Tuntaskan Kasus Dugaan Penyalahgunaan Wewenang (Refleksi Atas Polemik yang Terus Bergulir)


Pada tahun 2013 saya telah mendengar dugaan penyelahgunaan bantuan di lembaga pendidikan Sya’airun Najah. Baik yang beredar di masyarakat maupun dari dua orang guru yang sedang menempuh study di Surabaya atas nama lembaga tersebut. Dua orang guru tersebut adalah Musahwi—guru Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan H. Suda’e—guru Madrasah Tsanawiyah (MTS). Secara tak langsung melalui telfon saya juga bertanya kepada Junaidi, Wawan Handoko, dan H. Idris terkait hal yang beredar di masyarakat dan yang diutarakan dua guru tersebut. Junaidi dan Wawan adalah teman seangkatan saya yang ngabdi di lembaga tersebut sebagai guru MI, sedangkan H. Idris adalah guru Bahasa Arab sewaktu saya sebagai siswa MTS, sampai sekarang.


Dugaan penyalahgunaan tersebut sepanjang tahun 2013 sampai 2014 terus menjadi buah bibir. Terlebih bantuan dalam hal “kesejahteraan” guru. Apa yang seharusnya diterima guru, menurut buah bibir yang terus menerus mengalir itu, tidak diberikan sebagaimana mestinya. Selain itu, ada guru sepuh yang terjadwal secara formal ngajar, ternyata ia sering bolos, dalam beberapa bulan malah. Tindakan guru sepuh ini melahirkan friksi-riak di tataran guru muda yang jadwal ngajarnya juga full berbasis pengabdian. Alias gaji yang diterima para guru muda ini jauh lebih kecil dari gaji yang diterimakan oleh guru sepuh yang sering absen tersebut. Lamat-lamat, guru sepuh tersebut menerima tunjangan program sertifikasi yang diprogram oleh pemerintah.

Bantuan atas guru yang tidak sampai sebagaimana porsinya dan kecemburuan antar guru ini terus mengelinding bak bola liar. Sampai pada suatu waktu, guru-guru yang berani menyuarakan haknya keluar—dikeluarkan dari lembaga tersebut. Memang, sejarah telah mencatat, sudah sejak dulu, sejak saya masih sebagai siswa, orang-orang yang berani memberikan kritik kepada penentu kebijakan di lembaga ini kerap dikeluarkan tanpa melalui proses klarifikasi yang jelas. K. Marzuqi—guru matematika saya, Bapak Syukkur Yadi—guru sejarah saya, dan Mba’ Noerma Elok—guru MI waktu itu, H. Nur Mahmudi—guru B. Indonesia saya, menjadi sebagian contoh dari kebijakan yang otoriter di lembaga tersebut.

Jadi, bila ada guru yang protes atas setiap kebijakan yang diambil oleh penentu kebijakan, ganjarannya kerap berujung pemecatan. Hal itu terjadi barangkali, karena proses untuk menjadi guru di lembaga ini kurang mengedapankan profesionalitas keilmuan dari masing-masing (calon) guru, tapi lebih karena pendekatan lain.

Lembaga ini mulai dikenal karena masalahnya—bukan karena prestasinya, sejak penahanan ijazah di-demo oleh warga dan diberitakan di media. Utamanya media lokal berbasis online di Sumenep. Pemberitaan tambah center setelah Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), K. Hammad Dahlan dilaporkan ke penegak hukum atas tindakannya yang diduga menyalahgunakan bantuan dan pengelembungan data siswa SMK. Pihak yang melaporkan tersebut adalah gabungan dari para guru yang dikeluarkan dari lembaga tersebut. Atas dilaporkannya K. Hammad, lembaga ini terus semakin membabi buta melakukan pemecatan, utamanya atas mereka yang diduga mendukung atas spirit pelaporan tersebut. Masalah tambah panas hingga kemudian, Ketua Yayasan dari lembaga pendidikan tersebut, yang tak lain adalah kakak dari K. Hammad, K. H. Fauzi Dahlan namanya, pada Agustus 2014 menelfon saya dan menceritakan terkait masalah tersebut. Secara prinsip, beliau meminta saya untuk turut terlibat dalam proses pencarian jalan keluar dari masalah tersebut. Ide dalam proses pencarian jalan keluar tersebut, selengkapnya baca tulisan saya “Sya’airun Najah, berbenahlah”.

Karena para pihak tetap lebih mengedapankan ego, jalan keluar yang saya tawarkan mental, utamanya dari pihak yang kadung tergabung dalam barisan sakit hati tersebut. Mental-nya ide, tidak kemudian menghentikan semangat saya untuk turut terlibat memperbaiki lembaga yang secara giografis berada di Dusun Bindung II, Lenteng Barat, Lenteng Sumenep ini. Saya mengupayakan sejauh yang saya mampu agar masalah di lembaga ini segera selesai dan menemukan jalan keluar. Diri ini menjadi tambah greget tatkala masalah tersebut semakin meluas yang melahirkan disintegrasi—perpecahan di masyarakat. Mulai dari hadirnya lembaga pendidikan tandingan yang jaraknya kira-kira 100 meter dari lembaga tersebut, panas-panasan kumpulan hadrah, sampai penyempitan jalan yang sebelumnya telah dirintis untuk dilebarkan supaya nyaman.

Pangkal dari masalah tersebut sebenarnya adalah terletak di penyalahgunaan bantuan yang terjadi di lembaga tersebut. Usul saya melalui tulisan ini, di antaranya adalah; pertama, tuntaskan kasus penyalahgunaan bantuan tersebut melalui prosedur hukum yang berlaku. Atas pihak yang melaporkan, terus desak penegak hukum agar melakukan penyidikan dan penyelidikan sampai kasus ini benar-benar disidangkan oleh lembaga peradilan. Gaet media masa, baik cetak maupun online untuk meberitakan perkembangan kasus ini. bila penegak hukum yang dilapori memilih diam misalnya, laporkan ke penegak hukum di atasnya. Semisal ke tingkat provinsi maupun ibu kota. Terus suara itu digelorakan agar dugaan pelanggaran penyalahgunaan ini benar-benar tuntas. Selain itu, penanggung jawab dari pelapor tersebut, lakukan konferensi pers atas setiap hal yang perlu diberitakan ke khalayak publik. Jika pihak yang melaporkan terus intens mengawal dugaan penyalahgunaan ini, berarti telah turut terlibat atas perbaikan lembaga tersebut secara khusus dan republik secara umum. Hal ini sudah saya sampaikan sejak tahun 2013. Utamanya kepada Bapak Musahwi dan H. Suda’ei di Kantor Senat tatkala saya masih sebagai ketua Senat Mahasiswa di Kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya. hal ini juga saya utarakan kepada Bapak H. Idris Jauhari, Junaidi dan Wawan, baik ketemu langsung maupun melalui Short Massage Servis (SMS), layanan BlackBerry Massanger (BBM), pesan media sosial fecebook, dan telfon. Kedua, para pihak harus mau melakukan pertemuan untuk mengklarifikasi atas masalah yang sedang terjadi. Pihak lembaga sudah mau, tinggal bagaimana para pihak yang tergabung dalam barisan sakit ini juga mau. Bila barisan sakit ini mau, ayo, saya yang akan membantu menjembataninya. Pertemuan tersebut sebagai forum musyawarah untuk mengurai dari sekian kesalahan yang telah terjadi kemudian merumuskan bersama-sama atas hal yang dianggap baik untuk Sya’airun Najah ke depan. Pertemuan itu juga, sebagai media muhasabah, instrosepksi, mengakui kemudian meminta maaf atas setiap kesalahan yang dilakukan oleh para pihak. Mulai dari ketua yayasan, kepala sekolah, dan para guru. Pertemuan itu juga sebagai media tafakur dalam meningkatkan kualitas lembaga. Baik dari kualitas stakeholder, para guru, dan siswa-siswa yang harus siap menata-menatap masa depan.

Langkah Pak Musahwi dan H. Suda’e yang melanjutkan study di Surabaya atas nama Sya’airun Najah sampai kini, secara formal maupun etik sudah sangat tidak dibenarkan. Karena statusnya, sejak pemecatan itu, ia sudah tidak ngajar lagi di Sya’airun Najah. Memang, ia adalah korban dari pemecatan itu yang dilakukan oleh lembaga, tapi beasiswa yang diprogram oleh Negara statusnya hanya bagi mereka yang aktif mengajar di lembaga pendidikan dimana ia direkomendasikan oleh lembaga tersebut. Negara menyekolahkan, agar kualitas keilmuan dari para guru yang diutus oleh masing-masing lembaga supaya semakin meningkat. Menularkan semangat perbaikan dan perubahan atas para siswa yang sedang dan akan menempuh study di masing-masing lembaga tersebut. Atas hal ini, di Sya’airun Najah, cita-cita untuk mencerdaskan anak bangsa, diselewengkan hanya karena ego dan nafsu politik sempit.

Kemudian, guru sepuh yang jadwal ngajarnya tidak sesuai dengan jadwal formal yang diajukan ke Negara sebagai prasyarat untuk mendapatkan program sertifikasi juga bertentangan dengan semangat Negara mengeluarkan program tersebut. Selain itu, secara etik maupun menurut ajaran agama, juga tidak dibenarkan. Jadi yang tertulis—terjadwal harus benar-benar dilaksanakan. Tidak dibenarkan melakukan pembohongan tertulis. Apalagi yang lainnya. Dan bisa dikatakan memakan uang haram, bila tunjangan sertifikasi itu terus diterima tapi ia tidak ngajar sesuai jadwal yang telah diajukan. Hal ini juga bisa dilaporkan ke penyelenggara Negara yang bertanggung jawab atas program sertifikasi ini.

Atas para pihak yang bertanggung jawab atas dugaan penyalahgunaan bantuan tersebut, harus berani bertanggung jawab di depan hukum dengan menjelaskannya secara baik dan jujur. Karena bila kesalahan tersebut telah diganjar oleh penegak hukum sesuai dengan kesalahanya, maka dosa dari kesalahan tersebut telah tertebus sebelum nanti diakhirat oleh Tuhan akan dimintai pertanggungjawaban. Juga, bagi para pihak yang terlibat dalam pengelembungan data, pelaporan dan penandatanganan palsu, dan tindakan buruk lain, sebaiknya segara mengaku, lebih-lebih di forum sebagaimana usulan kedua di atas. Hal ini ditempuh, semata demi maslahah. Bukan ego, nafsu, dan ambisi dangkal yang justru semakin memperlebar permusuhan yang kini semakin melebar. Usulan pertama dan yang kedua, harus dipisahkan dan berdiri sendiri. Yang pertama agar para pihak yang bertanggung jawab benar-benar bertanggung jawab dan khusnul khatimah¸sedangkan yang kedua agar para pihak dan masyarakat dapat mengambil pelajaran untuk kemudian tidak mengulanginya di kehidupan yang sedang dan akan terus berlanjut ini. Bila hal di atas dapat ditempuh, saya  yakin, persahabatan yang pernah koyak akan kembali utuh dan semangat untuk mempermantap kualitas pendidikan lebih mungkin dicapai. Lembaga tandingan, permusuhan antar grup sholawat hadrah, dan penyempitan jalan sebagai bias dari konflik tersebut akan berakhir—selesai dengan sendirinya.

Melalui tulisan ini, saya mau mempertegas bahwa lembaga pindidikan yang biaya pendidikannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) pada hakikatnya adalah milik masyarakat/rakyat. Karena sumber utama dari APBN/D itu, didapat dari pajak yang dibayar oleh rakyat. Negara sebagai organisasi besar berfungsi untuk mengatur dan memayungi agar uang rakyat itu diperuntukkan semata-mata untuk kesejahteraan, keberdayaan dan kemerdekaan rakyat. Sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Stakeholder dan para guru di lembaga pendidikan, termasuk di Sya’airun Najah adalah para pihak yang ditugasi Negara untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut.

*Direktur Indonesia Belajar Institut (IBI) Surabaya
Siswa RA, MI, dan MTS Sya’airun Najah 1994-2003


Komentar