Dalam
minggu terakhir di sosial media ramai membincang tentang tema
Orientasi Study Cinta Akademik&Almamater (OSCAAR) Fakultas
Ushuludin, UIN Sunan Ampel. Yang mendiskusikan lebih sedikit
ketimbang yang mengecam. Dari situ kita dapat mengukur, bahwa di umur
kemerdekaan yang sudah ke-69 tahun ini masyarakat kita, dari sisi
pendidikan, memang masih perlu untuk ditingkatkan. Masyarakat kita
masih belum stabil di tengah kondisi yang memungkinkan untuk tidak
stabil. Pengetahuan dan pengalaman yang terbatas, membuatnya
ber-mainstream keras, tersulut emosinya untuk bertindak dan
berkomentar sarkas. Ibarat bangunan pasir, tertiup angin tingkat
terendah saja sudah kalang kabut mau runtuh. Padahal agama sebagai
panutan, tidak sekedar ajaran yang dirutinitaskan. Agama adalah
seperangkat ajaran untuk menyelamatkan manusia dari tindak-tanduk
yang tidak menentramkan. Bukanya agama hadir dalam rangka menghendaki
kebaikan? Tatanan yang rukun, harmonis, toleran di tengah perbedaan
adalah inti semua ajaran agama. Karena perbedaan adalah sebuah
keniscayaan. Jangan pernah berharap semua orang sama, dalam satu
keluarga yang terlahir kembar pun, tetap tidak sama. Sidik jari dari
masing-masing manusia tidak sama. Apalagi dalam soal memahami agama.
Tuhan membusuk, barangkali menjadi kata lain dari bentuk penghormatan
teman-teman mahasiswa Ushuludin atas Tuhan. Atau, ada maksud lain
yang pengetahuan dan pemahaman kita tak mampu menjangkau kedalaman
berfikir mereka. Bagi saya, selama tindakan mereka tidak merusak,
terserah mau berfikir ‘liar’ seperti apa, yang penting jangan
berhenti belajar. Berkata Tuhan jancuk pun tak masalah, karena kita
juga memili versi tersendiri dalam menghayati dan menghormati Tuhan.
Keberagaman juga bagian dari kehendak Tuhan. Ini juga bagian dari
bentuk bahwa Tuhan itu maha segalanya.
Apakah
kita juga akan marah dan naik pitam ketika kitab al-Quran
ditelantarkan, disentuh tatkala kondisi diri tidak bersih dan suci
dari hadats kecil atau besar, atau ekstrimnya, kitab al-Quran yang
mestinya dibaca dan difahami, dibakar dan diinjak-injak? Tapi diam
seribu bahasa tatkala akal pikir kita dijejeli oleh suguhan dan
tontonan telivisi yang tak patut dijadikan tuntunan sebagaimana
ajaran agama. Diam seribu bahasa dan malah turut ambil bagian tatkala
model pakaian yang katanya modern semakin sedikit yang menutupi tubuh
manusia. Diam seribu bahasa tatkala konstruksi berfikir kita suka
berbelanja berdasarkan keinginan, bukan kebutuhan. Suka
menghamburkan-hamburkan harta, tidak peduli atas yang lemah, kejam
atas mahluk Tuhan yang lain, membabat pohon seenaknya, bahkan atas
hal yang kelihatan kecil dan berakibat besar seperti membuang sampah
tidak pada tempatnya masih menjadi kegandrungan mayoritas di antara
kita. Apakah tindakan demikian tidak lebih jahat dari sekedar tema
Tuhan membusuk dan menyentuh al-Quran tanpa wudu’?
Ayolah,
Islam itu ajaran untuk menyelamatkan manusia dan alam dari kekacauan.
Manusia ditugaskan di bumi sebagai khalifah karena Tuhan menyertainya
akal untuk berfikir. Kalau soal kekacauan, tanpa akal pikir pun jadi.
Kekacauan dapat dilahirkan tanpa melalui proses berpikir yang
panjang. Hewan pun bisa, tapi hewan tidak bisa menengahi dan
menyelesaikan kekacauan. Bila ada manusia yang turut ambil bagian
dari kekacauan dan turut mengacaukan suasana, manusia tersebut pada
hakikatnya menyetarakan dirinya dengan hewan. Siapa pun itu.
Nah,
kita kini lebih suka berkonflik sesama manusia. Atas nama apa saja.
Yang banyak, atas nama agama. Atas nama agama, umat beragama
membunuh, menghujat, memperolok satu dan yang lain karena hanya beda
faham. Malah dalam satu keyakinan agama pun, tidak sedikit yang
saling melempar ‘serangan’ fisik dan psikis untuk saling
menjatuhkan, bukan saling menopang. Mari sadari kalau agama
menghendaki kita untuk ber-fastabiqul khoirot dengan cara terhormat,
manusia satu dan yang lain dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam hal
kebaikan, bukan dalam hal cacian. Hujatan, cacian, apalagi membunuh,
ditentang keras oleh agama karena hal itu semakin merunyamkan
suasana. Peradaban Islam mengalami kemunduran karena di antara kita
yang muslim yang dipupuk adalah kecurigaan, perpecahan, hasud,
dengki. Bukan cinta kasih, persaudaraan, dan kasih sayang. Bukan
kreatifitas yang saling menopang, tapi taktik bejad untuk saling
menghancurkan. Ini penyakit yang mengrogoti kita tanpa kita sadar
kalau ini penyakit.
Islam
adalah agama yang rahmatal lil’alamin, jangan sekali-kali
mengatasnamakan agama atas kata dan tindakan buruk yang kita lakukan.
Apalagi atas nama Tuhan. Karena itu justru membuat Islam semakin
tidak menarik. Kita kini tengah dihadapkan pada pertarungan ide.
Siapa yang memiliki ide menarik, maka ide itulah yang akan memenangi
percaturan. Sadarkah kita, bahwa kita kini sebenarnya digerakkan oleh
sebuah ide yang kita sendiri tidak menyadarinya? Bila tidak sadar,
itulah hebatnya ide yang membelengu kita. Kita bergerak, tanpa kita
sadari kalau sedang digerakkan.
Kerja
keras, tekun dalam belajar dan berkreasi, adalah cara terbaik selain
berdoa, agar tidak turut menjadi bagian dari gerakan ide yang
mengerakkan manusia seperti binatang gembala. Ide itu mengiring kita
supaya menuhankan materialistik. Memang, kedengarannya cantik, tapi
secara substansial lebih ekstrim dari sekadar berucap “Tuhan
Membusuk” yang kini banyak bibir nyenyir membicarakannya.
Mari,
beragamalah dengan akal sehat. Bila tidak sepakat dengan tema “Tuhan
membusuk”, ingatkan sang pembuat tema itu dengan kata-kata
terhormat. Bila bisa, kata-kata itu mampu memikatnya untuk
‘bertobat’. Bila anda berhasil, maka itulah sebenarnya dakwah
Islam sebagaimana ajaran alkitab. Itulah dakwah Islam yang saya
harap, penuh kesantunan dan didakwahkan dengan cara bermartabat,
bukan sumpah serapah dan cacian yang menghujat. Bagaimana menurut
anda?
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...