Saya
kaget, mendengar rencana Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Abd. A’la,
MA, menyangkut kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru di tahun yang akan datang. Beliau,
sebagaimana diberitakan Berita Metro[1],
akan mengambil alih kegiatan orientasi mahasiswa baru yang awalnya dikelola
organisasi intra kampus di bawah garis komando Dewan Mahasiswa (DEMA) universitas
dan fakultas ke universitas-rektorat. Alasannya, karena mahasiswa yang
mempanitiai kegiatan ini dianggap melanggar aturan yang dibuat oleh universitas
ataupun rektorat.
Rencana
ini juga disangkutkan dengan salah satu tema orientasi di Fakultas Ushuludin tahun
lalu yang sempat memantik kontroversi: Tuhan Membusuk, yang kala itu saya
pun memiliki tanggapan tertulisnya[2].
Juga, rencana ini ditautkan atas pingsannya mahasiswa baru saat mengikuti
kegiatan orientasi.
Jika
mau kritis, UIN Sunan Ampel secara institusional, di bawah Rektor Abd. A’la,
kerap membuat kebijakan yang terkesan represif otoritatif, serampangan, dan
tidak mematuhi aturan hukum di atasnya. Contoh: SK Drop Out (DO) yang
dikeluarkan oleh rektor kepada saya[3],
SK Skorsing atas teman-teman saya[4],
semuanya cacat hukum! Belum lagi, pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan
praktikum dan pendampingan mahasiswa kala itu (bahkan mungkin masih sampai
detik ini), tidak benar-benar dilaksanakan berdasarkan pedoman yang sudah ada.
Yang mana, pedoman tersebut lahir dari godokan kebijakan di bawah SK Rektor
kala itu. Selain itu, UIN Sunan Ampel, sebagaimana ditegaskan dalam Statuta
IAIN Sunan Ampel tahun 2008, pasal 143 ayat 5, dalam mengelola sumber dana yang
didapat dari masyarakat harus menggunakan prinsip transparan, akuntable,
efesien, dan efektif. Semua kebijakan, termasuk penggunaan anggaran di institusi
yang baru bermetamorfosis menjadi UIN ini, yang jelas didapat dari pundi-pundi
republik, harus juga patuh atas amanah UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Harusnya, segala model kebijakannya yang menyangkut kepentingan publik,
harus dibuka ke publik. Atau setidak-tidaknya, ditaruh di perpustakaan untuk
dikonsumsi publik. Website UIN Sunan Ampel pun, sejauh saya memastikan,
ternyata masih belum mempublikasi hal demikian.
Atas
hal ini, rektor berikut UIN Sunan Ampel secara institusional, masih belum
meneladankan untuk patuh atas amanah konstitusi. Baik itu UU, UUD, maupun
Pancasila. Di situ letak keprihatinan saya, dikala rektor menuding mahasiswa
yang mempanitiai kegiatan orientasi dianggap tidak patuh atas aturan hanya
karena panitia orientasi dari unsur mahasiswa mengondisikan mahasiswa baru sejak jam 04:00 pagi dan di
antaranya ada yang “gugur” pingsan saat acara orientasi. Menjadi naif ketika
mereka yang pingsan dituding penyebnya hanya karena tidak makan pagi.
Jika
spirit institusi ingin memperbaiki kualitas orientasi, sebaiknya ajak perwakilan
mahasiswa, utamanya yang mempanitiai kegiatan ini untuk berdiskusi, masuk sebagai
tim perumus dalam menemukan garis besar bagaimana menyelenggarakan kegiatan
orientasi yang berkualitas. Bukan tiba-tiba muncul aturan yang (barangkali)
hanya dibuat sepihak oleh rektorat. Jika aturan itu lahir sepihak misalnya,
saya rasa, prinsip musyawarah mufakat yang diamanahkan oleh Pancasila, di
lingkungan UIN Sunan Ampel tidak diperhitungkan secara baik. Padahal, mahasiswa
adalah entitas akademika yang tak bisa dinegasikan dalam dunia kampus. Bahkan,
eksistensi kampus ditentukan oleh adanya mahasiswa itu sendiri. Kampus tidak
akan ada jika tidak ada mahasiswa.
Kegiatan
orientasi yang di-orgenize oleh mahasiswa, bukan hal baru di republik.
Hal ini telah memiliki ketersambungan yang menyejarah dalam perjalanan
republik, bahkan sebelum republik ini merdeka, orang-orang muda lah yang menjadi penggerak perubahan agar negeri yang
berjuluk syurga dunia ini terbebas dari cengkraman penjajah. Orang-orang
mudalah jua, kaum mahasiswa, yang kemudian terus lantang melakukan kritik agar
republik ini tidak “digadaikan” apalagi “diperjualbelikan”, agar segenap warga
negara terus bahu membahu dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang dulu
telah diidealisasi oleh founding fathers. Jadi, orientasi mahasiswa
baru, sebagai pintu masuk utama dalam penempaan manusia muda baru agar memiliki
nalar kritis dan konsisten pada nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan moralitas, jangan diberengus hanya karena
rektor “trauma” atas gerakan mahasiswa yang kadang “melindas” dan melampaui
batas. Batas kewajaran, batas kepatutan, dan moralitas.
Kampus
adalah miniatur bagi mahasiswa dalam mengasah nalar kritisnya, walaupun
mahasiswa tetap dikondisikan agar tetap berada di tujuan utamanya; mendalami
ilmu pengetahuan berdasarkan jurusan yang telah dipilihnya. Segala bentuk
gerakan kritik, apalagi yang membangun, harus ditanggapi
secara professional. Jangan ajari mahasiswa –meminjam istilahnya Antonio
Gramsci- menjadi pseudo intellectual, nalar kritis harus berakhir dengan
pemufakatan-pemufakatan berbasis duit yang prinsipnya meng-amini atas
kecundangan universitas.
Kegiatan
orientasi harus dievaluasi guna perbaikan, ya, saya sepakat. dalam hal ini,
saya pun memiliki urun angan[5],
telah didiskusikan di forum diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI)
beberapa waktu yang lalu[6].
Cuma, ”membuang” mahasiswa dalam kegiatan orientasi, saya rasa termasuk
tindakan yang melampaui batas. Tindakan yang tidak didasarkan atas kajian
historisitas pergerakan kaula muda dalam memerdekakan republik.
Allahu A’lam
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...