Saat
ini (18/3) saya sedang melakukan perjalanan ke Kota Jember.
Menggunakan jasa transportasi Kereta Api (KA) kelas Ekonomi melalui
Stasiun Gubeng Surabaya. Di dalam KA, saya bertemu dengan Bapak Vian,
nama Jawa-nya Hariyoto. Beliau pemandu wisata asal Bantul, Jogja.
Bapak dua anak ini sedang membawa wisatawan asal Malaysia yang
berjumlah 11 orang ke tempat wisata Gunung Bromo di Probolinggo
setelah dari tempat wisata Gunung Dieng di Banjarnegara Purbalingga.
Bahasa Inggrisnya bagus, bahasa China bisa, dan ilmu pengetahuannya
bagus, terlebih di bidang sejarah. Karena pintar, awalnya saya
mengira bapak ini dosen, tapi ternyata bukan. Setelah saya tanya,
"kenapa bapak pintar?", jawabnya, "saya belajar!,
belajar itu tidak harus menjadi siswa atau mahasiswa, belajar itu
boleh dilakukan di mana saja dan kapan saja, atas hal apa pun dan
siapa pun". Kemudian, saya bertanya lagi, "Bapak tamatan
sekolah apa?", "Saya tidak tamat SD".
Bapak
ini telah berprofesi sebagai pemandu wisata selama hampir 20 tahun.
Karena bapak ini orang Jogja, maka saya bertanya-tanya tentang
pariwisata Jogja. Ternyata, menurut keterangan Bapak Vian, Jogja
adalah pusat pariwisata ter-menarik di Indonesia setelah Brobudur dan
Bali. Jogja tempat yang tepat ketika mau mengenali lebih jauh tentang
kejayaan nenek moyang sewaktu negeri ini masih bernama Nusantara.
Wisata sejarah, Jogja-lah pusatnya, karena sampai kini, Kraton
Jogjakarta masih eksis. Tidak lapuk sebagaimana kerajaan-keraan lain
di Nusantara.
Kraton
Jogja, umurnya lebih tua dari berdirinya Negara Indonesia. Didirikan
pada tahun 1756 oleh Mangkubumi; seorang keturunan raja Mataram kuno.
Kerajaan Mataram kuno hancur karena bencana dan peperangan. Rakyat
dan rajanya lari tunggang-langgang. Keturunan raja yang bernama
Mangkubumi kemudian bertapa di pinggir sungai Progo Jogja. Beliau
berdoa kepada yang maha kuasa meminta petunjuk untuk mendirikan
kembali keraton yang telah hancur lebur. Pusat Kraton Mataram kuno
memang di Jogja. Selama pertapaan, Mangkubumi kedatangan wangsit agar
mendirikan Kreton tepat di tengah-tengah di antara Gunung Merapi dan
Pantai Selatan. Gunung Merapi sebagai benteng pertahanan utara,
sedangkan Pantai Selatan benteng pertahanan selatan yang ratunya
sampai kini nge-trand disebut sebagai Nyai Roro Kidul. Sejak
Mangkubumi, Hamangkubuwono satu sampai sepuluh, mempunyai hubungan
khusus dengan Ratu Pantai Selatan yang tetap awet cantik sampai
sekarang. Hubungan yang baik dengan penguasa-penghuni mahluk Tuhan di
dimensi tiga itulah yang salah satunya menjadikan Kraton Jogjakarta
dapat eksis sampai sekarang.
Mangkubumi
mempunyai dua keturunan yang sama-sama berambisi jadi raja. Keduanya
berselisih akhirnya berdirilah Kroton Solo yang didirikan oleh adik
dari Hamangkubowono. Berdirinya Kraton Solo, akibat bantuan
organisasi rempah dunia yang biasa kita kenal dengan sebutan VOC.
Sehingga, Kraton Solo, memposisikan VOC bukan sebagai penjajah di
Nusantara. Sedangkan Kraton Yogyakarta tetap memposisikan VOC sebagai
penjajah. Maka tak elak, peperangan selalu terjadi di Jogja,
sedangkan di Solo, karena perseketuan itulah, tetap adem ayem dan
aman.
Sejak
perselisihan itu, mengantisipasi perselisihan selanjutnya, Kraton
Jogja memberlakukan aturan yang wajib dipatuhi, yaitu raja yang
diangkat, adalah anak laki-laki tertua dari raja yang sedang
memerintah. Sampai Raja Hamangkubowono X (sekarang), peratutan
tersebut tetap dipegang teguh. Tak ada yang melanggar. Cuma, saat
sekarang, Raja Jogja yang berlangsung, tak memiliki keturunan
laki-laki, empat anak sultan, semuanya perempuan. Saya bertanya,
"Kira-kira, bagaimana Kraton Jogja selanjutnya, akankah akan
dipimpin oleh ratu, bukan raja sebagaimana Kraton Jogja dulu
didirikan. Kemudian, masak iya Ratu Pantai Selatan sudi menjalin
hubungan khusus dengan ratu bila misal nanti yang melanjutkan tahta
Sultan adalah seorang ratu?" Pertanyaan panjang ini dijawab
dengan jawaban simpel, "Kita lihat saja bagaimana epesode
selanjutnya" sambil terkekeh.
Sayang,
dalam pembicaraan ini saya hanya mendapat dua rekomendasi tempat
bersejarah Jogja yang menarik di kunjungi. Taman sari sebagai tempat
refreshing-nya keluarga besar keraton dan Kraton Yogyakarta yang
eksis sampai kini.
*Tulisan
ini hasil bincang santai dengan Bapak Viand. Karena beliau bukan
akademikus, jangan mengadili tulisan ini melalui kecamata akademis.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...