Hari kemaren
(14/4) saya berkesempatan berdiskusi dengan salah seorang Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Sumenep periode 2009-2014. Maksud utama saya
menemuinya, dalam rangka untuk mengetahui Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) Daerah Sumenep selama dalam lima tahun berlangsung (2009-2014). RPJM-D
inilah yang memuat program agenda jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka
panjang sebuah daerah di kabupaten, kota, maupun provinsi. Masing-masing
daerah, kota, maupun provinsi memiliki RPJM-D-nya sendiri-sendiri. Sesuai
program yang telah dicanangkan oleh masing-masing kepala eksekutif (Bupati,
Walikota, dan Gubernur) pemenang pemilu yang telah berlangsung.
RPJM-D ini
saya butuhkan, sebagai salah satu bahan bacaan dalam rencana mengumpulkan tulisan
reflektif atau hasil investigatif, baik dalam bentuk fiksi maupun non fiksi,
untuk Sumenep yang lebih baik. Rencana kumpulan tulisan ini berbentuk bunga
rampai. Sudah sekitar 20 orang warga Sumenep yang insya Allah berkenan
menyumbang. Baik yang berdomisili di Sumenep, maupun yang masih berada di tanah
rantau dalam urusan study. Yang pasti, para penulis ini adalah para akademisi
yang pernah study di dalam maupun luar negeri. Rencana tulisan ini
dihadirkan sebagai bentuk urun angan kami warga Sumenep, dengan pengharapan
semoga menjadi salah satu bahan bacaan para calon Bupati Sumenep dalam
merancang rencana programnya, bila misal mereka nanti pada waktu pemilu
terpilih sebagai Bupati.
Di luar soal
RPJM-D, saya berdialog agak panjang tentang Sumenep dengan pentolan DPRD
periode 2009-2014 ini. Di salah satu hotel di dekat Maqbaroh Raden
Rahmat, atau yang biasa familiar di telinga, kita kenal Makam Sunan Ampel.
Sumenep, di
awal-awal anggota dewan ini menjabat, menurutnya, Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD)-nya sudah sampai 1,5 triliun. “Saat ini sudah pasti lebih tinggi
karena setiap tahun terus mengalami kenaikan”, tandasnya. APBD Sumenep jelas
jauh lebih besar ketimbang tiga kebupaten lain di Madura. Hal ini karena,
Sumenep memiliki Sumber Daya Alam (SDA)—utamanya migas, yang kini kesemuanya
dikelola asing.
Kemudian,
saya Tanya-tanya soal program pemerintah di kabupaten Sumenep selama ia
menjabat sebagai DPRD. Ia sambil senyum-senyum menjawab pertanyaan saya dengan
kesimpulan jawabannya kurang lebih begini, “program pemerintah, telah mengalami
“penyunatan” sejak penganggaran dananya di DPRD. Masing-masing program,
tersunat di DPRD di antara 10-20 persen. Belum lagi penyunatan selanjutnya,
baik yang dilakukan oleh kepala dinas maupun pemenang tender—jika itu program
dalam bentuk proyek pembangunan. Yang terealisir dari total anggaran itu, ya
sekitar 30-40 persen dari total keseluruhan anggaran. Ini hal biasa dan hampir
terjadi di semua program. Belum lagi program fiktif, alias di lapangan tidak pernah
terjadi. Toh misal pun terjadi, itu mengejar keformalan belaka dan
mengabaikan substansi.
Tidak ada
salah benar, baik buruk di DPRD, yang ada menang kalah. Sistem vote yang
oleh Undang-Undang diberikan kepada anggota dewan sebagai jalan pamungkas bila
tidak dijumpai permusyawaratan mufakat di antaranya, justru menjadi sarana
untuk memperkuat kepentingan diri dan kelompoknya. Mufakat dilakukan, justru
tidak atas dasar idealisme yang menghendaki kemaslahatan secara merata untuk
semua, tapi lebih atas pragmatis’m diri dan golongannya. Jadi percuma,
berteriak-berteriak atas nama idealis’m, toh pada akhirnya dalam vote
nanti akan mengalami kekalahan. Karena jelas, idealis’m di parlemen, hanya
dimiliki oleh segelintir orang—untuk mengatakan tidak ada sama sekali. Jadi, di
forum-forum musyawarah yang biasa dihelat oleh DPRD, nuansanya hanya memuat
kepentingan dirinya dan kelompoknya. Strategi dibuat, hanya untuk memenangkan
kepentingan, bukan untuk memperjuangkan hak rakyat yang diwakilinya.
Gaji anggota
DPRD, bersihnya dalam sebulan, bila ditotal, sampai 14 juta. Dalam satu tahun,
bisa menjapai 160 juta. Dan bila dalam satu periode, bisa mencapai 840 juta.
Sedangkan modal menjadi DPRD, minimal membutuhkan dana sekitar 1 milyar. Jadi,
menjadi DPRD, jika jujur dan lurus, gajinya tidak akan mencukupi biaya
politiknya. Jadi, nyunat, atau apalah istilah lainnya yang substansi dari
segala itu adalah merampok uang rakyat menjadi suatu pilihan yang tidak boleh
tidak harus ditempuh. Karena bila tidak, maka akan menjadi anggota dewan yang
merugi. Apalagi anggota dewan yang tidak memiliki pundi-pundi kekayaan yang
cukup sehingga ia harus ngutang sana-sini.
Fenomena
pejabat atau pegawai yang hakikatnya adalah abdi rakyat ini dalam menumpuk
kekayaan adalah fenomena umum yang terjadi di republik. Banyak di antara mereka
yang memiliki kekayaan di luar nalar pendapatan gaji yang diterimakannya.
Apalagi jika ia tidak memiliki usaha sejenis bisnis sebagai sumber dari
kekayaannya itu. Toh misal pun ia memiliki bisnis, bisnis itu kadang
hanya sebagai kedok untuk ‘mencuci’ uang curian yang telah dicuri dari kas
Negara. Atau uang suap dalam posisinya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah.
Maka jangan heran, jika anda menjumpai pejabat atau pegawai Negara, dapat
memiliki rumah, apartemen di mana-mana, mobil mewah, dan segala kekayaan lain
yang irrasional dengan pendapatanya sebagai pejabat maupun pegawai. Kecuali,
sebelum ia menjabat atau sebagai pegawai, ia telah kaya raya dengan usaha atau
harta warisannya.
Apa yang saya
tulis, adalah fenomena umum yang terjadi di republik ini. tidak hanya di
Sumenep sebagai kabupaten paling timur di Madura. Dan masih banyak lagi
sebenarnya yang disampaikan oleh mantan anggota dewan ini terkait bagaimana
abdi rakyat—baik pejabat maupun pegawai, yang bertindak di luar yang sewajarnya
dan yang sepatutnya, bertindak yang justru semakin menjadikan republik ini
secara substansial tersungkur hancur dan secara formal seakan berkembang maju
akibat semakin cantiknya agenda penjajahan oleh bangsa asing di republik yang
kini dipimpin oleh presiden yang mengatasnamakan wong cilik ini.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...