Sore
tadi (6/4), saya menyempatkan diri untuk hadir dalam diskusi yang
diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya.
Letaknya di halaman Masjid Ulul Albab, Kompleks UIN Sunan Ampel
Surabaya. Di situ, saya bertemu dengan Bahauddin Amyasi, pemuda
cerdas yang lebih dulu aktif di IKMAS. Selebihnya, mahasiswa yang
aktif setelah saya.
Dalam
diskusi tadi, pengurus mengangkat tema "Adaptasi Siswa ke
Mahasiswa". Di situ, Cak Baha'--panggilan harian atas Bahauddin
Amyasi--menjelaskan tentang pentingnya mengkonstruksi ulang atas
mahasiswa kini yang mindset-nya masih berpola ala siswa. Hal ini
sudah tentu, salah satunya, menjadi tanggung jawab pengurus IKMAS
untuk melakukan trobosan atas teman-teman mahasiswa Sumenep yang pola
berfikirnya tak ubahnya siswa.
Siswa,
dalam konstruksi umum yang difahami penulis, ialah anak muda yang
hanya bertugas untuk belajar, tanpa ada tuntutan untuk melakukan
penelitian dan pengabdian. Siswa juga, selama pembelajarannya, lebih
berpola menerima apa pun yang diajarkan oleh guru (giving), tanpa
disertai analitis. Apalagi model pembelajaran yang terjadi di
pesantren-pesantren. Sedangkan mahasiswa, selain menerima apa yang
disampaikan dosen, juga berhak mengkajinya. Bahkan mengkritisinya
setajam mungkin dengan pisau analisis yang ilmiah. "Menolak"
atas yang disampaikan dosen adalah hal yang biasa dalam dunia
mahasiswa, dan itu sah-sah saja. Tapi tidak dalam dunia siswa.
Kecenderungan guru bertindak "otoriter" dalam dunia siswa
tidak terjadi lagi ketika ada dalam dunia mahasiswa. Toh misal pun
ada dosen killer--sebutan khas atas dosen yang otoriter--atas
mahasiswa, mahasiswa dapat melakukan "perlawanan" terukur
yang berefek jera. Dosen killer pun mudah dibuat kapok oleh mahasiswa
yang punya kecenderungan "melawan" dengan argumen dan
tindakan yang menawan. Dalam konteks "perlawanan",
mahasiswalah jagonya. Dalam konteks gerakan perubahan pun, dalam
skala lokal (kampus) maupun di luar kampus, mahasiswa lah yang sering
berada di garda depan.
Ach.
Junaidi, yang biasa dipanggil Jun Khab, komisioner pengurus IKMAS,
menukil pendapat tokoh, Edward Said, dalam sebuah buku yang berjudul
"Dunia, teks, dan (sang) kritikus". Dalam buku tersebut,
Jun Khab menjelaskan, bahwa mahasiswa adalah figur intelektual.
Intelektual itu, berani mengemukakan yang benar tetap benar dan yang
salah tetap salah. Walau pada awalnya, orang benar akan dikucilkan,
terancam dibumihanguskan. Tapi dalam waktu yang panjang, yang benar
itulah yang bakal dikenang.
Lain
halnya dengan Sofyan Isma'el, anggota IKMAS. Ia mengutip pendapatnya
Nurcholis Madjid, bahwa mahasiswa itu harus memiliki kemandirian
dalam hal apa pun, pintar berkomunikasi, dan sering melakukan
pertanyaan-pertanyaan untuk mengasah nalar analitisnya, serta
bertanggung jawab menciptakan solusi atas problem hidup yang telah
dan sedang berlangsung ini.
Mahasiwa
sering disebut sebagai agen of change (penyalur perubahan). Untuk
mewujudkan agar mahasiswa dapat benar-benar sebagai penyalur
perubahan, negara telah mengaturnya dalam Undang-Undang Perguruan
Tinggi tentang tugas pokok dan fungsi mahasiswa, yaitu melaksanakan
Tri Dharma Perguruan Tinggi; belajar, meneliti, dan mengabdi. Gerakan
perubahan sangat mungkin terjadi, bila ketiga komponen dalam Tri
Darma Perguruan Tinggi tersebut saling bertautan antara satu dan yang
lain. Gerakan mahasiswa yang kerap "tumbang" di tengah
perjalanan, karena mengabaikan salah satu dari ketiga komponen
tersebut. Atau, memang tidak menggunakan satu pun dari ketiga kiat
jitu tersebut.
Akhirnya,
menjadi mahasiswa itu, memiliki tanggung jawab dan peran yang lebih
besar dari sekadar menjadi siswa.
Selebihnya,
biar dilengkapi oleh teman-teman yang lain. Karena saya berharap,
tulisan ini menjadi diskusi yang berlangsung secara tertulis.
Terlebih dari teman-teman yang tadi turut hadir dalam agenda diskusi
yang rutin terselenggara setiap minggu sore.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...