Hari
ini umurku genap 25 tahun. Jika Tuhan menakar hidupku sampai umur 100
tahun, bararti aku telah melalui seperempat jalan hidup ini. Yang
bisa kulakukan sekarang, merencakan masa depan dengan mengenali lebih
dalam akan potensi diri melalui evaluasi total yang sebenarnya sudah
biasa kulakukan pada hari-hari biasa di seperempat malam tiba. Di
saat banyak orang memutuskan untuk terlelap. Evaluasi itu perlu,
untuk mengukur apa yang sudah dicapai dan apa yang masih belum
dicapai. Ternyata, dari sekian banyak rencana, tak semua berjalan
sebagaimana rencana. Yang tak berjalan sesuai rencana itulah, kucoba
pelajari, apa yang membuat rencana tersebut tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Dalam
satu tahun terakhir, aku memilih berkegiatan dalam dunia senyap.
Dunia yang jauh dari hiruk pikuk ramai masyarakat kota, walaupun
tetap memutuskan untuk hidup di kota tersibuk ke dua di Indonesia ini
karena alasan acces informasi, sarana dan prasarana jauh lebih baik
ketimbang di pelosok sana. Hari-hariku kupenuhi dengan mengeja
aksara. Kata demi kata terus kubaca, bahkan di WC-pun kujadikan
sebagai tempat representatif untuk membaca. Hal ini kulakukan, karena
aku sadar, bahwa aku adalah manusia biasa yang hanya pemimpi menjadi
orang luar biasa. Luar biasa karena karya yang membawa manfaat untuk
kehidupan yang sedang dan terus berlangsung.
Dalam
satu tahun terakhir, aku membatasi diri untuk berkegiatan aktif dalam
kehidupan praksis. Aku lebih memilih sebagai pengamat, pembaca
informasi, menonton telivisi yang channel-nya sering kuarahkan ke
TVRI, TvOne, dan MetroTv, bahkan kadang hanya bertindak sebagai "tim
hore" dari sahabat, kawan, teman, yang memilih terjun langsung
dalam dunia praksis. Entah berjuang melawan kemungkaran tanpa
tendensi, atau pura-pura berjuang hanya ketika tidak kebagian "kue".
Aku belajar bijak mengamati fenomena kehidupan ini, yang mana, antara
kebaikan dan keburukan terus mengalami pertarungan. Pertarungan yang
takkan pernah berhenti sampai kehidupan ini juga terhenti. Karena
bacaan itulah, akhirnya kusadari, bahwa baik buruk sengaja dihadirkan
Tuhan agar kehidupan ini tetap terus menarik.
Dalam
satu tahun terakhir, aku lebih sering melakukan kontemplasi,
berkunjung ke perpus-perpus memburu literasi yang tak mampu kumiliki
sendiri, berkunjung ke acara diskusi, walaupun juga kadang begadang
bersama teman-teman sambil mendiskusikan isu-isu sosial, politik,
hukum, ekonomi, bahkan sampai soal wanita-wanita seksi.
Dalam
satu tahun terakhir, aku tak banyak mendapatkan kritik, kecaman,
hujatan, bahkan ancaman dari orang lain. Mungkin karena jalanku tak
lagi ada dalam dunia praksis. Tak lagi di garda depan dalam soal
isu-isu sosial maupun politik. Tapi bukan berarti berhenti bergerak
di bidang sosial politik yang konstruktif. Keputusanku kini semata
untuk menempa diri, mematangkan bekal untuk suatu waktu kembali
terjun dalam kegiatan praksis. Kegiatan yang tentunya senada dengan
pesan agama yang berbunyi "khoirun nas anfa'uhum lin nas;
sebaik-baiknya manusia ialah yang bermanfaat atas sesama manusia".
Jika
kini kuditanya, siapa anda?, maka jawabku tetap mantap, aku adalah
mahasiswa. Mahasiswa yang kini masih belum sarjana di saat sahabat
yang satu angkatan sudah ada yang di wisuda dari pasca sarjana. Tapi
insya Allah, gelar sarjanaku dapat kuraih di tahun ini melalui salah
satu Universitas swasta di Surabaya. Gelar sarjana yang mestinya
kuraih dua tahun yang lalu kini sudah di depan mata. Semoga saja,
setelah gelar itu diraih, aku tak turut galau sebagaimana jutaan
sarjana yang kini masih "lontang-lantung" tak beruntung.
Sarjana dalam sementara waktu bagiku, hanyalah sekedar
kenang-kenangan dan pelipur bahagia yang tertunda atas kedua
orangtuaku yang sempat "sebel" karena "kenakalan"-ku
sewaktu "menggoncang" birokrasi kampusku dulu. Kampus yang
telah menempaku untuk berfikir dan bertindak kritis, dan kampus yang
juga "menendang"-ku karena alasan politis.
Dalam
satu tahun terakhir, aku memantapkan kebiasaan lama, menjadwal diri
sendiri dalam berkegiatan sehari-hari. Sibuk?, ya, aku sibuk karena
menyibukkan diri. Karena saking sibuknya, andai bisa, aku ingin
bernegoisasi dengan Tuhan agar memperpanjang waktu dalam sehari
semalam. Banyak rencana yang tertunda karena kadang terlena dengan
sifat malas yang datangnya tidak di sangka-sangka. Tapi semangat
untuk mempersibuk diri kembali pulih ketika kata-kata orangtuaku
kembali kuhadirkan dalam ingatku, "Nak, aku ini sudah miskin dan
bodoh, aku tidak ingin anak-anakku mewarisi kemiskinan dan
kebodohanku. Melangkahlah yang jauh, arungi semudera ilmu, taklukkan
waktu, jadikan hal itu sebagai bekalmu dalam menatap hari esok yang
harus lebih baik". Atas hal itu, sampai detik ini, aku semakin
haus akan ilmu, karena semakin banyak tahu, semakin kusadari dan
semakin membuka lebar-lebar kebodohan dan ketololan yang kini masih
setia melekat pada diriku. Entah sampai kapan, aku merasa puas akan
ilmu, cuma yang kurasa kini, aku masih terus mengalami kehausan ilmu
yang tak pernah terhenti. Aku candu pada ilmu pengetahuan.
Planing
apa setelah sarjana?, aku ingin melanjutkan study ke jenjang yang
lebih tinggi, yang bila bisa, tak lagi bergantung sepenuhnya kepada
orangtua. Walaupun orangtuaku, selalu men-support dari sisi biaya,
bahkan bapakku sempat menantang, berapa pun biaya yang kubutuhkan,
beliau selalu mengatakan "siap" walau pun kadang harus
ngutang. Atas hal itu, aku harus tahu diri, bapakku yang pendidikan
formalnya tak lulus SD, dengan penghasilan harian yang tak pasti,
"memaksa"-ku berfikir keras agar bertindak cerdas selama
dalam pengarungan ilmu yang entah sampai kapan akan berhenti. Mungkin
hanya kematian lah yang akan menghentikan pengarungan ini.
Harapku
dalam doa,
Tuhan,
di saat umur sudah menua ampunilah segala dosa, tetapkan hamba dalam
petunjuk-Mu, kabulkan segala rencana baikku, dan jangan Kau kasih
waktu atasku untuk mengeksekusi setiap rencana burukku.
Aku
sadar, aku hanyalah manusia biasa, yang kadang berkepribadian
malaikat, dan kadang pula berkepribadian syetan laknat.
Hanya
Engkaulah yang dapat menyelamatkanku, dan atas kehendak-Mu lah, semua
kejadian terjadi.
Untuk
sahabat,
Di
kala kata dan tindakan sering khilaf, bukalah pintu maafmu atasku.
Karena
aku dalam hari-hari yang telah berlalu, sering keliru, bahkan rajin
menuai salah atasmu. Jadi mohon maafkan aku.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...