BERKAT YOGYAKARTA, INDONESIA TERSELAMATKAN DARI CENGKRAMAN PENJAJAH

Buku ini dihadirkan untuk mengenang jasa Sultan Hamengku Buwono IX (SHB IX) yang mendedikasikan hidupnya untuk rakyat Jogjakarta dan perannya dalam memerdekakan Indonesia dari genggaman penjajah Belanda, Inggris, dan Jepang. Juga, sebagai peringatan 100 tahun atas mangkat-nya menghadap sang maha pencipta. Buku yang terdiri dari 347 halaman ini terdiri dari empat bagian; pertama, tentang kipran dan warisan Sri Sultan. Kedua, Serangan Umum 1 Maret 1949, ketiga, Pemimpin, Kraton, dan Abdi Dalem. Dan empat, Kesan terhadap Sri Sultan HB IX. Buku ini ditulis oleh banyak tokoh yang kompeten. Mulai dari sejarawan sampai mantan ajudannya yang masih hidup.


Kesederhanaan Sultan dalam berkata, bertindak, dan bertanggung jawab untuk menyejahterakan rakyatnya menjadikannya sebagai raja yang terus dihormati dan diikuti kata-katanya. Bahkan, rakyat Yogyakarta lebih patuh kepada "dawuh" Sultan ketimbang peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Tindak-tanduk Sultan terus menjadi contoh karena berbalut suritauladan.

Raja Yogyakarta, di bawah SHB IX, dengan besar hati, pada 5 September 1945, menyatakan bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru dideklarasikan sebagai negara merdeka pada 17 Agustus 1945. Raja pertama dari sekian raja-raja di Nusantara yang masih eksis. Padahal, Yogyakarta waktu itu, di bawah SHB IX, lebih diakui kedaulatannya oleh negara-negara di dunia ketimbang Indonesia. Dan, di tengah gemuruh gojolak deklarasi kemerdakaan RI, SHB IX sempat mendapatkan tawaran menggiurkan dari Belanda untuk bekerjasama menumpas gerakan kemerdekaan, yaitu daerah kekuasaannya meliputi Jawa sampai Madura sebagai hadiah atasnya. Tapi SHB IX bergeming, beliau lebih memilih mendukung pada gerakan kemerdekaan.

Tidak hanya itu, di saat Indonesia lagi dilanda kegalauan, Ibu kota Indonesia yang berkedudukan di Jakarta diserang habis-habisan sampai lumpuh oleh penjajah. Soekarno sebagai Presiden, dan Hatta sebagai wakil Presiden, di hukum dengan diasingkan ke Bangka oleh Belanda. Yogyakarta hadir untuk "menyelamatkan" Indonesia dari kebinasaan. Yogyakarta bersedia penampung pemerintahan RI yang masih belia, sehingga Ibu Kota RI, dalam sementara waktu, sejak 4 Januari 1946, resmi berpindah ke Yogyakarta (hal. 234). Kenapa Belanda tidak berani memporak-porandakan Yogyakarta?, karena sekali lagi, kedaulatan Yogyakarta lebih diakui di mata negara-negara di dunia, dan prajurit karajaan Yogyakarta lebih kuat dari balatentara yang dimiliki oleh Indonesia.

Buku ini hadir, juga untuk meluruskan sejarah yang sengaja dibengkokkan oleh pemerintahan Orde Baru, yang waktu itu presidennya adalah Soeharto. Soeharto, dalam buku "Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya" yang ditulis oleh Nogroho Notosusanto menjelaskan, bahwa serangan umum pada 1 Maret 1949 itu adalah murni atas inisiatif Soeharto, bukan atas kehendak SHB IX. Tapi, Prabuningrat, kakak SHB IX, yang jelas-jelas mempertemukan Soeharto dengan SHB IX di Keraton Yogyakarta, menyangkal hal tersebut. Menurut Prabuningrat, Serangan Umum 1 Maret 1949, yang lebih dikenal sebagai serangan 6 jam di Yogya, murni inisiatif SHB IX dan pelaksana lapangannya di pimpin oleh Jenderal Soeharto. Serangan itu dilakukan, untuk menunjukkan eksistensi Indonesia di mata dunia yang di klaim oleh penjajah Belanda, gerakan kemerdekaan RI tak ubahnya gerakan separatis yang oleh Belanda, dalam sidang PBB, dinyatakan telah berhasil diberantas. Serangan tersebut sebagai jawab, bahwa gerakan kemerdekaan itu ada dan kuat, walaupun presiden dan wakil presiden RI, oleh Belanda telah diasingkan.

Sultan memantau perkambangan Indonesia di mata dunia melalui radio yang merupakan barang istimewa waktu itu. Pernyataan Soerharto yang menyatakan bahwa serangan umum 1 Maret 1949 adalah inisiatifnya karena laporan anak buahnya yang mendengarkan sidang PBB tentang Indonesia melalui radio sangat tidak masuk akal. Mengingat, radio adalah barang mewah dan hanya orang besar dan kaya yang dapat memilikinya. Sultan sebagai raja, dan anak buah Soerharto sebagai prajurit, masih lebih rasional Sultan dalam mendengarkan pemberitaan melalui radio tersebut.

Tidak hanya itu, saksi sejarah, dalam buku ini tidak sedikit yang menjelaskan bahwa Sultan lah penggagas serangan umum 1 Maret 1949 tersebut, Bukan Soeharto.

SHB IX, yang nama kecilnya bernama Dorojatun, sejak kecil sudah "diasingkan" dari keluarga besar keraton. Ia disekolahkan di sekolah Belanda dan di-indekos-kan kepada keluarga Belanda. Pada tahun 1930, Dorojatun diberangkatkan ke Belanda untuk menuntut ilmu. Di saat gembar-gembornya perang dunia II pada tahun 1939, ia diminta pulang oleh Ayahandanya, Sultan Hamengku Buwono VIII. Sembilan tahun Dorojatun di Belanda yang sengaja diminta oleh ayahandanya untuk mempelajari tentang orang Belanda yang tak lain tujuannya agar mudah menaklukkan penjajah yang telah menguasai Nusantara dalam waktu yang lama tersebut. Dorojatun menempuh study sampai lulus kandidat eximen untuk jurusan indologi (hal. 142). Ia dijemput sendiri oleh Ayahandanya ke Pelabuhan Betavia (sekarang Tanjung Priok Jakarta), dan dalam perjalan pulang, ia diwarisi Pusaka "Kyahi Jaka Piturun" oleh Ayahandanya, yang tak lain maksudnya adalah, Dorojatun lah sebagai pewaris tahta kerajaan Yogkarta. Di perjalanan pulang itu, adalah akhir dari pertemuan Dorojatun dengan ayahandanya. Tepat pada Minggu Kliwon, 22 Oktober 1939, Beliau mangkat menghadap sang pencipta untuk selamanya.

SHB IX, yang dalam pergaulannya selama menempuh study di sekolah Belanda mendapatkan panggilan Hengkie ini, sebelum dinobatkan sebagai raja, masih melakukan perundingan yang panjang dengan Belanda. Karena setiap pergantian raja, Belanda memiliki kebiasaan memperbaharui kontrak politiknya dengan penerus takhta kerajaan. Perundingan itu berlangsung a lot dan panjang. Memakan waktu sejak November 1939 sampai Februari 1940. Walaupun akhirnya, karena bisikan yang diyakini datang dari nenek moyang kerajaan yang menyatakan bahwa Belanda tak lama lagi akan hengkang, SHB IX kemudian menandatangani perjanjiannya dengan Belanda tanpa beliau membaca isi perjanjian tersebut. Tak lama dari penandatangan itu, Belanda benar-benar hengkan dari bumi Indonesia yang kemudian diganti posisinya oleh penjajah Jepang.

SHB IX, selama memimpin Yogyakarta, terkenal bijak sebagaimana raja-raja Yogyakarta sebelumnya. Karena bijaknya sang raja, dari generasi ke generasi, selain kerajaan tetap kuat, sampai sekarang tidak sedikit rakyat Yogyakarta yang berlomba-lomba untuk bertindak sebagai abdi kerajaan yang rela dibayar murah. Rp. 1800 sebulan (hal: 7). Juga, Raja Yogyakarta memegang prinsip "Anjaga tata titi tentreming praja" (menjaga keteraturan dan ketentraman hidup rakyat). Sehingga rakyat Yogyakarta sampai kini tetap berpegang teguh pada "Ndhe rek karsa dalem" (terserah kehendak raja). Hal ini terjadi karena rakyat Jogjakarta telah memasrahkan hidupnya pada raja yang jelas bijak. Merasakan betul atas setiap kebijakan yang benar-benar memihak kepada rakyat. Dan sampai kini, sejak Keraton Yogyakarta berdiri, prinsip "menjaga keteraturan dan ketentraman hidup rakyat" masih di pegang teguh oleh Sultan. Sehingga tak heran, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2004, mencoba bermanuver agar Gubernur Yogyakarta yang oleh konstitusi Indonesia diberlakukan secara melekat kepada Sultan, tidak lagi ditetapkan tapi dilakukan pemilihan langsung, mendapat penolakan keras dari hampir seluruh rakyat Yogyakarta. Manuver SBY, formalnya sebagai sikap atas pernyataan SHB X pada tahun 1999, yang menyatakan bahwa beliau "capek" ketika harus menjadi Gubernur Yogyakarta secara terus menerus. Pernyataan ini disinyalir oleh beberapa tokoh, bahwa SHB X sebenarnya, melakukan kritik halus agar pemangku kepentingan di negeri ini benar-benar bekerja untuk kemaslahatan rakyat.

SHB IX, menurut George Mc. Turnan Kahim (Peneliti Revolusi Indonesia 1948-1949), bukan seorang yang kolaboratif dengan mereka (penjajah). Bahkan pernyataan Sultan dalam bahasa Belanda "AL heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereeste plaats javaan" (Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, toh pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa), bahasa bebas saya, "Walaupun saya belajar di sekolah Belanda dan disekolahkan ke Negeri Belanda, jiwa dan hati saya tetap jawa" menjadi penting diresapi. Karena Sultan walaupun mengeyam pendidikan barat, beliau tidak melupakan kebudayaan luhur dan warisan adiluhung nenek moyangnya. Beliau tetap menjalankan kebudayaan, termasuk tentang mistifikasi di dalamnya, yang oleh pendidikan barat ditertawakan.

SHB IX, memiliki empat keputusan fenomenal; pertama, menyatakan Yogyakarta adalah bagian dari NKRI. Kedua, bersedia Yogyakarta dijadikan sebagai Ibu Kota Indonesia di kala Jakarta Porak-poranda. Ketiga, Turut membiayai republik ketika Ibu Kota Negara ada di Yogyakarta. Dan keempat, menyediakan tempat untuk sarana pendidikan yang saat ini kita kenal dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk generasi bangsa dari Aceh sampai Papua.

Buku ini menjadi kurang lengkap, ketika sosok SHB IX, hanya dijelaskan sisi baiknya. Tepatnya, berisi tentang puja-puji atas pribadi beliau. Padahal, SHB IX, yang statusnya juga manusia, sudah tentu memiliki kekurangan. Di mana kekurangan itu adalah fitrah yang Tuhan anugerahkan kepada setiap manusia. Tapi, buku ini tetap layak dibaca. Karena menurut Yudi Lathif dalam buku "Mata Air Keteladanan; Pancasila dalam Perbuatan" (2014), bahwa hanya sisi baik lah yang layak dinarasikan sebagai suritauladan atas setiap insan.

*Selamat membaca, selamat menyelami sejarah bangsa. Bagi yang belum punya, segera dapatkan di toko buku terdekat. Harganya murah, di bawah Rp. 50 ribu. Hehe.

Komentar