempat dimana ia menulis surat cinta untuk Hayati pujaan
hatinya. Tak disangka, tiba-tiba Hayati berada disampingnya, menyapa,
merangkai kata menjadi bahasa, mengungkapkan keberatan hatinya bila
sosok yang dicintainya benar-benar pergi meninggalkannya. Zainuddin
dan Hayati, sepasang kekasih yang saling mencinta, kemudian berikrar,
berjanji untuk merawat cintanya. Selendang putih Hayati, yang
dipersembahkan kepada Zainuddin, menjadi selendang pengikat cinta di
bawah ikrar yang terjadi diantara keduanya. Zainuddin pergi, Hayati
pun pulang kembali.
Dari
Batipuh Zainuddin pindah ke Padang Panjang, di rumah saudaranya dari
garis keturunan ayahnya. Di Padang Panjang, Zainuddin mengenal media,
kreatifitas tulisnya yang terasah, semakin diasah, terlebih dalam
mengungkap romantika cinta yang dialaminya. Menulis, menjadi
pelampiasan Zainuddin dalam mengurai gelombang cintanya atas Hayati.
Tulisan-tulisan tersebut, karena kandungan sastranya yang tinggi,
dianggap layak oleh pemilik media untuk diterbitkan, menaikkan
ratting pembaca. Tak terkecuali, Hayati di daerah sebelah, juga turut
menikmati karya sastra Zainuddin dari media yang dibacanya setiap
pagi.
Cinta
diantara keduanya semakin kuat dan terjalin hebat, tiba pada suatu
hari, Hayati bermaksud untuk berkunjug ke Padang Panjang selama dua
pekan. Di Padang Panjang, Hayati tinggal di rumah temannya yang kaya
raya, saudara laki-laki dari temannya tersebut, adalah abdi Belanda;
penjajah terlama Nusantara. Hayati dalam kesementaraannya di Padang
Panjang, hanya untuk bersua dengan laki-laki pujaannya, laki-laki
pujaan tersebut, tak lain ialah Zainuddin. Dalam waktu yang
direncakan oleh keduanya, akhirnya mereka berjumpa dalam perhelatan
akbar bernama "Pacuan Kuda". Keduanya bersua walau tak
lama, dan hanya kata sapa yang terjadi diantara keduanya.
"Zainuddin?!" Seru Hayati, dan "Hayati?!" Tukas
Zainuddin. Kemudian keduanya kaku dalam kecamuk cinta yang membara.
Kekakuan tersebut pecah setelah teman Hayati menarik lengan Hayati
untuk memasuki stadion pacu. Dalam stadion pacu, pusat perhatian
Hayati hanya tertuju pada sosok Zainuddin, dan Zainuddin pun terfokus
pada sosok Hayati. Keduanya saling pandang tajam!. Setelah Zainuddin
tahu, bahwa Hayati terlihat bercengkrama asik dengan kakak temannya
yang bernama Aziz, ia meninggalkan lokasi, Hayati pun segera pulang
untuk menenangkan diri.
Kecamuk
cinta keduanya semakin menjadi-jadi, sampai suatu waktu, Aziz yang
kaya raya, yang terpikat kecantikan Hayati, kemudian melamarnya.
Dalam waktu yang bersamaan, Zainuddin juga turut melamar Hayati.
Ketua adat dan keluarga besar Hayati berembuk, siapa diantara
keduanya yang akan diterima sebagai calon suami Hayati. Rembukan
tersebut memutuskan, Aziz lah yang terpilih, dengan pertimbangan,
Aziz lebih jelas nasab dan hartanya ketimbang Zainuddin yang miskin
dan tak punya orangtua. Tetua adat menjelaskan hasil rembukan
tersebut kepada Hayati, kemudian Hayati mengamini walau pun hatinya
berteriak menolaknya. Hayati tertekan dalam kungkungan adat, yang,
jika menolak atas hasil rembukan tersebut, akan dianggap melenceng
dan melawan keputusan adat yang sakral.
Zainuddin
dan Hayati tetap saling memberi kabar melalui surat, dan surat
terahir Hayati yang menyayat hati Zainuddin, ketika surat tersebut
mengabarkan bahwa keluarga besar Hayati lebih memilih Aziz sebagai
calon suaminya. Hayati yang dalam keadaan terpaksa, demi adat
istiadat yang dipegang teguhnya, meminta Zainuddin untuk mengakhiri
kisah cintanya yang tak direstui keluarga, diganti menjadi
persahabatan diantaranya. Setelah Zainuddin membaca surat tersebut,
ia jatuh sakit, dan hampir gila sampai dua bulan. Pembicaraannya
ngalentur dan selalu memanggil dan menyebut-nyebut nama Hayati. Untuk
mengobati "gila"-nya Zainuddin, pihak keluarga Zainuddin
meminta agar Hayati sudi menjenguknya, dengan harapan, hadirnya
Hayati di hadapan Zainuddin, dapat mampu menyembuhkan penyakitnya
yang teramat parah karena luka cinta. Hayati datang bersama suaminya,
setiba di depannya, Zainuddin yang terkulai kaku, tersadar atas
sapaan kekasihnya yang menusuk kalbu, ia bangkit dan menyapanya. Tapi
setelah tahu, bahwa Hayati telah dimiliki oleh orang lain dengan noda
inang dijemarinya, Zainuddin kembali lemas, kemudian merebahkan
tubuhnya ke atas dipan, dimana ia selama ini sakit, sambil berujar
mengusir orang yang sebenarnya masih sangat dicintai tersebut.
Hayati
berkhianat atas cinta Zainuddin. Dalam perjalanan hari, luka cinta
Zainuddin dapat sembuh akibat masukan seorang sahabatnya yang bernama
Muluk. Muluk meminta agar Zainuddin tidak terus meratapi kesakitannya
dan menggugah kesadarannya jika kehidupan ini sungguh luas dan tak
baik memasung diri kerena sebab cinta perempuan yang telah
berkhianat. Zainuddin bangkit, kemampuan menulisnya yang hebat,
menjadi aktifitas hari-harinya untuk bangkit dari keterpurukan yang
berat.
Dalam
rangka menghapus masa-masa pahitnya selama di Padang Panjang,
Zainuddin memutuskan diri untuk merantau ke Batavia (sekarang
Jakarta). Muluk teman akrabnya, memutuskan untuk ikut bersama
Zainuddin. Sesampai Zainuddin di Betavia, ia bekerja kepada
perusahaan percetakan media massa, karena alasan bisnis, Zainuddin
pun pindah ke Surabaya, di Surabaya, selain ia menekuni bisnis dan
sebagai penulis di media, ia juga tergabung dalam komunitas orang
Sumatra yang berada di Jawa. Karier Zainuddin melejit, sehingga
membuatnya kaya raya. Nama Zainuddin, akhirnya diganti menjadi
"Shobir", nama baru Zainuddin yang dianggap lebih keren dan
lebih pas sesuai dengan kondisinya kini.
Aziz
dan Hayati, pindah ke Surabaya. Urusan pekerjaan yang menempatkan
Aziz di Surabaya menjadi alasan utama kenapa mereka pindah. Sampai di
Surabaya, karier Aziz tidak secemerlang selama di Padang Panjang,
Aziz jatuh bangkrut dan miskin setelah di jawa. Mengetahui kondisinya
melemah, Aziz mendekat kepada Shobir, meminta belas kasihannya,
Shobir yang dermawan tetap bersikap dan berprilaku baik atas orang
yang pernah mencampakkannya dan merebut pujaan hatinya dengan
pengaruh kekuasaan dan uang, Shobir waktu itu, kesempatannya untuk
melakukan pembalasan atas perlakuan bejat Aziz selama jaya di Ujung
Pandang terbuka lebar, tapi Shobir tidak memanfaatkan kesempatan
tersebut, malah ia menyediakan tempat atas Aziz untuk bertempat
tinggal di rumahnya sejak Aziz terusir dari rumahnya akibat hutang
dan dipecatnya dari kantor perusahaan yang ia jalani. Sehari-hari
Aziz bersama Hayati yang tinggal di rumah Shobir mempunyai rasa tidak
enak dan malu atas dirinya sendiri. Mangingat, semasih Aziz jaya,
Aziz memperlakukan Shobir dengan sangat tidak mulya. Aziz yang
dihantui perasaan malu, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah
Shobir, mencari pekerjaan ke daerah lain.
Hayati
kekasih lama Shobir dan istri Aziz, oleh Aziz ditinggal di rumah
Shobir. Aziz berjanji atas Shobir, dalam waktu yang tepat nanti,
istrinya akan dijemputnya kembali. Selama Hayati di rumah Shobir, ia
dilayani sebaik mungkin. Shobir tidak pernah bertindak di luar batas
etik atas Hayati.
Dua bulan sejak kepergian Aziz, Aziz berkirim surat kepada Shobir dan Hayati, yang menjelaskan bahwa ia menjatuhkan talaq atas istrinya dan bermaksud "mengembalikan" Hayati atas Shobir. Aziz mengakhiri hidupnya secara tragis dengan bunuh diri. Barangkali ia sudah tidak kuat menanggung malu atas Shobir yang diperlakukan jelek olehnya, membalas dengan balasan mulya.
Dua bulan sejak kepergian Aziz, Aziz berkirim surat kepada Shobir dan Hayati, yang menjelaskan bahwa ia menjatuhkan talaq atas istrinya dan bermaksud "mengembalikan" Hayati atas Shobir. Aziz mengakhiri hidupnya secara tragis dengan bunuh diri. Barangkali ia sudah tidak kuat menanggung malu atas Shobir yang diperlakukan jelek olehnya, membalas dengan balasan mulya.
Semenjak
kematian Aziz, Shobir dan Hayati terjadi dialog. Gejolak batin
diantaranya sejak masih di Padang Panjang tetap terjalin kuat. Shobir
dengan egonya karena merasa dikhianati oleh orang yang dicintainya
menolak Hayati baru yang sudah janda. Shobir meminta Hayati agar
pulang ke Ujung Pandang. Hayati menolak! Shobir memaksa!, dengan
keterpaksaan pula, akhirnya Hayati pulang dengan menumpang kapal
besar megah milik Belanda bernama "Van Der Wijck" dalam
perjalananya, kapal ini tenggelam, Hayati pun tak dapat diselamatkan.
Setelah
Shobir tahu, bahwa kapal yang ditumpangi Hayati karam, Shobir bersama
temannya yang bernama Muluk, bergegas mencari kabar, kemudian mencari
sosok Hayati yang sudah berada di sebuah rumah sakit. Sepasang
kekasih ini kembali bertemu, Shobir mengungkapkan rasa menyesalnya
karena telah meminta Hayati yang dicintainya untuk kembali ke Padang
Panjang. Keduanya bercengkrama, dalam kondisi Hayati yang sekarat.
Dalam beberapa detik kemudian, Shobir, atas permintaan Hayati,
melafalkan kalimat Shahadat di dekat telinga Hayati, mengiringi
kepergiannya untuk selamanya. Air mata menyesal Shobir pun berderai
tak terbendung.
Untuk
mengenang kekasih yang dicintainya, selang beberapa hari setelah
pemakaman Hayati, Shobir mendirikan lembaga sosial "Panti Asuhan
Hayati", yang bergerak di bidang pemberdayaan anak-anak
terlantar dan yang kehilangan orangtuanya sejak kecil.
Kisah
cinta dalam film ini, adalah kisah cinta yang terpasung oleh
adat-istiadat sakral yang diyakini suci. Dan kisah cinta dalam film
ini, menyajikan kecenderungan manusia untuk bertindak diskriminatif
di saat posisinya kuat, berharta dan bertahta. Di titik yang lain,
juga mengambarkan kesederhanaan, kebersehajaan, keagungan, dan
keteguhan sikap.
Akhirnya,
jika anda ingin menyelami cerita cinta yang sangat bermakna ini,
tontonlah filmnya!, kemudian bacalah novelnya!. Setelah itu,
jadikanlah tuntunan atas setiap pelajaran hikmah yang didapatkannya.
Selamat
menikmati...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...