Pada Kamis
(28/5) lalu, saya diminta untuk menyampaikan "orasi ilmiah" dalam
pelantikan PMII Rayon Syariah Komisariat Sunan Ampel, masa gerak 2015-2016.
Acara yang terselenggara di sebelah timur Gedung C Fakultas Syariah & Hukum
UIN Sunan Ampel Surabaya ini diawali dengan khotmil quran.
![]() |
Bersama Muhammad Burhan (Ketua Terpilih) |
Hadir juga
dalam acara ini, yang secara resmi diundang, para aktivis pergerakan mulai dari
tingkat cabang, komisariat, dan rayon-rayon di lingkungan kampus UIN Sunan
Ampel. Cuma, saat saya amati, tidak saya temui aktivis lain seperti HMI, GMNI,
IMM, dan IPNU yang turut diundang dalam pelantikan ini. Tak bisa dipungkiri,
organisasi-organisasi itu niscaya adanya di lingkungan UIN Sunan Ampel.
Terbukti dari perhelatan konstalasi dialektika dalam bentuk diskusi maupun
politik di antara mahasiswa itu sendiri. Saya tidak melihat, setidaknya dari
aksesori yang dikenakan oleh masing-masing hadirin undangan. Semua yang hadir,
rata-rata mengenakan aksesoris sebagaimana yang saya kenakan; jaz PMII berikut
simbol-simbolnya.
Mestinya, organisasi-organisasi
lintas bendera ini niscaya ada. Karena eksistensi PMII karena adanya organisasi
yang lain. Juga, sebagai sarana ukhwah sesama "kendaraan" beda nama
dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Orasi yang
saya sampaikan; pertama, terkait kesadaran palsu yang masih menjangkiti
sebagian besar aktivis pergerakan. Barangkali juga aktivis-aktivis yang lain.
Kesadaran palsu itu maksudnya, apa yang kita perbuat, banyak yang menyimpang
dari yang sebenarnya kita tahu. Contoh: kita tahu tindakan diskriminatif itu
tidak baik, kita malah larut dalam kebiasaan diskriminatif. Kita tahu
transparan dalam hal keuangan publik itu perlu, tapi saat kita dimanahi
mengelola keuangan publik berat menerapkannya. Kita tahu markup anggaran itu
buruk, tapi malah terlena dengan kebiasaan markup. Kita berteriak-teriak
lantang tentang demokrasi tapi kita sendiri tidak demokratis. Kita meneriaki
koruptor sebagai maling, tapi dalam akal dan tindakan kita mengalir sebagaimana
kebiasaan maling. Dan banyak lagi kesadaran-kesadaran palsu yang berbanding
terbalik dari yang sebenarnya kita tahu. Seakan, dialektika ilmu yang terjadi
di kelas-kelas hanya sekedar penghias mimpi tidur dan menguap tanpa
implementasi. Hampir semua hanya dipersibuk, dan dibikin leleh hanya demi
kesadaran palsu itu. Sampai kapan kita akan begitu wahai sahabat? Ayo, amalkan
ilmu yang kita miliki. Katakan benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
Hengkangkan kesadaran palsu. Semua sikap dan tindakan harus benar-benar
berangkat dari kesadaran sejati; keselarasan antara yang diketahui dan yang
dijalani.
Kedua,
PMII jangan dikelola sebagaimana partai politik; senior dijadikan sumber uang
untuk menyelenggarakan program. Kelola PMII secara swadaya. Munculkan
kesadaran, bahwa PMII adalah milik bersama sebagai wadah berproses menjadi
manusia yang melahirkan manfaat atas yang lain. Lestarikan kebiasaan bantingan
antar sahabat dalam pembiayaan setiap program agenda organisasi. Uang hasil
bantingan, kelola secara professional terbuka. Bila perlu, bentuk semacam usaha
seperti Bank Mini Syariah yang menyalurkan pembiayaan berbasis syariah, guna
menjawab kebutuhan kader. Sebagai langkah awal, basis massanya adalah kalangan
internal PMII Syariah & Hukum sendiri.
Sokongan
senior yang berprofesi sebagai dosen di Syariah, yang tergabung dalam Forum
Sahabat (Forsa) harus dimaksimalkan sepenuhnya demi pengayaan intelektualitas
kader. Langganan koran dan pembelian buku-buku misalnya, sebagai penopang
wacana diskusi yang harus sering dihelat. Termasuk bila misal mau menyelenggarakan
pelatihan-pelatihan dalam mengasah skill kader. Walaupun ada backing-an
dana semacam ini, sahabat-sahabat jangan sampai terlena dengan tidak melakukan
bantingan di antara sahabat-sahabat itu sendiri. Sahabat-sahabat harus turut
urunan sebagai bentuk kepemilikan bersama atas organisasi. Selain itu, di
organisasi lah para sahabat akan memantik pengetahuan dan pengalaman yang tidak
didapat di kelas-kelas perkuliahan. Uang yang terkumpul, sekali lagi, kelolalah
secara professional terbuka.
![]() |
Saat sedang menyampaikan "Orasi Ilmiah" |
Para senior
yang turut nyumbang atas pembiayaan organisasi, secara khusus, temuilah
sekalian bersilaturrahmi, jelaskan tentang penggunaan dan pengembangan uang
yang telah beliau sumbangkan. Walaupun secara terbuka, melalui media sosial
maupun blog, keterbukaan pengelolaan harus terjadi.
Ketiga,
saya amati, sejak saya di-depak dari UIN Sunan Ampel pada 2013 lalu, kritik
oleh mahasiswa untuk internal birokrasi di lingkungan kampus sayup-sayup sudah
mulai tak bergema lagi. Padahal, bukan tak ada "kemungkaran" yang
harus dilawan. Seperti silang-sengkarutnya agenda praktikum yang sampai detik
ini kabarnya masih tidak jelas sebagaimana dulu. Juga, terkait bagaimana UIN
Sunan Ampel menjelaskan secara professional terbuka atas penggunaan dan
pengelolaan dana yang ditarik dari masyarakat/mahasiswa yang tidak pernah
dilaporkan secara terbuka sampai hari ini. Opini ini setidaknya berdasarkan
pengamatan saya atas website UIN Sunan Ampel yang mestinya memampang laporan
keuangan tersebut.
Atas
ketidakterbukaan ini, sahabat-sahabat setidaknya dapat membidiknya dari UU No.
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Professional terbuka adalah
kehendak Undang-Undang. Utamanya atas lembaga yang mengelola keuangan yang
didapat dari publik. Atas nama mahasiswa, PMII, berbekal berkordinasi dengan
organisasi lain, harus mau melakukan kritik agar UIN Sunan Ampel mau
melaksanakan amanah UU tersebut.
Dan,
selebihnya nalar kritis yang konstruktif dapat sahabat-sahabat kembangkan
sendiri dengan salah satu bekalnya adalah materi yang disampaikan sejak Mapaba
sampai PKD.
Aktifis
pergerakan harus menjadi suritauladan; menyelaraskan antara pengetahuan dan
tindakan. Salam
pergerakan.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...