Hari
ini (Sabtu, 11 Januari 2013) saya menghabiskan waktu untuk
menapaktilasi Makam Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia -Bung
Karno- di Blitar Jawa Timur. Berangkat dari Stasiun Kereta Api
Wonokromo Surabaya pada jam 04:36 Wib dengan nama Kereta "Penataran
Dhoho", kemudian sampai di Stasiun Kota Blitar pada jam 09:36
Wib. Kami bertiga. Awalnya berempat, cuma karena satu sahabat
datangnya telat ke Stasiun, dengan berat hati, terpaksa kami tinggal.
Kira-kira 2 menit sejak kereta berangkat, teman kami yang ditinggal
sudah merapat di Stasiun Wonokromo. Sahabat tersebut adalah; M.
Misbachul Mustafa (Alumni Fak Syariah yang pulang mengabdi di
desanya), Rusmadi (Staf percetakan ternama di Surabaya) dan sahabat
kami yang ketinggalan Kereta, Sahabat Busthomi Romy (teman satu
kampung dengan saya yang saat ini bekerja sebagai Staf Kebersihan di
Griyal Al-Quran Surabaya)
Setelah
keluar dari Stasiun Blitar, saya bertanya-tanya kepada orang, mulai
dari tukang becak, ojek, dan penarik dokar. Pertanyaan pertama,
dimana makam Bung Karno, kedua, berapa meter dari arah stasiun
Blitar, dan berapa tarif becak, ojek dan dokar. Jawabannya, makam
Bung Karno terletak dekat dari Stasiun Kota Blitar, jaraknya
kira-kira 3000 meter, dan tarif; becak Rp. 15 ribu per becak, ojek
Rp. 10 ribu per orang, dan dokar Rp. 20 ribu per dokar. Akhirnya,
kami memutuskan naik dokar.
Sampai
di makam Bung Karno, disambut oleh perempuan renta penjual bunga yang
biasa dibawa orang untuk nyekar. Bunga tersebut, per kresek plastik
kecil dijual Rp. 2 ribu. Setelah saya tanya, hubungannya bunga dengan
makam Bung Karno?!, jawabannya ada dua, "Karena Bung Karno
sewaktu hidup sangat suka bunga" dan "Bunga tersebut dapat
ditukar dengan bunga yang berada di pusara makam Bung Karno untuk
sebuah keberkahan, istilah gampangnya, ngalap berkah". Dari
sekian orang yang saya tanyakan seputar bunga, tidak sedikit yang
menganggap bahwa bunga-bunga yang diambil dari pusara makam Bung
Karno, akan membawa keberkahan, baik dalam soal rejeki, jodoh, maupun
hal lain sesuai dengan niatnya. Karena saya tidak mantap, saya engan
membali bunga, kemudian saya memasuki areal makam tanpa bunga.
Di
pintu gerbang masuk makam Bung Karno, kami disambut patung besar
Soekarno yang sedang duduk membaca. Gedung tersebut diapit oleh dua
gedung perpustakaan. Perpustakaan buku dan galery foto-foto Soekarno.
Sejak di patung tersebut, hampir semua pengunjung, termasuk kami,
melakukan foto-foto, dengan pose dan model yang beragam. Atas
kejadian itu, saya teringat pernyataan Guru Besar Ilmu Ekonomi
Universitas Indonesia, Prof. Rhenald Kasali, beliau menyatakan, "kita
saat ini sedang memasuki peradaban kamera, semua orang berlomba-lomba
untuk tampil narsis, kelihatan ceria dan istimewa di balik lensa
kamera". Benar, tak satu pun orang yang saya temui, tidak tampil
ceria di depan kamera. Senyum, dan berpose yang menurutnya lucu,
indah dan bahkan gokil. Semua ingin tampil perfect di depan kamera.
Memasuki areal makam, ternyata orang yang melakukan baca-bacaan
berbau agama Islam sangat sedikit, bahkan, saya tak melihat satu
al-Quran pun di samping kanan-kiri makam. Beda dengan makam
Abdurrahman Wahid dan makam para Wali Songo, yang bisa dipastikan
hampir semua pengunjung melantunkan lafal-lafal berbau agama Islam
dan kitab al-Quran di samping kanan-kiri makam mudah ditemui.
Setelah
membacakan Suroh Yasin secara sir; pelan, halus, dan tak menimbulkan
suara, kemudian kami melihat master plan kota Blitar, foto Bung Karno
bersama Fatmawati, dan pesan-pesan moral berbahasa jawi kono.
Diantara kami pun tak ada yang paham atas tulisan berbahasa jawi
tersebut, walaupun dua teman saya tersebut, M. Misbachul Mustafa
adalah orang Tuban, dan Rusmadi orang Ponorogo.
Setelah
puas melihat, mengamati, dan melakukan foto-foto, kami keluar dari
areal makam melalui petunjuk arah yang sudah ada. Di pintu keluar,
saya disambut oleh penjaja souvenir, aksosoris, dan kuliner. Baik
yang menyangkut tentang pribadi Bung karno maupun hasil kreatifitas
lokal masyarakat Blitar. Khusus kuliner, tidak kami temui yang
menjadi ciri khas Blitar, semua makanan yang dijajakan, banyak yang
sudah saya temui di kota-kota lain seperti Surabaya.
Dalam
perjalan keluar dari makam, ternyata kami dipolitiki oleh petunjuk
arah. Kami dibuat putar-putar panjang untuk melewati jajakan para
penyedia barang. Dari sekian barang yang dijual, ternyata saya
terpikat dengan kaos yang bertuliskan "Indonesia", dan
teman saya karena barangkali kesal dan panjang dalam menempuh
perjalanan keluar, akhirnya membeli camilan dan air meneral. Sampai
di luar, kemudian kami rehat dan melanjutkan sholat duhur, setelah
sebelumnya sempat melihat-lihat sepintas akan barang-barang yang
dipajang di kanan-kiri jalan.
Kemudian,
karena lelah dan tenaga sudah melemah, kami pun mencari makanan. Dari
sekian pilihan yang ada, saya memutuskan untuk makan Soto Lamongan
milik para Pedagang Kaki Lima (PKL), yang kemudian diamini oleh dua
sahabat tersebut. Sehabis makan, kami masuk ke Perpustakaan Bung
Karno, disitu, ditampilkan foto-foto dan buku-buku tentang Bung
Karno. Karena waktu terbatas, kami tak punya cukup waktu untuk
membaca buku-buku yang tersedia. Kami pun keluar dari perpus,
kemudian mencari dokar untuk bekunjung ke rumah Bung Karno kemudian
pulang. Sampai di rumah Bung Karno, kami langsung memasuki rumah yang
memang diperuntukkan untuk umum. Kamar, mesin ketik tua, dapur,
kendaraan keluarga Bung Karno, dan hampir semua hal yang disajikan
dalam rumah tersebut kami amati. Puas mengamati dari setiap titik,
kami pun keluar menuju dokar yang telah menunggu sekitar 20 menitan.
Dalam
perjalanan pulang, saya banyak ngobrol sama penarik dokar. Agar
ngobrol maksimal, saya meminta agar dokar tidak dipacu cepat, cukup
jalan biasa sambil menikmati sesekitar. Dokar yang saya kendarai ini,
pemiliknya tergolong bersahabat, bisa diajak canda dan tertawa lepas.
Kudanya bringas, beda dengan kuda dokar yang saya tumpangi dalam
perjalanan berangkat. Cerita dari dua penarik dokar ternyata asyik.
Penarik dokar pulang, sudah sejak tahun 1971. Sedangkan penarik dokar
berangkat, sudah sejak tahun 1975. Keduanya masih segar, sehat,
energik. Setelah saya tanya rahasiannya apa, jawaban mereka hampir
sama "nikmatilah hidup, tidak usah dipikir terlalu dalam.
Jalani, lalui. Bangun keakraban dan canda tawa antar manusia, karena
keakraban dan candatawa itulah yang bikin pikiran dan tubuh terus
terasa muda" kelekarnya. Pernjalanan pulang terasa cepat,
stasiun Blitar sudah semakin dekat. Kira-kira, 5 meter dari stasiun,
kami kena hujan, dokar pun berjalan sangat pelan. Sampai di stasiun,
kami turun. Di tengah hujan yang mengguyur, kuda telah basah akibat
hujan, kemudian dikasih pakaian berbahan terpal oleh pemiliknya.
Akhirnya, kuda bebas dari guyuran air hujan yang deras.
Sambil
menunggu hujan reda, kami meringkuh di toko camilan yang atapnya
tidak sedikit yang bocor. Sambil makan camilan yang sempat dibeli di
areal makam Bung Karno, kami baca koran Surya yang tergelatak di atas
kulkas minuman milik salah satu prodak minuman. Koran telah terbaca,
hujan pun tak kunjung reda. Mata saya ngantuk berat. Akhirnya, saya
seorang tertidur duduk, dua orang diantara kami menikmati
kesendiriannya masing-masing. Selang, kira-kira 45 menit kemudian,
saya terbangun dan hujan sudah tidak begitu deras. Kemudian, kami pun
bersepakat untuk melangkah ke stasiun. Sambil menunggu kereta, kami
sholat Asyar, dan isi daya batre BlackBarry yang habis sejak siang.
Usai
sholat dan batre handphone terisi, sambil menunggu Kereta datang,
kami berfoto ria di sudut-sudut yang menurut kami bagus. Akhirnya,
selang beberapa menit kemudian, kereta pun datang.
Oya,
bila suatu waktu anda melakukan perjalanan yang sama, setelah kereta
sampai di Stasiun Kertosono, belilah nasi "Peccel Pincuk"
yang rasanya gurih nikmat, tepatnya samping kanan tulisan
"Kertosono", bukan peccel yang dijajakan di dalam kereta.
Kereta di stasiun tersebut berhenti cukup lama, kurang lebih sekitar
10 menitan. Hehehe
*Tulisan
ini ditulis dalam perjalanan pulang. Blitar-Surabaya
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...