Kemaren (1/07), Bibliopolis Book
Review di bawah asuhan Bung Muhammad Shofa Assadili lagi membedah buku
berjudul "Bunga-Bunga di Taman Hati Soekarno" karya Haris
Priyatna.
Buku ini menarik. Karena
menarik, dari sekian agenda Bibliopolis yang terselenggara, baru kali ini saya
meluangkan waktu untuk merefleksikan dalam bentuk tulisan. Setidaknya oleh diri
saya sendiri.
Buku ini menjelaskan sisi lain
dari sosok Soekarno sebagai salah satu founding fathers kita di
Republik Indonesia; Romantisme Seokarno dengan istrinya yang berjumlah sembilan
orang itu.
RA Eka Zilvi sebagai pembedah, apik
mengurai romantisisme tokoh berjuluk "Putra Sang Fajar" ini.
Mulai sejak Soekarno menjadikan Siti Utari-Putri Hos Cokro Aminoto yang
bertempat tinggal di Jl. Paneleh Surabaya kala itu, sebagai istri sampai
perempuan yang bernama Heldi Ja'far.
Di dalam buku ini, sebagaimana
dijelaskan Zelvi, tersebut istri-istri yang sah dinikahi oleh Bung Karno, dan
sangat mungkin masih ada istri-istri selain yang sembilan orang ini, yang tidak
tersebut di dalam buku ini. Mengingat, di dalam penjelasan buku-buku lain
sebagaimana dipaparkan oleh Bung Shofa, tatkala Soekarno berkunjung ke
daerah-daerah, ke Bali misalnya, banyak perempuan yang memperkenankan dirinya
untuk dinikahi oleh Bung Karno. Entah oleh dirinya sendiri maupun yang
"ditawarkan"-kan langsung oleh orangtuanya masing-masing.
Soekarno dikagumi perempuan,
selain cerdas, pintar, dan selalu tampil "parlente"; tampil bersih,
harum, pakaiannya selalu rapi, atau jaga penampilan. Juga, karena ia pandai
memikat perempuan dengan pujian. Ia pandai merangkai kata-kata indah yang
kemudian bikin perempuan "klepek-klepek" kasmaran.
Soekarno, sebagaimana
penjelasan Eka Zelvi, adalah pengagum keindahan, termasuk keindahan yang
berada dalam diri perempuan. Ia penyuka lukisan, patung, dan karya seni lain.
Soekarno adalah sosok yang suka
berterus terang, ia tidak pernah membangun dusta dengan siapa pun, termasuk
dengan perempuan-perempuan yang ia kagumi-sukai. Ia langsung berterus
terang menyatakan suka kepada perempuan yang ia sukai kemudian juga blak-blakan
untuk menindaklanjuti sampai pernikahan. Keberterusterangan ini juga berlanjut
kepada istri-istrinya dalam menjelaskan untuk menikahi perempuan lain.
Soekarno walaupun suka menikah,
ia tetap bertanggung jawab atas istri-istrinya. Selain dipenuhinya nafkah, juga
di antara mereka dihadiahi rumah maupun perhiasan dan barang mewah lain pada
masanya.
Inilah beberapa nama-nama Istri
Bung Karno sebagaimana dijelaskan Eka Zelvi; pertama, Siti Utari,
putri Hos Cokro Aminoto (Pendiri Sarekat Dagang Islam di Indonesia), dinikahi
pada umur 12th sedangkan Bung Karno di umur 18th. Soekarno menikahi Siti Utari
terkesan karena balas Budi kepada Hos Cokro Aminoto. Waktu itu, dalam masa study-nya,
Soekarno bertempat di rumah Hos Cokro Aminoto di jl. Paneleh Surabaya.
Pernikahan ini berlangsung pada 1923. Kemudian, karena urusan study, akhirnya
Soekarno pindah ke Bandung. Nah, di Bandung ini, ia bertempat tinggal di rumah
saudagar kaya yang istrinya bernama Inggit Ginarsih. Inggit Ginarsih sosok
perempuan anggun yang menyimpan keindahan. Dan keindahan itulah kemudian yang
membuat Soekarno jatuh hati kepada Inggit. Bibit cinta di antara keduanya
semakin subur saat Soekarno mulai curhat bahwa pernikahannya dengan Utari tidak
didasari oleh cinta. Selama Soekarno dalam ikatan pernikahan dengan Utari,
sebagaimana curhatnya Soekarno kepada Inggit, ia tidak pernah melakukan
hubungan seksual layaknya suami-istri. Komunikasi Soekarno semakin inten dengan
inggit, tatkala suami Inggit jarang di rumah dan malam-malam pun tidak kembali
walau sekedar memenuhi kebutuhan layaknya suami-istri. Gayung bersambut,
kesepian Inggit, diisi oleh Bung Karno. Sampai pada waktu kemudian, saat cinta
di antara keduanya semakin menjadi-jadi, bahkan hubungan keduanya sudah sampai
melampaui batas, kemudian Soekarno bilang kepada Inggit untuk tidak terus
menerus hidup dalam kebiasaan yang tidak patut tersebut. Akhirnya kemudian,
Soekarno menemui suami Inggit dan berterus terang meminta istrinya untuk
dinikahi olehnya. Suami Inggit meng-iya-kan, kemudian menceraikan Inggit.
Setelah Inggit selesai masa iddahnya, dinikahi oleh Bung Karno. Istri pertama
Bung Karno yang bernama Utari, kemudian "dikembalikan" ke bapaknya;
Hos Cokro Aminoto di Surabaya. Pernikahannya dengan Utari, berlangsung pada
tahun 1923.
Karena Inggit mandul, pasangan
Soekarno-Inggit, mengambil anak angkat bernama Siti Juami. Pasangan ini
berjalan harmonis sampai pada suatu ketika, Soekarno dipenjara di Lapas yang
kini bernama "Suka Miskin" di Bandung. Di penjara ini Seokarno
menjalani pemenjaraan selama 4th. Selama itu, tentang informasi yang berkembang
di luar penjara, Inggit Ginarsih lah yang menyuplai dengan cara menyelundupkan
atas Bung Karno. Penyelundupannya menggunakan al-Quran yang ditandai maupun hal
lain yang disembunyikan di balik baju kebaya yang dikenakan Inggit saat
menjenguk Bung Karno di penjara. Setalah Soekarno dibebaskan dari penjara,
karena masih dianggap membahayakan oleh penjajah Belanda, kemudian ia
diasingkan ke Ende, Flores. Keputusan Inggit untuk turut mendampingi Bung
Karno, awalnya tidak disetujui oleh keluarga besar Inggit, kecuali ibundanya.
Akhirnya kemudian, Inggit dan ibunda-nya lah yang mendampingi Bung Karno dalam
masa pengasingannya di Ende.
Di Ende, Nyamuk demam berdarah
sungguh sangat mengancam. Bung Karno pernah diserang nyamuk mematikan ini.
Bahkan ibunda Inggit, mertuanya Bung Karno, meninggal dunia di Ende sebab
nyamuk dengan nama internasionalnya bernama "Aides Aigepti" ini.
Karena nyamuk ini, Inggit memprotes pemerintahan Belanda dengan memintanya agar
Bung Karno dipindah. Akhirnya disetujui, Bung Karno dan Inggit dipindahkan ke
Maluku. Di Maluku inilah, yang menjadi cikal-bakal bertemunya Soekarno dengan
calon istri ke tiganya: Fatma. Yang kemudian oleh Bung Karno ditambahi menjadi
Fatmawati.
Hubungan Bung Karno dengan
Fatma semakin menarik saat Inggit kembali ke Bandung bersama anak angkatnya
untuk mendampinginya study. Kemudian tatkala Bung Karno kembali berada
di Jakarta-Bandung, ia rajin berkirim surat rindu kepada Fatmawati. Fatmawi
semakin "klepek-klepek" kepada Bung Karno. Hingga pada suatu ketika,
Bung Karno mulai berterus terang kepada Inggit bahwa ia akan menikahi Fatmawati
dengan alasan menginginkan keturunan langsung. Inggit waktu itu, menurut
pemaparan Eka Zilvi, langsung seperti disambar petir. Inggit meminta Bung Karno
untuk menceraikannya sebelum Bung Karno benar-benar menikahi Fatmawati. Inggit
adalah sosok perempuan, kata Zilvi, yang pantang dimadu. Akhirnya Inggit
dicerai kemudian Bung Karno mengutus orang ke Maluku untuk mewakili
pernikahannya dengan Fatmawati. Pernikahan Inggit dengan Bung Karno,
berlangsung pada tahun 1923-1943.
Sejak Fatmawati dinikahi oleh
Soekarno, kemudian ia diboyong ke Jakarta. Pernikahan ini berlangsung sejak
1943-1953. Pada 1953, kemudian Soekarno menikahi Hartini, seorang penari beken
pada masanya, tanpa menceraikan Fatmawati. Cuma kala itu, Fatmawati sudah tak
lagi berkenan tinggal di Istana Negara. Pernikahannya dengan Hartini
berlangsung dari 1953-1970. Kemudian Bung Karno pada 1959 menikah lagi dengan
Kartini Manopo asal Manado. Pada 1963-1966 menikahi perempuan, yang Bung Karno
kasengsem pada masakan sayur lodehnya, bernama Hariyati. Pada 1968 menikahi
Naoko Nemoto perempuan Jepang yang saat di Indonesia namanya diganti oleh Bung
Karno menjadi Ratnasari Dewi. Kemudian menikahi Yurike Sangar (seorang komando
paskibraka) dan Heldi Jafar.
Dari sekian istri-istri
Soekarno yang lebih banyak dikenang, ialah mereka yang mendampingi Bung Karno
sebelum Proklamasi dibacakan. Seperti Inggit Ginarsih dan Fatmawati. Dari
Inggit, saat Soekarno masih mahasiswa dan sering melakukan kunjungan pertemuan
dengan segenap pemuda di Indonesia, Inggit Ginarsih lah yang membekali
Soekarno. Inggit pandai membuat karajinan tangan dan membuat jamu-ramuan khas
Indonesia. Dari berjualan itulah Inggit hidup dan membekali Soekarno. Padahal
Inggit sebelum menikah dengan Soekarno, ia serba berkecukupan karena suaminya
yang seorang saudagar. Fatmawati turut terlibat saat Soekarno lagi
sibuk-sibuknya menjelang pra kemerdekaan pada 1945. Bahkan bendera sang saka
merah putih yang dikibarkan saat pertama kali deklarasi dilakukan, yang
menjahitnya adalah Fatmawati.
Istri-istri Bung Karno setelah
Fatmawati, setelah Indonesia merdeka dideklarasikan, kurang begitu berkesan
karena terkesan hanya dalam rangka memenuhi hasrat biologisnya Bung Karno.
Kecuali istri yang berasal dari Jepang itu. Istri ini melek politik. Bahkan dia
lah yang memprotes pemerintahan Soeharto saat memperlakukan Soekarno secara
tidak manusiawi.
Hikmah yang kira-kira dapat
dipetik dari pamaparan di atas, Bung Karno dengan kegemarannya
"mengoleksi" wanita dengan menikahinya, dibangun dengan keterbukaan,
keterusterangan, kejujuran dan tanggungjawab. Tanggung jawabnya di mana?
Kewajiban nafkah dan tempat tinggal tetap Bung Karno yang mengusahakan.
Walaupun sebagian dari rumah-rumahnya itu adalah rumah sitaan atas nama negara
yang kemudian saat Soeharto berkuasa, rumah-rumah hasil sitaan tersebut diambil
lagi oleh negara dan yang menempatinya diusir.
Begitulah catatan ini dibuat
sebagai sisi lain dari seorang pemimpin yang gagasan-gagasannya sampai kini
dijadikan sumber rujukan dalam perjalan bangsa dan negara ini melangkah.
Allahu A'lam.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...