Jauh sebelum Islam datang (570 M), orang-orang di Nusantara sudah mewarisi agama Kapitayan. Agama yang memuja Sanghyang Taya; bermakna kosong atau hampa, atau suwung, atau awung-awung. Suatu yang absolut, yang tidak bisa dijangkau oleh akal dan indra, tidak bisa dibayang-bayangkan seperti apa, tapi kehadirannya dapat dirasa. Orang Jawa mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat ”tan kena kinaya ngapa”; Keberadaannya tidak bisa diapa-apakan. Untuk itu, untuk bisa disembah, Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu dan To, bermakna daya gaib yang bersifat adikodrati. Tu dan To tunggal dalam Dzat. Satu pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal, memiliki dua sifat; kebaikan dan kejahatan. Tu yang bersifat kebaikan disebut Tu-han; Sanghyang Wenang, sedangkan Tu yang bersifat keburukan disebut Han-Tu; Sang Manikmaya. Tu-han dan Han-Tu adalah sifat dari Sanghyang Tunggal.
![]() |
Kiai Agus bersama pembicara lain |
Karena
Sanghyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memujanya
dibutuhkan sarana yang bisa dijangkau oleh pancaindra dan alam pikir manusia.
Di dalam agama Kapitayan, segala yang goib itu hanya bisa dijangkau melalui
benda yang memiliki nama berkait dengan kata Tu atau To. Seperti
wa-Tu, Tu-gu, Tu-ngkub, Tu-lang, Tu-nda, Tu-nggul,
Tu-k; mata air, Tu-tuk; lubang gua, mulut, Tu-ban; air
terjun, Tu-mbak, Tu-nggak, Tu-lup, Tu-rumbukan;
pohong bringin, un-Tu, Tu-mbuhan, pin-Tu, Tu-tud, To-peng,
To-san, To-pong, To-parem, To-wok, dan To-ya.
Dalam rangka
melakukan puja bhakti kepada Sanghyang Taya, penganut Kapitayan menyediakan
sesaji berupa Tu-mpeng, Tu-mpi; kue dari tepung, Tu-mbu;
keranjang persegi dari anyaman bambu, Tu-ak, dan Tu-kung; jenis
ayam, untuk kemudian dibawa sebagai persembahan kepada Sanghyang Tu-nggal
yang daya gaibnya tersembunyi di dalam benda-benda yang memiliki nama berkait
dengan kata Tu dan To tersebut. Orang yang punya maksud melakukan
Tu-ju; tenun, dan mengharap kekuatan negatif lainnya persembahannya
berupa Tu-mbal, bukan Tu-mpeng lagi. Tu-mbal bisa terdiri
dari manusia maupun dari mahluk hidup lain. Tergantung tingkat kekuatan gaib
yang dikehendaki. Tu-mbal yang paling memiliki kekuatan gaib negatif maha
dahsyat adalah Tu-mbal manusia. Sementara, untuk beribadah menyembah
sanghyang Taya langsung di tempat, dikenal dengan sebutan Sanggar; bangunan
persegi empat dengan Tu-tuk; lubang ceruk di dinding sebelah timur
sebagai lambang kehampaan ilahi.
![]() |
Suasana buka bersama |
Dalam
bersembahyang menyembah Sanghyang Taya di Sanggar, penganut Agama Kapitayan
mula-mula melakukan Tu-lajeg; berdiri tegak, menghadap Tu-tuk dengan ke
dua tangan diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya di dalam Tu-tud;
hati. Setelah merasa Sanghyang Taya bersemayam di hati, ke dua tangan
diturunkan dan didekapkan di dada tepat pada hati. Posisi ini disebut swa-dikep;
memegang ke-aku-an diri pribadi. Proses Tu-lajeg ini dalam tempo relatif
lama. Setalah Tu-lajeg selesai, dilakukan posisi Tu-ngkul;
membungkuk memandang ke bawah, yang juga dilakukan dalam tempo relatif lama.
Lalu dilanjutkan posisi Tu-lumpak; bersimpuh dengan ke dua tumit
diduduki. Yang terakhir, dilakukan posisi To-ndhem; bersujud seperti
bayi dalam perut ibunya. Selama melakukan sembahyang, penganut Agama Kapitayan
dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan keberadaan Sanghyang
Taya; yang hampa, yang sudah disemayamkan di dalam Tu-tud; hati.
![]() |
Saat masak bersama |
Seorang hamba
pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang
bersifat positif; Tu-ah dan negatif; Tu-lah. Mereka yang sudah
dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak memimpin
masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-Tu atau dha-Tu. Mereka
ditandai oleh Pi; kekuatan rahasia ilahi Sanghyang Taya yang
tersembunyi. Itu sebabnya, ra-Tu atau dha-Tu menyebut diri dengan kata ganti
diri “Pi-nakahulun”, jika berbicara disebut Pi-dato, jika mendengar
disebut Pi-harsa, jika mengajar pengetahuan disebut Pi-wulang, jika
memberi petuah disebut Pi-tutur, jika memberi petunjuk disebut Pi-tuduh,
jika menghukum disebut Pi-dana, jika memberi keteguhan disebut Pi-andel,
jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut Pi-tapuja yang
lazimnya berupa Pi-nda; kue dari tepung, Pi-nang, Pi-tik, Pi-ndokdakakriya;
nasi dan air, dan Pi-sang. Jika memancarkan kekuatan wibawa disebut Pi-deksa,
dan jika meninggal dunia disebut Pi-tara. Seorang ra-Tu atau dha-Tu
adalah pengejewantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang ra-Tu adalah
citra pribadi Sanghyang Tunggal.
Jadi, pemimpin
itu harus memiliki kekuatan gaib, memiliki kesaktian, memiliki Tu-ah dan
Tu-lah, dipilih oleh masyarakat karena Tu-lah dan Tu-ah-nya
itu, sedangkan Tu-lah dan dan Tu-ah hanya bisa didapat dengan sembahyang;
menghadirkan terus-menerus Sanghyang Taya dalam diri seorang manusia. Dan ini
tidak mudah. Menjadi pemimpin dipilih oleh masyarakat bukan minta dipilih
kepada masyarakat.
Kedudukan ra-Tu
maupun dha-Tu, tidak bersifat kepewarisan mutlak. Anak turunnya harus
berjuang sendiri untuk mendapatkan Tu-lah dan Tu-ah. Selain
sembahyang, mereka harus melakukan tapa brata; menahan diri dari kenikmatan dunia
dalam waktu tertentu dan kadang amat panjang. Dalam terminologi Islam dikenal
dengan sebutan Zuhud; tidak hubbud dunya. Untuk membuktikan Tu-ah
dan Tu-lah, seorang mula-mula membuktikan dirinya mampu menjadi penguasa kecil
yang disebut wisaya, penguasa wisaya diberi sebutan Raka. Seorang Raka yang
mampu menundukkan kekuasaan Raka-Raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan
ra-Tu. ra-Tu adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya,
baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan saktinya dalam
memperoleh Tu-ah dan Tu-lah yang dimilikinya.
*Tulisan ini
adalah refleksi dari diskusi, saat saya nyantri di Pesantren Global
Tarbiyatul Arifin Malang, yang diasuh oleh Kiai Agus Sunyoto pada 18-22 Juni
2015.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...