Menyoal Parkir Berlangganan Kab. Sumenep

Saat saya melakukan pembayaran pajak kendaraan bermotor ke Kantor Samsat Kab. Sumenep, secara otomatis—tanpa melalui konfirmasi terlebih dahulu, di loket pembayaran, saya langsung dikenai pembayaran parkir berlangganan selama setahun sebesar 15 ribu rupiah. Dengan penarikan uang sebesar 15.500 rupiah, digabung dengan tanggungan pajak kendaraan bermotor -PKB&SWDKLLAJ- yang harus dibayarkan sebesar 186.500 rupiah. Ditambah harga map hijau yang dijual di bagian informasi tepat depan pintu kantor Samsat seharga 1.000 rupiah. Jadi, saat ditotal berjumlah 203.000 rupiah.


Biaya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), jelas mengacu kepada Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 85 Tahun 2013. Sedangkan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLAJ) mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 36/PMK.010/2008 tanggal 26 Februari 2008. PKB dikenai wajib pajak Rp. 151.500,-, sedangkan SWDJKLLAJ, karena motor saya di atas 50 cc s/d 250 cc, dikenai wajib bayar sebesar Rp. 35.000,-

Atas hal ini, sudah tidak ada masalah karena jelas dasar hukumnya. Nah, yang masih menimbulkan tanda tanya adalah, dasar hukum tarif parkir berlangganan tersebut kabur? Kaburnya di mana? Parkir berlangganan tersebut mengacu kepada Perda Kab. Sumenep No. 02 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum—hal ini tertulis di kwitansi pembayaran parkir berlangganan berikut nominal tarif yang harus dibayarkan. 15 ribu rupiah per tahun. Parkir Berlangganan ini diatur dalam pasal 46-52. Tapi dalam pasal tersebut, tidak dijelaskan soal tarif, berapa jumlah nominalnya. Malah, jumlah nominal biaya parkir berlangganan termaktub dalam Perda perubahan Kab. Sumenep No. 28 Tahun 2008 atas Perda No. 6 Tahun 2000 tentang Retribusi Parkir. Sebesar 20 ribu rupiah untuk sepeda motor per tahun. Dalam Perda 02/2012 di pasal 50 menyebutkan “Besarnya retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi”. Pasal 49 juga menyebutkan “Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan frekuensi, jenis kendaraan (JBB), dan jangka waktu penggunaan tempat parkir”. Sedangkan di kwitansi tersebut telah tertulis, biaya parkir berlangganan sebesar 15 ribu rupiah. Jika merujuk kepada Perda 02/2012, mengeneralisir atas semua kendaraan bermotor roda dua dalam memaknai pasal 50 dan 49 sangat tidak tepat, karena frekuensi masyarakat Sumenep yang menggunakan jasa parkir berlangganan sungguh tidak sama. Bahkan selama satu tahun yang tidak menggunakan area parkir berlangganan tersebut sama sekali dipastikan ada. Parkir berlangganan hanya ada di kota, sedangkan jalanan ramai di tingkat kecamatan maupun desa, parkir berlangganan ini cenderung tidak ada. Yang ada, parkir sebagaimana normalnya; membayar pada petugas penjaga parkir jika berharap kendaraannya aman dari tindak pencurian.

Mengapa Kab. Sumenep tidak menjadikan Perda Nomor 28 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir sebagai dasar hukum penarikan parkir berlangganan ini, yang jumlahnya untuk kendaraan bermotor roda dua sebesar 20 ribu rupiah per tahun, bukan Perda 02/2012 yang masih kabur menyangkut penetapan tarif. Menjadi tambah kabur tatkala penetapan 15 ribu tidak didasarkan pada patokan dan ukuran yang jelas.

Apalagi, jamak kita tahu, petugas parkir di Kota Sumenep pun, juga terbatas. Dan tidak semua area publik yang dijadikan sebagai tempat parkir ada petugas parkirnya. Seperti di Taman Adipura tatkala siang dan di area parkir Masjid Agung Sumenep. Penarikan parkir berlangganan oleh pemerintah Kab. Sumenep jelas tidak diimbangi dengan layanan yang mestinya dirasakan oleh pemarkir kendaraan bermotor di pinggir jalan milik publik. Ancaman kehilangan atas kendaraan bermotor masih mungkin mengingat area parkir berlangganan belum sepenuhnya dilengkapi dengan petugas parkir yang memadai dan bertanggung jawab secara baik. Pengabaian itu jelas merugikan pihak pemarkir. Padahal, memarkir kendaraan bermotor itu dilakukan semata dalam rangka agar kendaraan bermotor yang diparkir aman, utamanya dari tindak pencurian.

Jumlah warga Sumenep yang lebih dari 1 juta jiwa angka kepemilikan terhadap kendaraan bermotor sungguh tinggi. Hal ini berpotensi atas penerimaan biaya parkir berlangganan yang setiap tahun dipungut oleh pemerintah. Tidak ada pemberitaan resmi berapa penerimaan Sumenep setiap tahun dari biaya parkir berlangganan ini. Unais Ali Hisyam—mantan DPRD Kab. Sumenep, pada tahun 2007, sempat memberikan hitung-hitungan kasar yang nominalnya milyaran rupiah. Apalagi saat ini, diukur dari tingkat kepemilikan kendaraan bermotor yang setiap tahun terus mengalami peningkatan, angkanya akan tetap terus mengalami kenaikan. Atas perorangan, uang 15 ribu memang kecil. Tapi bila diakumulasikan sesuai jumlah wajib pajak yang secara otomatis juga membayar parkir berlangganan, nominalnya sungguh besar. Negara untung tapi rakyat tetap buntung. Negara terkesan hanya mau meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) tanpa diimbangi dengan pelayanan atas rakyat selaku orang yang berkewajiban membayar pajak.

Parkir berlangganan ini tidak hanya problem di Kab. Sumenep. Di Kabupaten lain di Jawa Timur juga banyak yang menjadi problem, salah satunya di Kabupaten Sidoarjo. Di Sidoarjo, seorang Warga Negara Indonesia (WNI) bernama M. Sholeh telah menggugat Bupati Sidoarjo—cc Gubernur Jatim, terkait parkir berlangganan ini. berdasarkan gugatan itu, Pemerintah Kab. Sidoarjo telah melakukan pengembalian pungutan parkir berlangganan ini melalui Dinas Perhubungan (Dishub) Sidoarjo. Mengingat, penarikan tarif parkir berlangganan ini selain disinyalir menyalai rasa keadilan di masyarakat, dasar hukum berikut timbal balik Negara atas penarikan ini sungguh sangat tidak jelas. Apalagi, untuk Kab. Sumenep, menurut pemberitaan Radar Madura; Jawa Pos Group, gaji juru parkir (jukir) yang berjumlah 70 orang se-kabupaten Sumenep itu, hanya 450 ribu per bulan. Sungguh sangat tidak layak dan tidak sebanding dengan pekerjaannya selama se bulan.

Jadi, melalui tulisan ini, saya mengajak masyarakat, utamanya warga Sumenep untuk melakukan penolakan atas penarikan biaya parkir berlangganan tersebut. Apalagi, dasar hukum atas penarikan ini masih menimbulkan kekaburan makna dan tak ditemui penjelasan dalam bab, pasal, ayat dari produk hukum tersebut yang mewajibkan warga untuk melakukan pembayaran atas biaya parkir berlangganan tersebut.

Semoga tulisan ini dapat dibaca oleh pemangku kebijakan, utamanya di Kab. Sumenep.

Komentar