TENTANG CALEG

Pada bulan Maret, saya berkesempatan bertemu langsung dengan salah satu calon legislatif daerah kabupaten/kota di Jawa Timur. Dia putra kiai. Nyaleg bukan karena ia pintar berjejaring, tapi karena ayahandanya yang kiai. Setiap poster, banner, panflet dan peraga pengenalan lainnya, hanya agar mudah dikenal, selalu ada nama bapaknya. Caleg ini merekrut pemuda sebagai tim kreatornya. Berfungsi ganda. Mulai dari design grafis, cetak panflet, banner, baleho, sampai konsolidasi pemuda di dapil di mana ia bertarung memperebutkan kursi legislatif dari sembilan kursi yang diperebutkan. Pesaingnya tidak sedikit. Baik sesama partai politik pengusung, maupun dengan calon dari partai politik lain. Selain pemuda, tim pengeraknya juga dari golongan tua yang fanatismenya terhadap kiai masih tinggi. Cukup dibekali rokok dan disuguhi kopi orang itu sudi bergerak sesuai instruksi. Setelah saya tanya, "Bapak itu dibayar berapa?" Jawab sang caleg, "Dia tidak dibayar, ia adalah salah satu tim relawan yang siap membantu dalam proses pemenangan saya". Saya tahu, karena selama empat hari membaur di basecamp pemenangan caleg tersebut. Relawan yang datang silih berganti tidak sedikit. 24 jam non stop basecamp itu terbuka lebar. Terlebih atas para tim relawan. Informasi yang dibawa, beragam! Dari sekian informasi itulah, sang caleg mengetahui perkembangan di lapangan. Bahkan, dengan perhitungan yang cermat, sang caleg tidak segan-segan menindaklanjuti informasi yang diketahui dengan melahirkan instruksi kepada sang pembawa informasi. Berbekal rokok dan suguhan kopi hangat, sang relawan kembali siap untuk beranjak melaksanakan instruksi sang caleg.


Selama di situ, saya melakukan banyak diskusi. Saya tidak segan mengajak diskusi karena caleg tersebut adalah salah seorang yang sempat mempunyai hubungan khusus dengan saya dalam konteks keilmuan dan organisasi mahasiswa di salah satu kampus di Surabaya. Dari sekian diskusi tersebut, di detik-detik terakhir dalam rencana kembali pulang ke Surabaya, saya memberikan sekian pertanyaan yang jawabnya, selalu absurd!. Laiknya politikus kebanyakan. "Apa motivasi anda menjadi caleg?", jawabnya, "saya akan mengabdi kepada rakyat!". "Jika misal nanti jadi, gaji anda cuma 15 juta per bulan. Ketika dihitung, selama anda menjabat, cuma sekitar 900 juta. Sedangkan modal politik anda, sejauh yang saya amati, dengan model dan loyalitas yang anda miliki saat ini, sudah pasti melampaui gaji pokok yang akan diterimakan tersebut". "Hahaha, dalam politik, hitung-hitungannya selalu menggunakan hitung-hitungan politik yang kadang tidak logis!". "Bagaimana dengan janji-janji anda kepada masyarakat?" "Janji saya akan membantu mengurangi beban masyarakat. Jadi, saya akan melakukan sejauh yang saya mampu!", "tanpa target?", "Tanpa target. Karena kalau saya jadi, masih apa kata fraksi, saya ditempatkan di komisi berapa dengan bidang yang bermacam-macam itu. Nah, bila saya sudah menang, dan bidang saya sudah ditentukan, saya akan fokus bekerja sesuai dengan tugas yang telah dibebankan. Sekarang, tinggal bagaimana caranya saya menang!", "Selamat, Bung. Semoga rencana baik anda terkabul. Ingat!, bila misal nanti benar jadi, jadilah wakil rakyat yang benar-benar mewakili rakyat!". Diskusi pun kita akhiri.

Selanjutnya, di awal bulan April, saya berkesempatan melakukan diskusi dengan salah satu caleg DPRD Provinsi. Ia caleg di dapil saya. Madura. Diskusi tersebut saya bangun via BlackBarry Massanger (BBM). Ternyata, caleg ini pernah sebagai legislatif di salah satu kabupaten di Madura. Dari setiap pertanyaan yang saya ajukan, jawabanya tak kalah absurd sebagaimana jawaban calon legislatif yang saya kemukakan di atas. Jamak kita ketehui, jika kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran menjadi persoalan mendasar di negeri ini. Ditanya tentang programnya selama menjabat, jawabanya, "banyak". Ditanya tentang program kongkritnya yang telah terlaksana, katanya "mengawal dibukanya kembali bandara di salah satu kabupaten di Madura". Ketika saya desak lagi dengan pertanyaan "selain itu", jawabnya "Capek jika ditulis satu per satu". Kemudian, saya menyinggung program tentang pengentasan kemiskinan, penanggulangan kebodohan, dan penciptaan lapangan pekerjaan, pertanyaan saya kemudian tidak mendapat jawaban. Kemudian, saya bertanya, "Jika nanti terpilih, apa yang akan diperbuat?", jawabnya, "saya akan mengawal Madura sebagai provinsi". Caleg tersebut juga enggan memberikan jawaban setelah saya tanya "Prestasi apa yang telah diperbuat selama anda sebagai legislatif".

Pada waktu yang sama, saya juga mencari informasi tentang nama-nama caleg DPR RI dapil Madura. Setelah diketahui, karena nama-nama tersebut sebagian tersambung dengan saya di jejaring sosial, saya langsung mencoba menyapa dan memberikan beberapa pertanyaan. Dan ternyata, pertanyaan tersebut sampai saat ini belum ada tanggapan.

Susah benar mencari caleg yang mempunyai visi mengabdi untuk rakyat. Yang banyak, mengiming-imingi rakyat melalui stiker, banner, dan hal yang berbau konsumeristik lainnya.

Caleg yang memili visi mengabdi untuk rakyat, dan hitung-hitungan yang rasional plus prestasi nyata atas masyarakat, masih tergolong minoritas di tengah mayoritas masyarakat pemilih yang akan memilih tidak berdasarkan rasionalitas. Rasionalitas masyarakat mati karena kemiskinan, kebodohan yang sengaja dikembangsuburkan oleh abdi rakyat melalui program-program pragmatis-hidonis yang biayanya dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat.

Pada 9 April nanti, kita punya hak suara untuk memilih. Memilih wakil kita dalam urusan bernegara selama dalam lima tahun ke depan. Cuma, kita memilih atau tidak memilih, pada prinsipnya tidak akan mempengaruhi jalannya ajang srimonial fantastis tersebut. Berapa pun masyarakat yang tidak memilih (Golput), bahkan misalnya jika sampai 90 persen masyarakat memilih golput sekalipun, pemilu tidak akan gagal dan proses perebutan kursi legislatif akan tetap terus berlangsung. Malah, para caleg dibuat beruntung atas angka golput yang semakin besar.

Jika caleg yang akan kita coblos tidak memiliki rekam jejak yang baik, tidak pernah memiliki prestasi yang baik, sebaiknya kita berfikir ulang untuk mencoblosnya. Kecuali kita tergolong pemilih yang memilih karena sebab duit.

Apa bedanya dengan binatang jika otak yang kita miliki tidak difungsikan untuk berfikir dengan baik?!

Selamat merenung. Tulisan ini tidak untuk supaya anda golput, tapi lebih kepada ajakan agar tidak salah dalam memilih calon legislatif.

Saya pribadi, karena masih belum menemukan caleg yang pas, barangkali lebih memilih golput daripada mencoblos tanpa mengenali rekam jejak dan prestasi caleg yang akan dicoblos.

Komentar