Dua tahun lalu,
tepatnya pada 6 Maret 2013, adalah moment paling berkesan sepanjang perjalanan
hidup saya. Menjadi memoar penting –setidaknya atas saya sendiri— tatkala
kejadian itu menjadi cikal bakal mendekamnya sebagian teman sesama aktivis
kampus dibalik tahanan pegap tak berpendingin selama 15 minggu. Memang
pemenjaraan itu adalah konsekuensi logis akibat tindakan bersama yang
terlarang; anarkhis. Menjadi tidak logis tatkala sebab dari mengapa tindakan
terlarang itu terjadi sampai kini belum terungkap secara resmi. Hanya ada
silang opini yang kebenaranya tak dapat dipertanggungjawabkan.
Jamak kita
tahu, kejadian itu tidak berdiri sendiri. Tidak tiba-tiba ada. Ada sebab yang
melatarinya. Sebab itu bisa dibaca dari sekian tulisan saya yang terkait dengan
peristiwa itu: “Menguak Skandal Mega Korupsi IAIN Sunan Ampel, Menyoal SK
Skorsing Rektor IAIN Sunan Ampel, Mempelajari SK DO Rektor IAIN Sunan Ampel,
Lentera Redup Untuk IAIN 117, Kiai Dan Santri, dan Kampusku Hebat”. Tulisan
tersebut, file pdf-nya bisa di-unduh di bagian file, group Facebook “Forum
Peduli IAIN Sunan Ampel”. Selain itu, juga bisa di-acces di
http://marlaf-sucipto.blogspot.com
Diakui atau
tidak, silang sengkarut masalah praktikum dan puspema sebagai tuntutan utama
serangkaian aksi demonstrasi yang terhelat, lebih karena sumber daya manusia di
lingkungan IAIN-sekarang UIN Sunan Ampel itu perlu ditingkatkan. Menjadi tambah
akut tatkala pemimpin dari lembaga tersebut hanya berfungsi –mengutip
pendapatnya Rhenald Kasali— sebagai “Rektor-Rektor Administratif”. Ia tak mampu
mencarikan jalan keluar dari masalah yang tengah dihadapinya. Ia lebih memilih
menunggu laporan tertulis dari bawahanya daripada turun langsung ke bawah guna
memastikan apakah program tersebut telah berjalan dengan baik atau tidak di
lapangan. Hal ini jelas tergambar dari program praktikum yang mangkrak cukup
lama dan baru diketahui setelah ada tuntutan dari mahasiswa. Saat itu, Prof.
Dr. Abd. A’la, MA yang kini sebagai rektor bertindak sebagai pembantu rektor
satu yang menaungi langsung program tersebut. Pendampingan Mahasiswa (PEMA),
yang lembaganya bernama Pusat Pendampingan Mahasiswa (PUSPEMA) setali mata uang
masalahnya dengan praktikum.
Masalah ini
menjadi politis sejak demonstrasi itu berakhir anarkhis. Sebagian orang institusi
menuduh bahwa gerakan ini memuat pesanan rival politik calon rektor yang kalah
bercatur dengan Abd. A’la dan tim. Menjadi tambah rumit tatkala rektor tidak
berdaya dan lebih memilih keputusan berbasis politik ketimbang hati tatkala
menanggapi dan membuat keputusan strategis.
Dari masalah di
atas yang membesar kemudian justru tindakan anarkhisme yang dilakukan oleh
mahasiswa, sedangkan tuntutan utama turut lenyap tidak ada tindak lanjut seakan
terbawa angin bersama para wartawan berita yang menikmati hidangan hangat di
Caffee Maqha. Sampai saat ini, karena belum dibentuk tim investigatif
independen untuk menelusuri masalah tersebut, maka masalah hanya diopinikan
liar oleh para pihak. Barangkali, rektor menganggap hal tersebut tidak ada
masalah dan lebih memilih diam-mengamankan ketimbang menindak tegas para pihak
yang harus bertanggung jawab atas masalah tersebut. Termasuk bila misal pihak
tersebut adalah dirinya sendiri.
Keputusan
rektor, mulai dari pemenjaraan para demonstran yang terbukti anarkhis,
munculnya surat skorsing, Drop Out (DO), pelarangan organisasi ekstra
mengibarkan bendera di lingkungan kampus, sungguh berkontribusi atas semakin
mandulnya kekritisan mahasiswa di kampus dalam menyoal kebijakan birokrasi yang
timpang. Birokrasi terkesan seperti rezim orde baru. Dikelola-dikendalikan
secara represif dan cendrung melakukan pembungkaman struktural atas gerakan
mahasiswa yang kritis. Menjadi tambah mantap tatkala semangat kritis mahasiswa
yang terbatas itu turut dininabobokkan oleh hidonisme gaya hidup yang kini
tengah menjangkiti kaula muda. Upaya-upaya pembungkaman dengan tawaran “gula
manis” yang sungguh efektif itu turut memperkuat mahasiswa kembali kepada
kecenderungan pada umumnya untuk melakukan gerakan kritis di depan pintu dan
memilih kompromistis di balik pintu.
Dari tragedi 6
Maret itu, karena sayalah penanggung jawab utamanya, melalui tulisan ini, saya
menegaskan ke sekian kalinya, jika gerakan itu murni menuntut hak mahasiswa
yang terpasung. Gerakan itu bebas dari pesanan politik manapun yang sebagian
orang menduga sebagai gerakan untuk mengembosi Abd. A’la sebagai rektor. Bila
gerakan tersebut dituduh sebagai gerakan politik untuk mengulingkan rektor,
tolong buktikan! Dari dulu sampai sekarang, saya menunggu agar hal tersebut dibuktikan.
Apalagi sejak ada rekaman seorang sahabat saat dipenjara yang menyatakan, di
balik pertemuan-pertemuan saya dengan para senior dulu, ada pepesan politik dan
keuntungan yang bersifat material yang saya terimakan. Saya menemui senior,
hanya untuk meminta pendapat. Sama prinsipnya saat saya menemui para pihak
seperti Ketua Jurusan (Kajur), Dekan dan pembantunya, rektor dan pembantunya.
Jika hal ini ditindaklanjuti, akan semakin menarik untuk mengetahui siapa
sebenarnya yang mengambil untung atas tragedi 6 Maret itu yang telah menelan
banyak korban.
Atas
kecundangan birokrasi, saya dulu sempat mencari keadilan sampai di meja hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. Upaya mencari keadilan untuk
kemudian menjadikan PTUN sebagai salah satu pilihan dari sekian tahapan yang
akan ditempuh sudah sejak saya mendengar rekaman rektor yang menyatakan bahwa
saya sebagai penanggung jawab dari gerakan demonstrasi tersebut telah di-DO
dari kampus Sunan Ampel. Hal tersebut dinyatakan oleh Rektor dalam pertemuan
wali mahasiswa yang dipenjara pada Senin, 10 Maret 2013 di ruang sidang
rektorat. Walaupun dalam SK DO tidak mengaitkan dengan tragedi 6 Maret
tersebut. Atas tekanan sebagian senior, supaya saya memilih untuk cooling down
dulu dalam menanggapi SK DO tersebut. Tekanan tersebut saya amini, karena
menurut mereka, jika saya memilih cooling down, barangkali akan mengetuk hati
rektor untuk mencabut laporannya di kepolisian, dan sahabat-sahabat yang
dipenjara akan segera dibebaskan. Tanda-tanda dicabutnya laporan rektor tidak
tampak, sampai sahabat-sahabat dipindah ke Rumah Tahanan (Rutan) Medaeng
Surabaya. atas hal itu, saya berinisiatif untuk mencari keadilan di luar
mengkonfirmasi terlebih dahulu kepada sahabat-sahabat dan para senior. Mulai
dari berkirim surat ke Komisi Etik Sunan Ampel agar saya diperiksa sampai
akhirnya ke PTUN. Karena tidak ditanggapi oleh Komisi Etik Sunan Ampel,
akhirnya kemudian saya ke PTUN. Saat di PTUN, sidang tidak lanjut ke materi
perkara, karena saya ternyata telat mendaftarkan perkara sejak masalah tersebut
diketahui. Saya telat dua hari dari waktu yang dibenarkan oleh Undang-Undang.
SK DO bisa diproses di PTUN jika masih dalam kurun waktu 3 bulan sejak perkara
itu diketahui. Oleh penasehat hukum disarankan agar rektor digugat secara
perdata ke pengadilan umum. Tapi, saat izin kepada Ibu di rumah, saya tidak
diperkenankan menggugat rektor ke pengadilan umum. Sampai saat ini saya masih
mengusahakan, agar ibu mengizinkan saya melanjutkan proses pencarian keadilan
ini, semata untuk menunjukkan kalau saya diperlakukan secara sewenang-wenang
itu. Makna ke sewenang-wenangan ini saya munculkan, karena pelanggaran yang
justru lebih berat di lingkungan Sunan Ampel banyak yang dibiarkan dan tidak
ditindaklanjuti. Salah satunya tidak dilaksanakannya praktikum dan pendampingan
mahasiswa secara professional dan proporsional ini.
Akhirnya, Pak
Rektor, buatlah Tim Investigatif Independen untuk menyingkap tabir gelap supaya
terang benderang “Apa Masalah di balik Praktikum dan Pendampingan Mahasiswa itu
tidak dilaksanakan secara professional dan proporsional”. Professional mengacu
kepada pedoman yang telah dibuat dan proporsional lebih kepada agenda-agenda
yang diselenggarakan tidak sesuai dengan penarikan biaya yang dilakukan dalam
setiap semester.
Tulisan ini
tidak dalam rangka untuk membuka ‘luka’ lama yang telah tertimbun oleh hal lain
selama dua tahun berlangsung. Tulisan ini –setidaknya bagi diri saya sendiri—
hanya untuk menegaskan bahwa perjuangan untuk menyuarakan yang benar itu berat,
terlebih di tengah orang yang terkonstruksi skeptis atas masalah-masalah
sekitar yang cenderung mengancam standart hidup layak sebagaimana konstruksi
kapitalisme.
Allahu A’lam
*Tulisan ini
menjadi salah satu tulisan berampai yang ditulis secara reflektif oleh Achmad
Room Fitrianto, Muhammad Shofa, Davida Ruston Khusen, Libasut Taqwa, Ahmad
Maskur, dan Moh. Ali.
Rampaian
tulisan tersebut file pdf-nya dapat di download di sini
http://pdfsr.com/pdf/dua-20tahun-20tragedi-206-20maret-202013.pdf-1 atau di
https://m.facebook.com/groups/211584285596165?view=files&refid=18
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...