Memasuki Umur yang ke-27

Hari ini, Senin, 4 Mei 2015 adalah hari pertama saya memasuki umur yang ke-27. Saya telah melalui waktu selama 26 tahun berlangsung sejak saya dilahirkan pada 4 Mei 1989 silam.

Hanya syukur yang patut saya haturkan kepada Tuhan atas segala kejadian hidup yang telah saya lalui. Karena segala apapun itu, baik manis, pahit, getir dan segala rasa hidup lainnya, adalah nikmat yang mengajarkan saya tentang arti hidup dan bagaimana hidup.


Memang, kata pepatah yang mengatakan “pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup” sulit saya tolak karena kebenarannya sangat saya rasakan. Saya mengajarkan diri saya untuk mengalami hal-hal yang tidak pernah dialami dan mendatangi tenpat yang tidak pernah didatangi. Terkait hal-hal yang tidak pernah dialami, saya tertantang untukmenyelami bagaimana kehidupan yang menurut banyak orang susah. Menahan diri dari makan-minum sampai tiga hari lamanya, menahan diri untuk tidak berkata selama1x24 jam selain lafal dzikir untuk Tuhan yang maha esa, menahan diri untuk tidak tidur selama 1x24 jam, menahan diri untuk duduk bersila selama 8 jam tanpa merubah posisi duduk, menahan diri untuk tidak ber-HP ria saat dalam posisi menyelami bait demi bait kata, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun yang lainnya, dan yang terakhir, belajar untuk berteman yang baik.

Mengapa saya mau melakukan hal demikian? Hal yang tidak pernah dialami akan memberikan pelajaran berarti bagi diri saya. Apalagi yang dialami itu adalah pengalaman yang banyak orang cenderung berusaha menghindarinya. Dengan haus dan lapar, saya mau mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa di dunia ini, utamanya di republik yang sudah merdeka selama 69 tahun ini, masih banyak yang mengalami kehausan dan kelaparan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. “Jika hanya menahan lapar dan haus selama tiga hari, itu mah, belum seberapa”, saya membatin kepada diri saya sendiri. Ini juga ditempuh, agar saya memiliki kepekaan untuk berbagi, utamanya dari harta yang saya miliki. Akhirnya, kenikmatan sederhana yang saya dapat dari pengalaman ini, tubuh saya tidak kemenyek, apalagi merengek bila misal saya putuskan diri saya ini untuk berpuasa selama kurang lebih 14 jam sehari. Diri ini sudah terbiasa berpuasa tanpa ada rasa yang seakan membebani. Selain itu, diri ini sudah mulai terasa ringan untuk berbagi atas hal yang bisa dibagi, utamanya dengan mereka yang menengadahkan tangan ke kontrakan maupun saat saya di warung, membersihkan kaca mobil saat berhenti di lampu merah, menjulurkan proposal bantuan dana yang banyak atas nama masjid, menyiapkan tampar kecil di jok motor sebagai persediaan dalam menggeret pengendara motor yang kebetulan bannya bocor atau mesinnya rusak saat sama-sama mengendarai motor di jalan. Atau hal lain yang bisa saya bagikan tanpa kembali menyebutkan satu persatu lagi. Itu semua saya tempuh, tanpa introgasi yang menyesakkan hati.

Saya menyadari betul, saat dulu masih memiliki kebiasaan mengintrogasi orang, utamanya atas mereka yang menjulurkan proposal dana atas nama pembangunan masjid, dengan kata-kata yang sangat mungkin menyesakkan hati. Cara itu, bagi saya kini, adalah cara yang tergolong tidak memanusiakan manusia. Bila memang kita peduli, bina mereka dengan pendekatan kata-kata dan sikap-sifat yang baik. Bila diri ini tidak mampu, cukup bantu semampunya dari harta yang kita miliki. Bila dengan membina dan membagi harta, kita tidak memiliki kemampuan, cukup katakan maaf, atau penolakan lain yang lebih manusiawi. Tanpa sumpah serapah yang justru dapat menyesakkan hati.

Kemudian, atas tindakan menahan diri untuk tidak ber-‘kata’ selama 1x24 jam adalah hanya untuk mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa terlalu banyak yang terucap dari bibir mungil ini yang sifatnya sarkas dan miskin manfaat. Ini juga sebagai media untukmengajarkan diri saya sendiri untuk berbicara seperlunya. Bila tidak, sebaiknya diam. Pelajaran ini masih susah dan saya harus tetap terus mengasah sampai saya benar-benar bisa untuk hanya berkata-kata yang baik dan membawa manfaat.

Kemudian, dari tindakan tidak tidur sampai 1x24 jam, saya ingin mengajarkan atas diri saya sendiri bahwa tidur itu sabaiknya ditempuh saat diri ini benar-benar butuh. Selama ini, saya cenderung tidur tidak dalam kondisi benar-benar butuh. Tidur cenderung mengikuti kebiasaan umum dan malah terkonstruk bahwa tidur yang baik itu selama 8 jam minimal. Padahal, dengan kebiasaan umum dan konstruksi itu, saya tidak menemukan ketenangan. Malah kegalauan yang sering datang. Galaunya di mana? Karena tuntutan tidur normal itu, banyak rencana dan target hidup terbengkalai sebab mengutamakan tidur. Selain itu, tidur sampai 8 jam minimal, justru bikin tubuh saya pegal dan mudah terserang penyakit. Akhirnya kini, saya tidak memiliki jam tidur di waktu-waktu tertentu dan sudah tidak harus 8 jam minimal. Tidur itu bagi saya kini, tergantung tingkat kecapeannya, karena bila tubuh ini sudah tidak capek, kita akan terjaga dengan sendirinya. Saat terjaga kembali itulah, saatnya kita berucap syukur, kemudian on-kan kembali aktivitas hidup.

Kemudian, dari duduk bersila selama 8 jam, saya ingin mengajarkan kepada diri saya sendiri tentang konsistensi. Konsistensi memang tidak mudah dan banyak orang berguguran saat mencoba untuk konsisten. Hal ini saya terinspirasi dari bagaimana nenek moyang dulu saat menjelang menempa pusaka. Saat akan membuat keris misalnya. Ia harus melalui ritual tapa brata sampai 40 hari. Tapa brata itu tapa tanpa makan minum, tanpa bicara, dan tanpa menyalurkan kebutuhan seksual. 8 jam duduk bersila sebagaimana orang bertapa sungguh tidak ada apa-apanya ketimbang  melakukan tapa brata. Walau tujuannya sama, sama-sama dalam posisi berusaha mendekatkan diri kepada yang maha kuasa.

Kemudian, dari menahan diri untuktidak ber-HP ria saat menyelami kata. Di waktu yang lain, saya telah disibukkan oleh hal-hal yang tersambung melalui HP. Jadi, saya putuskan, saat saya membaca atau menulis, berapa pun lamanya, HP harus dikesampingkan. Kecuali ada panggilan darurat dari orangtua misalnya.

Nah, yang terakhir, belajar untuk menjadi teman yang baik. Dalam hal ini, orang yang saya kenal, atau orang yang pernah berkenalan tapi tidak kenal dengan baik, terus saya coba jalin, minimal berkomunikasi untuk saling tanya kabar. Syukur-syukur bila kemudian dapat saling mendoakan baik. Menjadi tambah baik, bila pertemanan itu dapat saling mengisi, melengkapi sebagai bekal dalam mengarungi hidup. Atas hal ini, saya terinspirasi oleh kata-katanya Pramoedya Ananta Toer,“seribu kawan kurang, satu lawan jangan”. Kata-kata ini, tanpa diresapi secara mendalam, sudah mengajarkan pentingnya berkawan, bukan memupuk lawan. Apalagi bila misal mau diresapi secara mendalam.

Beberapa waktu yang lalu, saya baru sadar jika sudah tidak bisa meminta dan menerima pertemanan melalui media sosial facebook. Teman saya di facebook, sudah mencapai batas maksimal yang ditentukan oleh facebook. 5000 teman. Saya berfikir, luar biasa teman saya ini. Bila saya benar-benar memanfaatkan—tidak dalam konotasi yang negatif, jumlah teman yang tidak sedikit itu, berapa banyak manfaat, berapa banyak jalan keluar yang dapat ditemui atas sekian kebuntuan masalah hidup, berapa banyak pengalaman yang bisa saling ditukar-bagikan, berapa banyak canda tawa, berapa banyak kenikmatan hidup yang ke semuanya itu bisa didapat dari pertemanan yang tidak sedikit itu. Sejak tahu bahwa teman saya di facebook sudah sampai 5000, saya mulai menyapa mereka dari kebiasaan sebelumnya yang hanya menunggu disapa. Rasanya, ada kebahagiaan tersendiri saat sapa berujung jawab, kemudian berlanjut untuk mempermantap keakraban. Bila perlu, berlanjut pada hal-hal yang saling menguntungkan, menatap hari esok dalam usaha yang harus terus lebih baik. Bagi mereka yang tidak menjawab atas sapaan saya, saya kasih limit waktu sampai satu bulan. Bila dalam satu bulan tetap tak ada jawab,dengan berat hati pertemanan itu saya hapus, saya ganti dengan orang lain, utamanya dengan mereka yang telah menunggu untuk diterima sebagai teman.

Atas hal ini, saya disadarkan oleh diri saya sendiri, untuk tidak mengabaikan sebuah pertemanan. Sekalipun itu di media sosial. Karena dengan media sosial itulah, saya sangat terbantu untuk tersambung kembali dengan teman yang pernah kenal di dunia nyata, dan dapat merajut pertemanan dengan orang lain yang tidak pernah kenal dalam dunia nyata untuk kemudian barangkali bila mana bisa, kita juga dapat berteman dalam dunia nyata. Dunia yang bisa kita arungi secara bersama-sama ini, menghadapi setiap jengkal getir hidup yang setia datang silih berganti.

Semoga kita semua, selalu dalam kebaikan.

Mari saling mendoakan, utamanya bagi teman yang ber-Tuhan, semoga kita semua selalu dalam kebaikan dan sifat kasih sayang Tuhan. Amien.

Mohon saran masukannya teman-teman. Karena kali ini, adalah waktu evaluasi diri.

Komentar