Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) kini tengah memasuki umur yang ke-55. Umur yang tak lagi muda jika
diukur dengan umur manusia yang rata-rata hidup sampai umur 70-80 tahun. Peringatan
hari lahir atas organisasi yang secara kultur dan ideologi memiliki
ketersambungan dengan Nahdlatul Ulama’ (NU) ini untuk tahun ini
diselenggarakan di Surabaya. kota di mana PMII lahir dan dideklarasikan.
Dalam serangkaian peringatan Hari Lahir (Harlah), yang pembukaannya
(16/4) diselenggarakan di halaman terbuka Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama’ (PWNU) Jawa Timur,
panitia menghadirkan Budayawan Madura D. Zawawi Imron, pegiat kesenian Sudjiwo
Tedjo, dan beberapa artis dangdut papan atas, termasuk di antaranya jebolan
Kontes Dangdut Indonesia (KDI). Acara cukup meriah dan menyedot perhatian.
Setidaknya karena megahnya acara dan di paripurnai di malam selanjutnya (17/4)
dengan istighosah yang dihadiri oleh Presiden Jokowi di Masjid Al-Akbar
Surabaya.
Sejak menyebarnya info melalui BlackBerry Massangger (BBM), Short
Massage Servis (SMS), Facebook,
dan alat komunikasi canggih terkini lainnya terkait acara ini, saya mulai
bertanya-tanya, dari mana kira-kira dana acara ini didapat, sehingga acara yang
pasti menelan biaya yang tidak kecil ini dapat berjalan lancar dan khidmat.
Ternyata, sudah menjadi rahasia umum, bahwa acara ini di-backup oleh
para senior, utamanya yang lagi, sedang, dan pernah menjabat sebagai pejabat,
maupun pegawai di pemerintahan. Atau, oleh mereka para senior yang kaya raya.
Apakah backup-an itu benar sukarela dan tak ada maksud dibaliknya? Nah,
itulah yang ingin saya tulis untuk mendiskusikan tentang PMII yang sejak deklarasi
dicetuskan di Munarjati, Lawang, Jawa Timur pada 14-16 Juli 1972 menyatakan diri independen
dan tidak berkenan dijadikan underbow partai politik mana pun. Backup-an
itu sulit ditepis bila tidak memuat kepentingan para senior yang rata-rata
politisi itu. Dalam tata pakem orang Indonesia, orang yang telah membantu,
menolong, dan turut andil dalam pencarian solusi atas masalah hidup yang
dijalani, adalah orang yang harus dihormati, setidaknya yang dibantu maupun
yang ditolong itu tidak mengusik kehidupan dan profesinya. Terserah dari mana
modal bantuan dan pertolongan itu, dia hanya melihat kebaikan membantu dan
menolongnya. Titik.
Kembali lagi kepada backup-an senior dalam acara harlah.
Sekilas, memang tidak salah. Apa salahnya membantu dan memberi pertolongan.
Tapi pertolongan dan bantuan menjadi salah tatkala yang dibantu tidak menanyai
dari mana muasal bantuan itu berawal. Menjadi tambah salah tatkala yang dibantu
menjadi kerdil dan tak punya kekuatan untuk memberikan kritik yang membangun
atas para senior pemberi bantuan yang hampir semuanya politikus itu. Menjadi
semakin salah, bila kita yang junior, menghubungi seniornya untuk membantu, dan
jelas-jelas tahu bahwa senior itu dalam posisinya sebagai politisi maupun abdi
Negara kerap menerapkan praktik politik picik dan menjadikan pundi-pundi Negara
sebagai ladang jarahan untuk memperkuat posisinya dan mempermantap harta
kekayaannya. Saya tidak menuduh, tapi itu rahasia umum tabiat politikus di
republik yang rata-rata beragama Islam itu.
PMII tidak salah menghubungi, menjalin silaturrahim dan meminta
bantuan kepada senior. Tapi PMII harus katakan sejak awal, jika bantuan itu
tidak memuat pepesan tertentu, kepentingan tertentu, yang justru mendegradasi
atas nilai-nilai agama Islam maupun Pancasila sebagai dasar pijak dan ideologi
dalam berbangsa. Bila mau dipersempit, bantuan itu bukan didapat dari hasil
menjarah, merampok hak dan milik rakyat yang kini pelaku penjarahan dan
perampokan itu familiar dikenal dengan sebutan koruptor. Terkait hal ini,
“bantuan halal dan tidak mengikat” yang biasa tertuang dalam lembar proposal
bantuan dana yang dibuat PMII harus benar-benar diterapkan. Setidaknya oleh
sahabat pergerakan sendiri sedari awal. Bukan hanya sekedar srimonial formal
tapi dalam praktiknya tetap menjadi bagian dari proses penghancuran atas
jalannya republik ini.
Acara harlah PMII, sulit ditepis tidak didanai dari ”bantuan halal
dan tidak mengikat”. Acara harlah yang mengelegar itu, patut diduga mendapat
bantuan tidak halal dan pasti mengikat, utamanya dari mereka yang jelas-jelas
sebagai politisi. Untuk mengatakan bantuan itu halal dan tidak mengikat, saya
belum menemukan alur rasionalisasinya. Tidak halalnya di mana? Jika bantuan itu
didapat dengan cara korupsi. Walau formalnya tetap didukung oleh ayat-ayat
agama sekalipun. Mengikatnya di mana? Setidaknya, mereka yang membantu, tidak
terusik ketenangan dan kenyamanannya selama sebagai politisi. Terlebih, saat ia
bertindak dalam mengikis keluhuran bangsa yang termaktub di dalam Pancasila.
Apalagi jelas sedari awal memuat transaksi yang distruk atas republik.
Agar PMII tidak terus dalam posisi menegadah meminta, memohon, dan
dikasihani saat akan menyelenggarakan acara, baik yang bersifat kaderisasi di
tingkat rayon sampai acara besar seperti kongres dan harlah, sudah saatnya PMII
mandiri dengan mengembangkan unit usaha sebagai mesin professional dalam
menyelenggarakan segala kegiatan yang diselenggarakan PMII. Gagasan ini
sebenarnya bukanlah gagasan baru, Cuma mereka yang memiliki inisiasi begini
kalah tersingkir oleh mereka yang berpradigma politik ala politisi kebanyakan
di partai politik. Setiap acara membuat proposal dana kepada senior-senior,
utamanya yang berprofesi sebagai politisi di partai politik maupun yang
menduduki jabatan di lembaga Negara maupun perusahaan. Ini lumrah dan terjadi
dari tingkat rayon sampai PB.
PMII bila benar-benar mau independen dan tak mau menjadi underbow
partai politik sebagaimana Deklarasi Munarjati, harus benar-benar memikirkan
bagaimana mandiri. Bagaimana koperasi yang dinisiasi oleh Bung Hatta
diinternalisasi dalam struktur maupun kultur PMII. Unit-unit usaha segera
didirikan mulai tingkat rayon sampai PB. Hentikan bagaimana PMII meminta,
mengumpulkan, kemudian menghabiskan. Ganti dengan, meminta, mengumpulkan, dan
mengembangkan. Pundi-pundi PMII yang terkumpul dari sumbangan itu, hendaknya dikembangkan
dalam bentuk koperasi, unit usaha, dan hal lain yang substansinya sama-sama
mengembangkan. Unit maupun badan usaha harus dikelola menggunakan prinsip
transparan, akuntable, dan professional. Bila perlu badan kelola ini siap diaudit
oleh auditor independen terpercaya. Selama PMII untuk eksis masih tetap terus
dalam lingkaran membuat proposal dana, meminta, mengumpulkan, kemudian
menghabiskan, selama itu pula independensi PMII sekedar hanya akan menjadi
slogan. PMII secara tersurat maupun tersirat, sulit berkilah untuk tidak
melaksanakan kehendak teknis dari agenda yang dikehendaki politikus parpol,
terlebih bagi mereka yang akan dan sedang berkuasa.
Dalam hal ini, sebagai aktivis PMII, saya pernah menginisiasi agar
PMII, utamanya di tingkat rayon, benar-benar dapat mandiri. Tapi, inisiasi ini
kalah menarik atas isu-isu politik praktis yang terlihat lebih wah dan cepat menjangkau kepraktisan hidup.
Akhirnya dalam perjalanan waktu tergilas dan lenyap. Tapi saya tidak berhenti
untuk menyuarakan ini. utamanya saat sedang didaulat sebagai pemateri diskusi,
baik dalam acara pelatihan formal seperti Mapaba maupun PKD, atau kongkow
biasa sambil merokok dan minum kopi.
Kemudian, untuk memperkuat tema tulisan ini. kebiasaan umum di PMII,
mental big bos, senior selalu mentraktir junior, yang berlaku sejak
rayon sampai PB, saatnya mulai diganti dengan, segala apa yang kita butuhkan dan
itu sifatnya materi di organisasi, baiknya patungan sesuai kemampuan dari
masing-masing diri. Biasakan menghidupi organisasi secara bersama-sama dengan
patungan terbuka. Bila perlu, patungan itu yang dikelola untuk kemudian
mendanai segala kegiatan organisasi yang berkaitan dengan dana
operasionalisasi. Bangun kesepahaman jangan sampai ada dusta di antara kita. Jangan
sampai terbangun, baik sifat maupun tindak yang siap menikam sebagaimana
belati. Mental politisi mayoritas partai yang telah teruji kekejaman,
kelicikan, dan kepicikannya itu jangan sampai menjangkiti apalagi menggerogoti
organisasi mahasiswa yang lantang meneriaki diri sebagai agen of chage ini. organisasi
inilah yang mestinya merubah haluan politik praktis parpol yang teruji bengis
itu. Bukan malah turut ikut-ikutan bengis sebagaimana pola mayoritas politikus
itu.
Mengapa saya mengajak agar mental big bos segera diganti?,
karena mental big bos itulah yang turut memperpuruk kondisi PMII
sebagaimana fenomena umum yang terjadi di partai politik. Saat senior terjepit
dalam krangka pikir untuk terus mentraktir junior, maka senior yang tak tegas
dan tak berani menjelaskan yang baik itu seperti apa, akan terus tertuntut dan
bahkan mau melakukan segala macam cara untuk bisa mentraktir juniornya.
Fenomena ini turut menyumbang kuat atas tindak korupsi, kulusi, dan nepotisme
di republik berpenduduk 250 juta ini.
Mari bangun dan kembalikan PMII sebagaimana yang dicita-citakan para
pendirinya. Bukan justru menjadi bagian yang turut andil dalam memperpuruk
kondisi negeri. Masih kurang apa negeri yang telah hancur berkeping-keping ini,
jika kita yang muda, justru menjadi pelanjut dari agenda penjajahan di republik
yang presidennya kini bernama Jokowi.
Salam
pergerakan!
Mari bergarak
untuk memperbaiki, bukan sekedar berteriak atas nama perbaikan tapi tindakannya
melacurkan organisasi.
* Kader PMII
Rayon Syariah, Komisariat Sunan Ampel Surabaya
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...