"DI TIMUR MATAHARI" (Sebuah Film Inspiratif dari Tanah Papua)

Sebuah film, dengan aktor kawakan bernama Lukman Sardi sebagai pendeta, Laura Besuki sebagai Bu Dokter, Ririn Ekawati sebagai istri dari orang Indonesia Timur yang dinikahi di Jakarta, Ringgo Agus Rahman sebagai Bos penyedia lapangan pekerjaan, Michael Jakarimilena sebagai tokoh utama bernama Mazmur.

Film ini, sepintas, dilihat dari judulnya, adalah potret “kelam” saudara sebangsa yang berada di Indonesia bagian timur (Papua), yang masih didera kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Tidak sedikit dari mereka yang justru memanfaatkan kemiskinan dan kebodohan tersebut justru untuk terus memperpuruk kondisi Papua. Papua yang sejak sepuluh tahun yang lalu (2004) mendapatkan Otonomi Khusus (Otsus) dari kebijakan pemerintah pusat, sebagai buah dari kehendak masyarakat Indonesia secara kolektif untuk pemeretaan ekonomi yang dulu dimonopoli dan terpusat di jawa, ternyata sampai kini masih belum mampu mensejajarkan Pupua dengan daerah Indonesia lainnya. Pembangunan di Papua berjalan lambat, bahkan dapat dikatakan macet. Dana Otsus yang mengucur dari “dompet” APBN dengan jumlah yang tidak kecil hilang sia-sia karena lemahnya pengawasan dan praktik laten bernama korupsi. Pemerintah daerah (Papua) dan Pusat (Jakarta) malah “berselingkuh” untuk tidak sepenuhnya membangun Papua yang jelas sejak masa orde baru dianaktirikan.


Di film ini, Lukman Sardi yang bertindak sebagai pastor, tak henti-hentinya menyerukan kebaikan, perdamaian, kasih sayang (welas-asih) sesama manusia. Karena di Papua, sampai kini masih sering terjadi kekerasan. Baik kekerasan dalam rumah tangga dengan dominasi laki-laki maupun kekerasan yang berbau perang antar suku yang pemicunya kadang hanya persoalan “kecil” semata. Kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi atas perempuan karena laki-laki selalu diposisikan sebagai superior. Ada sebuah dialog yang penting saya kutip. Dialog ini disampaikan seorang Ibu atas anaknya pada malam hari menjelang san anak itu tidur. Di mana, pada hari itu juga, anak tersebut menyaksikan adegan kekerasan sebuah rumah tangga yang dilakukan suami atas istrinya. “Nak, Tuhan menciptakan tangan bukan untuk berbuat jahat, tapi untuk menolong orang lain,” lirih sang ibu, kemudian dilanjutkan, “perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki, jika ada laki-laki yang suka menyakiti perempuan, maka sesungguhnya ia telah menyakiti dirinya sendiri.” Pendidikan atas anak menjadi penting karena ia adalah generasi yang akan melanjutkan kehidupan selanjutnya. Peran orangtua dengan pendidikan berbasis ketauladanan adalah hal yang wajib untuk menekan kebiasaan distruk yang kerap ada dan terjadi di masyarakat.

Perang antar suku di Papua, kerap terjadi karena balas dendam dijadikan sabagai salah satu standart harga diri. Ketika salah satu suku misalkan bertindak salah atas suku yang lain, maka suku yang ditimpai kesalahan tersebut memberlakukan denda adat yang nilainya cukup tinggi. Dalam film ini, diceritakan, suatu ketika, ada seorang yang bermaksud membeli sepasang merpati kepada salah satu warga. Di mana, seorang pembeli tersebut datang bersama seorang warga lain yang tak lain (mungkin) makelar dari proses jual beli tersebut. Ketika transaksi selesai, barang diambil dan uang diterima, maka penjual ini langsung mengajak anaknya (Mazmur dan temannya) untuk berkunjung ke toko penjual kaos bola. Sampai di toko, sang ayah mempersilakan anaknya untuk memilih kaos sesuai selera. Setelah dipilih, sang ayah kemudian membayarnya. Beberapa detik kemudian, penjaga toko bilang, uangnya palsu. Dari sekian uang yang dikeluarkan untuk dibayarkan, ternyata semuanya palsu. Bapak itu marah, kemudian menemui makelar merpati tersebut dan memukulinya sampai babak belur. Keesokan harinya, sewaktu bapak sama anaknya ini berjalan melintasi sebuah jembatan gantung yang melintasi sungai, ternyata telah ditunggu oleh dua orang yang salah satunya kemaren ia pukul. Bapak tersebut bilang sama anaknya, “jangan takut!”, kemudian bapak tersebut melangkah mencoba menghadapi dua orang yang telah bersenjata panah tersebut. Ketika sang anak memanggil, “Bapak”, kemudian bapak tersebut menoleh, maka waktu itu juga bapak tersebut dipanah. Sang anak panik, menangis sambil memanggil nama “bapak”. Tahu bapaknya tewas, sang pemanah tadi berusaha untuk juga membunuh anak tersebut. Kemudian dengan lincah, sang anak dapat melarikan diri dengan melompat ke sungai.
Atas kejadian itu, keluarga dan suku dari bapak yang telah meninggal dunia ini berduka dan berencana untuk menuntut balas. Sesuai dengan hukum adat yang ada, maka keluarga dan suku dari adat yang telah membunuh tersebut harus membayar sanksi. Kalau tidak mampu membayar, maka perang harus terjadi. Sanksinya sungguh berat, tergantung keluarga dan suku korban tersebut. Dalam kejadian ini, keluarga dan suku korban menuntut agar keluarga dan suku dari yang membunuh tersebut harus membayar ratusan ekor babi dan uang tunai sebesar tiga milyar rupiah. Yang lucu, setelah ditanya, barapa banyak jumlah angka nol dari uang tiga milyar tersebut, keluarga dan suku korban geleng-geleng kepala tidak tahu. Yang ada dalam fikirnya barangkali hanya uang banyak. Tak lebih. Beginilah gambaran hukum adat yang berlaku di Papua. Film ini sepintas juga menjelaskan, selain soal sifat primitif orang Papua, juga tentang “kebodohan”-nya yang kerap dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk membodohinya.
Karena keluarga dan suku dari yang membunuh tersebut tidak sanggup membayar, maka keluarga dan suku dari korban ini berinisiatif untuk menuntut balas. “mata dibalas mata, telinga dibalas telinga, dan nyawa dibalas nyawa” gertak seorang anggota keluarga dengan nada geram. Beruntung, dari keluarga korban ini ada yang menempuh pendidikan ke luar Papua, sehingga dapat membujuk keluarga untuk tidak menuntut balas. Karena “saling membunuh ini tidak akan berhenti jika budaya balas dendam tetap terus dilanjutkan”, ujarnya tegas dan mantap. Tidak hanya itu, peran pastor dalam menyampaikan pesan perdamaian berbau agama juga turut andil untuk tidak melestarikan kebudayaan yang tidak patut dipertahankan tersebut. Karena sebagian keluarga tetap memiliki dendam kesumat, pada akhirnya perang tanpa sepengatahuan keluarga dan suku yang sependapat untuk tidak melakukan balas dendam pun terjadi. Akhirnya korban terbunuh tak bisa dipungkiri. Peran dokter yang hadir dari luar bumi Papua, yang misinya untuk mengobati orang yang sakit, mengadvokasi supaya masyarakat memiliki gaya hidup sehat, juga tertuntut untuk mengobati mereka-mereka yang terluka akibat perang. Dalam sebuah dialog yang sengit, di saat keluarga dan suku akan menuntut balas atas jatuhnya korban baru yang berperang demi harga diri, maka sang dokter pun berujar, “silakan kalian berperang, tapi jangan minta saya untuk mengobati mereka yang terluka”. Kata-kata ini muncul karena sang dokter juga salah seorang yang tidak sependapat atas peperangan yang kerap terjadi akibat dendam kusumat. Dokter, pastur, dan seorang dari keluarga korban yang telah mengenyam pendidikan lebih di luar Papua, tetap terus menyerukan perdamaian. Tidak melakukan perang atas dasar apa pun. Apalagi cuma atas dasar dendam kesumat yang berkepanjangan.

Karena perang tetap terus terjadi, tokoh utama yang bernama Mazmur, berinisiatif untuk lari ke medan perang. Ia tidak dalam rangka untuk “membakar” peperangan agar semakin besar. Ia datang menyerukan perdamaian dengan nyanyian yang mengandung pesan moral dan keagamaan. Nyanyian perdamaian itu ia dapat dari pastor yang mengajarinya tiap hari minggu di rumah Tuhan, karena minggu bagi umat Kristen memang hari untuk Tuhan. Nyanyian itu diperkuat kemudian oleh teman-teman Mazmur, pastor, dokter, dan orang lain yang menghendaki perdamaian. Berkat seruan yang dinyanyikan itu, mereka yang awalnya emosi dan saling menjatuhkan dengan panah, kemudian bergandengan tangan, ikut bernyanyi, duduk, berikrar untuk berdamai. Dari hal ini dapat ditangkap, jika seruan tentang kebaikan itu, akan lebih menyentuh bila disampaikan dengan pola berkesenian. Nyanyi itu indah, indah itu seni. Seni itu hanya bisa dihasilkan oleh jiwa-jiwa yang damai.

Film ini juga memotret dinamika pendidikan di Papua yang jauh tertinggal ketimbang jawa. Gedung pendidikan seperti SD beratap seng, berlantai kayu, dan bergedung triplek. Tidak sebagaimana Jawa yang dibangun dengan beton dan bertingkat-tingkat. Tidak hanya itu, guru yang ditugaskan untuk mengajar kerap tidak datang karena memilih tidak bertempat tinggal di dekat sekolah tersebut. Mereka lebih memilih tinggal di kota. Karena hal itu, kadang sekolah harus libur sampai enam bulan. Pendidikan anak sungguh terbengkalai. Karena guru tidak bisa berperan maksimal di Papua, maka tak sedikit anak-anak yang umurnya masih masuk wajib belajar sudah berlomba-lomba untuk turut mencari pekerjaan. Mencari pekerjaan karena tuntutan sederhana, kelaparan dan kemiskinan. Pemuda yang sudah masuk akil baligh, pubertas, dirusak oleh segelintir orang, baik orang Papua sendiri maupun pendatang dengan mengenalkannya pada gadget yang tidak fungsional tapi berisi video dan photo berbau hasrat.

Film ini menyajikan secara gamblang akan ketertinggalan Papua. Baik tertinggal dari sisi pembangunan, pendidikan maupun yang lain. Film ini, karena berjudul “Di Timur Matahari”, barangkali maksudnya adalah, sebuah film, yang menuntut bangkitnya Indonesia bagian timur. karena matahari bagi saya, merupakan simbol kebangkitan.

Menjadi soal yang perlu dijawab, khususnya oleh pemerintah, lebih-lebih presiden yang terpilih nanti, agar benar-benar serius untuk mewujudkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai sila ke-5 dari Pancasila, dari aceh sampai Papua. Pemerataan pembangunan, ekonomi, pendidikan adalah hal yang harus dicapai karena itu adalah hak semua bangsa. Karena bagaimana pun, tanah Papua yang kaya, yang di dalamnya mengandung emas, tembaga, perak, timah dan kini dikuasai oleh asing di bawah bendera Freport, jangan hanya cetar membahana ke segala penjuru dunia, sedangkan orang-orang Papua tak setetes pun menikmati kekayaan tersebut.

Film ini juga membawa misi, agar budaya yang tidak patut dilestarikan, seperti pemotongan jari perempuan oleh dirinya sendiri ketika salah seorang keluarganya telah meninggal dunia sudah waktunya dikubur dalam-dalam. Karena budaya ini, sungguh sangat tidak etis dan tidak patut dilestarikan.

Film ini dibuat pada tahun 2012. Silakan simak, karena film ini tidak hanya berfungsi sebagai tontonan, tapi juga terselip pesan penuh tuntunan. Selamat menikmati. Bagi yang di Surabaya, saya bersedia membagikannya.

Komentar