Lokalisasi
Dolly dalam belakangan terakhir menjadi perbincangan sekala nasional
bahkan internasional. Hal tersebut karena sejak tahun 2010,
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, telah melakukan upaya cerdas untuk
menutup lokalisasi yang sudah berumur 40 tahun ini. Tepat pada Rabu,
18 Juni 2014, Wali Kota Surabaya, Tri Risma Harini, Gubernur Jawa
Timur, Soekarwo, dan Menteri Sosial, Salim Segaf Al’Jufrie,
melakukan penutupan secara simbolis di gedung Islamic Center
Surabaya. Pemkot Surabaya pada tahun ini, telah mengalokasikan dana
sebesar Rp 16 miliyar untuk mengalihfungsikan pusat prostitusi
tersebut menjadi sentra industri rumahan, sentra pedagang kaki lima,
perpustakaan, dan ruang computer. Pemerintah provinsi (Pemprov)
memberikan bantuan Rp 1,5 miliyar untuk sekitar 113 mucikari. Dan
Kementerian Sosial memberikan bantuan modal senilai Rp. 7,3 miliyar
bagi sekitar 1.400 Pekerja Seks Komersial (PSK).
Melihat
Dolly melalui kecamata pemerintah, khususnya Pemkot Surabaya, yang
memandangnya berdasarkan kajian, penelitian, dan pertimbangan yang
matang, maka prostitusi yang dikenal sampai manca negara tersebut
patut ditutup karena dianggap sebuah “penyakit” yang berada di
tengah masyarakat. Antara nilai baik dan buruknya lebih banyak nilai
buruknya. Sepintas, penutupan Dolly memang terkesan merebut hak hidup
seseorang, terlebih atas mereka yang mengantungkan hidup dalam
dinamika bisnis “esek-esek” tersebut. Tapi di sisi lain, juga
membuka peluang atas berlanjutnya “kaderisasi” penjaja sahwat
tersebut. “Mekelar-makelar” Dolly, dalam tiap detiknya selalu
memiliki upaya meng-upgrade para wanitanya untuk
diperdagangkan. Para PSK yang sudah expired
berpotensi menjadi makelar, merekrut PSK-PSK baru dengan
memanfaatkan kemiskinan dan kebodohan yang di negeri ini semakin
melebar. Berdasarkan banyak penelitian dan kajian, mereka yang “rela”
menjadi PSK, mayoritas karena alasan ekonomi dan tuntutan gaya hidup
mewah. Bukan semata karena lahir dari hatinya yang paling dalam. Atas
hal itu, tidak sedikit dari anak-anak PSK yang disekolahkan di
lembaga-lembaga berbau agama, dengan harapan besarnya, anak-anak
tersebut kelak memiliki profesi yang tak semalang profesi ibunya. PSK
di Indonesia, adalah profesi aib yang hampir semua orang menolaknya.
Tapi apa boleh dikata, bila jalan satunya-satunya untuk
mempertahankan hidup harus melacurkan diri menjadi seorang PSK.
Memang penutupan ini sesaat meresahkan atas segelintir orang, tapi
keputusan cerdas pemerintah menutup lokalisasi ini telah turut
menekan supaya berkurang atas maraknya bisnis perdagangan manusia
(human trafficking). Tidak hanya itu, generasi muda yang
tumbuh dan berkembang di kawasan Dolly, sudah akan terbebas dari
pengaruh distruk bernama prostitusi, yang sejak matahari tenggelam,
perempuan bersolek berbusana minim plus dentuman musik yang
menguncang, menjadi pemandangan lumrah sampai kokok ayam pagi
berkumandang.
Dari
kecamata agama, tak satu pun ada agama yang membenarkan atas hadirnya
prostitusi. Semua agama menentang dan meminta tiap penganutnya untuk
tidak menjadi bagian dari prostitusi. Prostitusi adalah tempat orang
hina dan orang-orang yang ada di dalamnya sungguh hina. Karena
manusia bila sudah menjadi bagian dari prostitusi, telah menyalai
fitrahnya sebagai manusia. Yang dari segala-galanya merupakan mahluk
paling sempurna dari sekian mahluk lain yang dicipta-Nya. Ia
mensejajarkan dirinya dengan hewan. Ia tidak menfungsikan dirinya
sebagai khalifah fil ard. Ia menghinadinakan dirinya di depan
manusia maupun Tuhan. Dalam ajaran Islam, jangankan melacurkan diri,
mendakati pelacuran saja sudah dilarang. Allah melalui
al-Quran berfirman “la taqrobuzzina”, jangan dekati zina,
apalagi mendakati pelacuran yang “melembagakan” zina itu
sendiri. Firman Allah ini, bagi yang faham, merupakan pelarangan yang
sangat halus. Karena penulis yakin, bila manusia didekati secara
kasar, apalagi frontal, kecenderungan manusia untuk melakukan
pertumpahan darah sebagaimana disinggung dalam al-Quran bakal
terjadi.
Dari
kecamata Hak Asasi Manusia (HAM), jelas penutupan Dolly melanggar
HAM, Karena telah melanggar hak orang lain untuk mencari penghidupan.
HAM tidak berdasarkan agama, tapi HAM berdasarkan kemanusiaan.
Dimana, semua manusia memiliki hak untuk hidup dan mencari kehidupan.
Memandang Dolly dari sudut pandang kemanusiaan, mestinya, orang yang
merasa tidak nyaman, apalagi terganggu dengan Dolly dan dinamikanya,
setidaknya, tidak mendekati Dolly apalagi bertempat tinggal di
kawasan tersebut. Karena apabila tetap “memaksa” mendekati dan
bertempat tinggal di dalamnya, secara tidak langsung telah
mempersilakan dirinya untuk terpapar penguruh negatif yang ada di
situ. Dalam hukum kemanusiaan, manusia bebas menentukan pilihan hidup
dengan segala resiko dan konsekuensinya. Mereka yang datang ke Dolly
dan yang memutuskan untuk menjadi bagian dari dinamika yang
berkembang di dalamnya, secara tidak langsung telah memantapkan
dirinya untuk menerima segala resiko dan konsekuensi yang bakal
didapatinya. Andai pemerintah mengambil jalan aman, membebaskan Dolly
dari kompleks perkampungan, memurnikan Dolly menjadi prostitusi yang
dilokalisir, meng-organize Dolly secara professional,
menyediakan tim ahli, baik pskiater maupun dokter guna menyembuhkan
penyakit psikologis dan menekan penyakit kelamin yang mematikan,
barangkali cost-nya tidak akan sebesar penutupan secara
formal. Malah, akan berkontribusi positif untuk pajak Negara yang
peruntukannya guna pemberdayaan maupun pembangunan.
Nah,
sekarang penulis ingin memandang dari kecamata penulis sendiri.
Adanya Dolly, adalah salah satu dari kun fayakun-Nya Tuhan.
Apa ada dalam kehidupan ini yang di luar kehendak-Nya? Penulis pikir,
semua berada dalam kehendak-Nya. Dolly adalah satu dari sekian warna
hidup agar hidup lebih hidup. Godaan dan tantangan manusia sejak
Dolly di buka, kira-kira 40 tahun yang lalu, menjadi bertambah dan
terus mengalami penambahan sampai dunia ini kiamat. Kiamat adalah
kata lain dari sebuah kehancuran karena manusia sudah tak sanggup
lagi mengurusi dunia dan perangainya bermadzhab syetan. Bagi yang
beragama Islam, bukannya telah disebutkan dalam al-Quran kalau umur
syetan-syetan itu ditangguhkan oleh Tuhan sampai hari pembalasan?, di
sisi lain syetan sejak diciptakan-Nya terus beranak-pinak dan
tugasnya hanya menyesatkan. Bukannya ini juga bagian dari skenario
Tuhan? Barangkali, jika Tuhan tidak men-skenario-kan ini, kiamat
tidak bakal datang karena kebaikan tetap terus hadir sebagai
pemenang.
Kita
semua yang hidup pada zaman sekarang, juga bagian dari kehendak-Nya.
Kita adalah mahluk pilihan yang ditakdirkan hidup di tengah gerakan
penyesatan yang semakin rapi, massif, dan terorganisir. Penulis tidak
mau mengatakan fenomena Dolly adalah bagian dari suatu penyesatan,
tapi hadirnya Dolly merupakan bagian dari tantangan hidup. Di tengah
zaman yang mudah mengakses segala bentuk kemungkaran, apa diri ini
masih bisa “berpuasa” untuk tidak mungkar?. Bila kita turut
hanyut dalam suatu kemungkaran, berarti puasa dan sholat yang kita
jalankan perlu dievaluasi ulang. Karena hakikat dari ibadah itu
semata untuk menyelamatkan diri dari segala kemungkaran. Tidak hanya
tidak akan pergi Dolly jika ritus keagamaan kita benar-benar
dihayati, mengunjing tetangga sebelah pun tidak akan terjadi.
Fenomena Dolly dan praktik di dalamnya, hanya bagian terkecil dari
cobaan besar yang tengah kita hadapi. Mari, jadilah umat beragama
yang baik. Karena muara semua ajaran agama-agama, semata untuk
menyalamatkan manusia supaya baik. Dan bila manusia berpegang teguh
pada ajaran agama, maka ia akan selamat. Baik di dunia, maupun (yang
meyakini) di akhirat.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...