Pada
Kamis, 13 November 2014, saya berkesempatan mengikuti Dialog terbuka bertema
“Mencari titik temu Yahudi-Islam. Dialog ini diperlengkap oleh hadirnya buku
ilmiah berjudul “Anak-Anak Ibrahim; Dialog terbuka mengenai isu-isu yang
memisahkan dan menyatukan Muslim-Yahudi”, ditulis oleh pembicaranya langsung;
Rabi Marc Schneier—pendiri dan presiden Yayasan Pemahaman Etis dan rabi Pembina
Sinagoge Hampton di pantai Westhampton, New York, Amerika Serikat, dan Imam
Shamsi Ali—pemimpin spiritual Pusat Muslim Jamaika, pusat Islam terbesar di
kota New York. Ia bekerja di Pusat Tanenbaum, Federasi untuk Perdamaian Timur
Tengah, Federasi Muslim Asean Amerika Utara, dan Yayasan Muslim Amerika. Ia
orang Indonesia yang mendakwahkan Islam di Amerika. Acara ini diselenggarakan
oleh Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Acara
ini menyuguhkan hal baru bagi saya tentang Yahudi yang selama ini diketahui
melalui buku, tafsir, dan mimbar-mimbar akademis dan keagamaan yang
mendiskusikan Yahudi. Selama ini, sejauh pengembaraan ilmu yang saya jajaki,
Yahudi sering dikatakan sebagai musuh bersama umat Islam, adalah sekumpulan
orang-orang yang kejam dan selalu menentang kebenaran, tidak boleh diajak
bekerjasama karena pasti khianat, dan sederet pelebelan buruk lain yang
mendukung agar saya selaku umat muslim turut membenci orang Yahudi. Menjadi
tambah mantap tatkala tafsir al-Quran diplintir agar terus memupuk kebencian di
antara umat Muslim dan Yahudi.
Saya
baru sadar, bahwa konstruksi negatif itu tidak benar. Apa pun alasanya. Karena
bagaimana pun, kita sebagai umat manusia, harusnya yang dipupuk bukan
kebencian, tapi cinta dan kasih sayang. Nilai-nilai kemanusiaan itu harus
didahulukan. Dari dua pembicara ini saya belajar bahwa harmoni itu lebih indah
dari bertikai. Konstruksi pertikaian di antara Islam-Yahudi yang telah terjadi
ratusan bahkan ribuan tahun ini saatnya dihentikan. Karena sampai kapan pun,
bila yang dipupuk adalah pertikaian, maka bau anyir darah pembunuhan akibat
dendam kesumat akan terus mengalir tak berpenghujung.
Pertikaian
terjadi, karena yang dipupuk adalah kebencian. Menjadi panjang dan lama umur
pertikaian ini tatkala diorganisir menjadi gerakan kolektif dan turun temurun.
Di antara ke duanya—islam-Yahudi terus dipupuk dan dikompori agar berpegang
teguh pada nilai-nilai kebencian yang kemudian mengakibatkan perang. Perang
terus didukung agar dipertahankan oleh segelintir orang yang terlibat dalam
bisnis perdagangan senjata yang menjadikan manusia sebagai komoditinya. Bencana
kemanusiaan yang diakibatkan perang justru di sisi lain dijadikan bisnis
komoditi yang menguntungkan. Oleh siapa? Ini yang terus spekulasi dan
orang-orangnya lebih bergerak dalam bayangan.
Dua
pembicara ini, di awal perjumpaanya juga bersitegang karena termakan konstruk
umum pertikaian; Yahudi musuh abadi umat Islam dan Islam musuh abadi umat
Yahudi. Dengan dialog, ke dua tokoh yang sama-sama memiliki jamaah ini akhirnya
“bersalaman” untuk kemudian berdakwah agar di antara umat yang sama-sama
keturunan Nabi Ibrahim ini membangun harmoni ketimbang bertikai. Telah lama
pertikaian ini berlangsung dan jutaan milyar nyawa manusia melayang karena
perang yang tak berkesudahan. Tanggung jawab kita bersama, baik Muslim maupun
Yahudi untuk mewujudkan perdamaian itu. Para ekstrimis yang lahir dari rahim
orang Mulim maupun Yahudi saatnya disadarkan kalau perang itu adalah cara-cara
hewan yang waktunya sudah ditanggalkan.
Fanatisme
golongan yang tertancap kuat dalam benak Muslim maupun Yahudi saatnya dilebur
menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Toh kita pun lahir dari rahim
ideologi yang sama; yaitu bapak peletak dasar agama-agama samawi di bumi.
Nabiyullah Ibrahim Alaihissalam.
Baiknya,
untuk menggali lebih jauh kalau Muslim dan Yahudi ini bersaudara, maka bacalah
bukunya, kemudian temukan mutiara kebaikan barbalut cinta di antara ke duanya.
Buku ini—insya Allah—sudah dapat ditemui di toko buku terdekat.
Setelah
acara, di sebuah rumah makan khas Aceh, saya ditakdir oleh Tuhan untuk
berbincang dengan alumni Fakultas Filsafat dan Desain Grafis Universitas Gadjah
Mada. Alumni tanpa ijazah ini sama-sama memiliki pengalaman manis pahitnya
hidup di Amerika. Alumnus Fakultas Filsafat lima tahun sedangkan Desain Grafis
tiga tahun. Dua orang ini bercerita bahwa Amerika itu adalah Negara yang makmur
merdeka. Kerja kalas rendahan tiga hari saja sudah dapat membeli mobil dan
tidur di hotel dengan fasilitas baik. Buku-buku melimpah dan tersedia dari
perpus-perpus tingkat RT-RW sampai kota. Kebebasan berekspresi dan berpendapat
sungguh terasa. Setajam apa pun perbedaannya, tapi tidak sampai saling pukul
dibiarkan begitu saja. Tapi kalau sudah saling pukul, itu baru ditindak sesuai
hukum yang berlaku. Dua orang ini di Amerika Serikat belajar di universitas
kehidupan. Maksudnya, dia melebur di tengah masyarakat dan bekerja mulai jadi
tukang sapu sampai kelas restoran. Ia membaur, berintraksi dengan jenis orang
dari berbagai macam Negara yang memilih hidup di negeri yang berjuluk Paman
Syam tersebut. Selama pengembaraan itu, pengalaman dan pengetahuan yang didapat
turut menginspirasi saya untuk “nekat” melanglang buana, melangkahkan kaki ke
bumi yang belum saya pijak untuk sebuah ilmu dan pengalaman hidup. Apalagi yang
turut membikin bulu kuduk ini merinding, tatkala dua orang ini pulang dengan
membawa tumpukan buku bacaan yang tak ditemui di Indonesia. Cerita pengalaman,
pengetahuan, dan tentang buku-buku inilah yang turut menjadikan diri ini
memelihara semangat.
Setelah
dari rumah makan itu, saya melalui beberapa jalan protokol Yogyakarta untuk
kemudian beristirahat di Rumah Belajar RausyanFikr. Malamnya saya berdiskusi
dengan pemuda yang sedang belajar di sini tentang filsafat. Dalam diskusi itu,
saya dapat pengetahuan bahwa sebenarnya tidak ada filsafat Islam ataupun barat,
yang ada adalah filsafat yang dilahirkan oleh orang Barat maupun Islam.
Filsafat itu bukan berdasarkan daerah, Negara, atau agama. Tapi berdasarkan
orang yang melahirkan pemikiran filsafat. Malam memang masih belum larut, tapi
mata sudah tidak kuat menahan kantuk. Akhirnya diskusi berakhir tanpa ada yang
mengakhiri. Diskusi yang tak tuntas itu, membuat saya penasaran untuk kemudian
di waktu yang berbeda akan kembali ke rumah belajar tersebut untuk mempelajari
dan mendalami filsafat.
Pagi
tanpa secercah sinar mentari, setelah dari warung kopi, saya pun bergegas ke
sekolah alternatif Qaryah Thayyibah di Slatiga Jawa Tengah. Qaryah Thayyibah
(QT) adalah pendidikan alternatif yang diasuh oleh akfitis keluaran IAIN
Walisonggo Semarang. Ia adalah Bahrudin. Biasa dipanggil Mas Bahruddin. QT
sudah berdiri sejak 1996. Awalnya adalah paguyuban petani di Slatiga. Baru pada
tahun 2003 sekolah alternatif QT terbangun. Sekolah alternatif ini, awalnya
didedikasikan untuk anak-anak “buangan” dari sekolah formal. Siapa pun yang mau
belajar, ditampung. Sekolah ini berbasis alam dan tak seperti sekolah-sekolah
formal. Tak ada seragam, tak harus bersepatu, rambut dan baju rapi. Kurikulum
dibuat berdasarkan kesepakatan. Bedanya dari yang lain, sekolah ini lebih
mengarah kepada pengasahan life skill murid. Dari sekian hoby
murid, di-support dan didampingi dalam proses pengasahan tersebut. Yang
suka musik, didorong agar menjadi pemusik. Yang suka nulis, didorong agar
menjadi penulis, dan hal lain yang menjadi kesukaan dari masing-masing murid,
selama itu positif, terus didukung dan di-support. Karena pendidikan ini
berbasis skil, maka skil dari masing-masing murid terus terasah. Dari mereka
yang mempimpikan sebagai penulis, sudah ada yang melahirkan karya sampai 50
buah buku fiksi.
Selain
itu, model kelas yang ada, tidak terikat dengan ruang tertentu. Bisa di bawah
pohon, di branda mushalla, atau di tempat-tempat lain yang disepakati. Dalam
setiap minggunya, setiap siswa harus setor ide. Di mana ide-ide tersebut untuk
diketahui oleh yang lain kemudian saling diawasi untuk diwujudkan. Ide itu
bebas sesuai dengan kehendak masing-masing siswa yang ada. Dari ide-ide itu,
lahirlah target, baik kolektif maupun perorangan. Dari ide yang kemudian
menjadi target kolektif itu, diwujudkan secara bersama-sama setelah sebelumnya
dibagi atas masing-masing siswa yang ada. Sedangkan target perorangan, harus
dicapai oleh masing-masing siswa yang ada, sesuai dengan ketetapan target
masing-masing. Hal ini saling diawasi di antara mereka.
QT
tidak mengeluarkan ijazah formal, karena ini sekolah alternatif dan memang
tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Bagi siswa yang berharap
memiliki ijazah formal, disediakan jalan untuk mengikuti program paket.
Atas
sekian prestasi yang dicapai oleh QT, acara televisi yang menginspirasi, Kick
Andy, sempat menayangkannya. Sejak itu, banyak anak dari luar Slatiga yang
disekolahkan di QT, termasuk juga dari luar jawa. Waktu saya di situ, ada turis
dari Korea yang sedang tour ke QT.
Siswa
di QT diajak-dilatih untuk bagaimana menyelesaikan masalah. Baik masalah
kemanusian, lingkungan, dan alam. Terkadang juga, menjadikan alam sebagai objek
kajian. Dalam proses pencarian solusi atas masalah yang dihadapi, ilmu
pengetahuan lah yang dijadikan alat untuk menyelesaikannya. Dalam proses
pencarian itu, mereka tidak dibimbing, tapi disemangati. Di sekolah ini, siswa
dihindarkan dari kerja-kerja mekanik. Tidak menunggu ide tapi menciptakan ide.
Konstruksi pemikirannya lebih kepada, bagaimana menciptakan jalan keluar atas
masalah-masalah yang tengah terjadi. Karena perbedaan inilah, sejak QT ini
dibangun, sudah ada 20 mereplikasi dari sekolah alternatif ini di daerah lain
di Indonesia. Saya rasa, lahirnya QT, turut mempermantap khazanah model
pendidikan di republik. Dan ini positif.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...