Kemaren,
Rabu (19/3) hari pertama saya di Jember. Tepatnya di Kecamatan
Tanggul, Desa Patemon, Dusun Pemandian. Saya bertemu dengan beberapa
orang yang bagus berpitutur tentang Jember. Dengan tiga bahasa yang
diaur. Madura, Jawa, dan Indonesia.
Orang
pertama dan yang ke dua, dengan semangatnya yang menyala-nyala,
menjelaskan tentang dinamika politik Jember. Tepatnya hiruk-pikuk
suasana menjelang pileg maupun pilpres. Jurus para calon legislatif
dalam "memasarkan" dirinya untuk "dibeli" oleh
masyarakat pada pileg nanti menarik saya haturkan di sini. Dengan
gaji pokok yang hanya 15 juta dalam sebulan ketika misal nanti
terpilih sebagai legislatif, berbanding terbalik dengan modal politik
yang dikeluarkan. Berdasarkan penjelasan orang yang saya temui ini,
bahkan ada caleg yang sampai mengolontorkan dana sampai 2 miliyar
hanya untuk mendapatkan kursi DPRD di kabupaten. Belum lagi nomor
urut partai yang lumrah "diperjual-belikan" oleh partai.
Semakin rendah nomor urut caleg, semakin mahal!. Wuih, ini tergolong
besar untuk tingkat kabupaten, karena setelah saya coba hitung, gaji
yang akan didapat selama menjabat, cuma Rp. 900 juta. Jadi bisa
dipastikan, caleg yang bermodal besar, ketika misal nanti terpilih,
tidak menutup kemungkinan untuk bertindak agar modal politik yang
telah dikeluarkannya dapat kembali. Bila perlu, melebihinya.
Desa
yang saya datangi ini termasuk dalam Daerah Pemilihan (Dapil) enam
dari enam Dapil se-kabupaten Jember. Dengan masing-masing Dapil
terdiri dari 575 Tempat Pemungutan Suara (TPS) minimal, dan 891 TPS
maksimal. Caleg di Dapil ini dari masing-masing partai rata-rata
berjumlah 6 orang dari 12 partai yang lolos verifikasi sebagai
peserta pemilu 2014. Berarti ada kurang lebih 72 caleg yang akan
memperebutkan 9 jatah kursi yang diproyeksikan untuk Dapil ini. Dapil
enam ada 672 TPS. Setiap caleg memiliki saksi yang diatasnamai
partai. Baik di TPS, kecamatan, maupun di KPU. Harga saksi 100 ribu
per orang di TPS, 500 ribu di tingkat kecamatan, dan 1-1,5 juta di
KPU kabupaten. Setelah dihitung, masing-masing partai harus
menyediakan kurang lebih sekitar Rp. 1.075.200.000, per saksi. Belum
lagi biaya tak terduga yang tak dapat di kalkulasi. Biaya saksi
dibebankan kepada caleg atas rekomendasi partai pengusungnya. Jadi
tak heran, biaya nyaleg walau hanya untuk tingkat kabupaten saja
modalnya tidak sedikit. Hitung-hitungan tersebut, bisa jadi lebih
besar dari hitungan yang telah tersaji. Karena tidak menutup
kemungkin, demi sebuah kursi, para caleg berani bayar lebih besar
atas para saksi-saksinya agar benar-benar menjaga suaranya sampai
penghitungan di tingkat kabupaten. Belum lagi biaya pendulangan suara
di tingkat bawah, pasti tidak kecil.
***
Orang
ke tiga, menceritakan tentang Jember dari sisi sosial politik.
masyarakat di klasifikasi menjadi dua, Jember utara yang rata-rata
dihuni oleh Madura atau keturunan Madura, dan Jember selatan
rata-rata oleh orang jawa atau keturunannya. Walaupun diantara
keduanya, antara Madura dan Jawa, telah terjadi asimilasi. Asimilasi
itulah, salah satunya melahirkan bahasa khas yang diaur dari tiga
bahasa sekaligus tersebut.
Jember
utara banyak berdiri pabrik-pabrik gula, kopi, kakau, teh, karet, dan
tanaman kebun lainnya. Pabrik-pabrik itu semuanya peninggalan
Belanda, baik atas nama organisasi dunia (VOC) maupun pemerintahan
Hindia Belanda. Saat ini pabrik-pabrik tersebut sudah berada di bawah
naungan Badan Usaha Milik Negera/Daerah (BUMN/D). Ribuan orang yang
bekerja di pabrik ini, dan hampir semua buruh memiliki darah Madura.
Dulu,
orang Madura didatangkan oleh VOC sebagai buruh pabrik. Karena
orangnya kuat, tangguh, dan mau dibayar murah. Alam Madura yang keras
membentuknya bekepribadian keras, tegas, dan kuat menjadikanya
sebagai buruh idaman. Walaupun demikian, orang Madura tetap lebih
memilih patuh kepada kiai ketimbang kepada juragan pabrik. Padahal,
pabrik-pabrik itulah yang memberikan penghidupan kepada mereka.
Katanya, masih kuat sampai sekarang. Orang Madura, juga enggan
membayar pajak atas pemerintahan Belanda walaupun ia berkerja di
perusahaan yang dikuasai oleh orang-orang Belanda, sehingga
perlawanan berbentuk perang maupun sejenisnya sering terjadi di
kawasan ini. Mental berani yang dimilik orang Madura itulah menjadi
nyali untuk melawan Belanda. Perlawanan-perlawanan itu, juga menjadi
salah satu yang mengantarkan Indonesia merdeka. Bebas dari penjajahan
asing.
Orang
jawa asli, karakternya lembut, patuh, tunduk, dan enggan melakukan
perlawanan-perlawanan. Masyarakat jawa yang menghuni daerah Jember
bagian selatan lebih memilih manut, tunduk, dan mau membayar pajak
atas Belanda ketimbang melakukan perlawanan-perlawanan sebagaimana
orang Madura. Penjelasan ini, sepintas dapat dibenarkan ketika
melihat dinamika sosial politik di Jember saat ini. Walaupun Jember
secara keseluruhan, masyarakatnya sangat tertarik dengan pola politik
uang. Juga, sendi-sendi perekonomiannya dikendalikan oleh orang
berdarah China dan Arab. Warga masyarakat, baik yang jawa asli maupun
perpaduan antara Jawa dan Madura, masih lebih banyak sebagai
buruh-buruh mereka.
*Tulisan
ini hanya mau merpetegas pernyataan Jaluludin Rakhmat dalam sebuah
pengantar buku "Muhammad Prophet For Our Time" (2007) yang
ditulis oleh Karen Armstrong, bahwa "Hadup ini dibentuk
berdasarkan narasi deskripsi (cerita ke cerita), dari masa yang telah
asa. Salam
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...