Membicarakan
pembangunan, tidak sedikit yang memahami bahwa membangun itu adalah pembangunan
fisik. Dalam hal ini, infrastruktur. Tidak banyak yang memahami, bahwa
membangun, mestinya juga suprastruktur; soft skill, kualitas manusia,
dan program penempaan atas manusia lainnya supaya produktif, mandiri, dan mampu
menemukan solusi atas problematika hidup yang dinamis.
Pembangunan
-dalam hal ini infrastruktur dan
suprastruktur- di Sumenep, di tengah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang setiap
tahun rata-rata mengalami peningkatan mencapai 26, 82 persen (Radar Madura:
13/01/2013), dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang terus dikondisikan
naik, ternyata tidak berimbang dengan pembangunan kongkrit di masyarakat.
Sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, balai desa, dan sarana publik lainnya
tidak sedikit yang terbengkalai. Belum lagi bertumbuhnya masyarakat yang
melakukan urbanisasi dan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebagai buruh
kasar di negeri orang. Umumnya Malaysia. Alasan sederhana mengapa mereka
melakukan urbanisasi atau menjadi TKI, karena lingkungan di mana ia hidup dan
bertumbuh kembang tidak menjanjikan penghidupan yang menyejahterakan.Mereka
rela meninggalkan kampung halaman hanya demi agar dapur tetap ngepul.
Dalam
membangun, menomorsatukan perhatian atas aspek sosial, budaya, dan adat
istiadat di masyakaratsudah dipertegas di dalam pasal 18B ayat (2) UUD ‘45. Kurang
tepat, bahkan patut dituding telah mengalami disorientasi jika membangun hanya berorientasi
pemenuhan pundi-pundi keuangan daerah dengan membuka lebar-lebar peluang
berinvestasi kepada investor untuk mengekplorasi sumber daya alam yang kini
semakin merajalela saat pemerintah daerah, berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintahan
Daerah, diberi keleluasaan untuk kreatif mengembangkan daerahnya masing-masing.
Menjadi naif, tatkala tindakan ekplorasi itu cenderung eksploitatif dan
mengabaikan dampak distruktif atas laju kehidupan manusia dan mahluk lain.
Di tengah PAD
dan APBD Sumenep yang terus mengalami peningkatan, mestinya program kongkrit
atas masyarakat harus terus ditingkatkan. Kesannya, selama ini, program
pemerintah jalan di tempat dan belum menyentuh kondisi riil di
masyarakat. Garis kemiskinan semakin lebar, infrastruktur amburadul,
orang-orang berkualitas tidak dimaksimalkan secara baik dan benar,
program-program hanya tambal sulam, proyek-proyek pembangunan berbasis bisnis
yang menguntungkan segelintir orang marak merebak dengan kualitas bangunan yang
tidak standart nasional. Semua bergerak dan berputar di dalam lingkaran syetan
kesadaran semu nan palsu. Narasi berbasis agama dan ilmu pengetahuan disusun
hanya untuk memperkuat kepalsuan-kepalsuan para pengelola negara yang mulutnya
manis tapi tindakannya bengis.
Melalui
tulisan ini, selaku warga Sumenep, saya menaruh harap kepada para calon
pemimpin yang kini tengah berkonstalasi untuk menjadi “Sumenep Satu” di
Pemilihan Bupati (Pilbub) pada 19 Desember 2015 nanti, supaya mau “membongkar”
kesadaran semu nan palsu tersebut menuju pembangunan yang telah di-edealisasi
oleh Founding Fathers bangsa; Kemandirian di bidang ekonomi,
politik-hukum, dan adat-istiadat—kebudayaan.
Membangun,
harus berdasarkan kajian—penelitian yang jujur berbasis akademis. Bukan kajian
akademis berasa pragmatisme politis. Dua hal ini hanya disekat oleh batas yang
sangat tipis. Penelitian jujur berbasis akademis, berdasarkan fakta di
masyarakat kemudian pemerintah menyelenggarakan program berbasis problem
solver. Sedangkan kajian akademis berasa pragmatisme politis hanyalah
narasi untuk memperkuat program pemerintah yang secara eksplisit menguntungkan
pihak-pihak tertentu dan program riil-nya
seolah-olah. Adanya program hanya untuk menggugurkan amanah undang-undang
secara formalistik.
Pemerintah
dalam membangun harus berangkat dari masalah. Masalah yang dirangkum oleh tim
ahli yang telah dibentuk oleh pemerintah. Ingat, pendekatanya harus akademis
dengan slogan “Boleh salah tapi tidak boleh bohong”. Berangkat dari temuan tim
ahli ini kemudian bentuklah sebuah program yang terukur dan berkesinambungan.
Terukur di sini, lebih kepada, program sesuai dengan kebutuhan dan masalah riil
di masyarakat itu sendiri. Sedangkan kesinambungan lebih kepada, pengawasan dan
pendampingan selama program itu dilaksanakan.
Meraka yang
masuk sebagai tim perangkum masalah, utamakan dari mereka yang lahir dan besar
di Sumenep. Mereka yang mengerti betul tentang masalah-masalah riil di
Sumenep. Toh misal pun ada orang luar; maksudnya orang yang tidak tahu atas
kondisi sosial budaya Sumenep yang mengakar, cukup jadikan sebagai mitra yang
hanya terlibat untuk urun angan saat menyusun solusi taktis atas problematika
Sumenep kekinian. Jadi, orang Sumenep yang potensial memiliki gagasan solver
di bidangnya masing-masing, harus dilibatkan sebanyak mungkin. Saya sangat
optimis, di usia kemerdekaan republik yang sudah mencapai 70th ini, tidak
sedikit generasi “Sumekar” yang berkualitas sesuai dengan bidangnya
masing-masing. Tinggal sejauh mana kita mau memaksimalkan potensi orang-orang
berkualitas ini untuk mendarmakan gagasan dan tindakannya dalam membangun
Sumenep.
Di
bidang pertanian, misalnya,orang-orang Sumenep
yang study dengan spesifikasi di bidang pertanian, atau orang-orang yang
memiliki keahlian tertentu di bidang pertanian, menjadi tepat saat mereka ini
dilibatkan secara aktif untuk menjadikan para petani Sumenep dapat bertani
secara produktif; pertanian berbasis ilmu pengetahuan yang menguntungkan. Baik untung di sisi finansial maupun sosial
dan ekologis. Sosial, masyarakat tetap tidak tercerabut dengan kebudayaan
guyub-nya. Sedangkan ekologis, masyarakat tetap menjaga kelastarian lingkungan
dan tidak merusak unsur hara tanah sebagai paku sederhana dalam menjaga
simbiosis mutualisme sesama mahluk hidup. Calon-calong sarjana, atau
sarjana-sarjana pertanian, harus dibiasakan bersentuhan langsung dengan
masyarakat tani dan terlibat aktif dalam kegiatan cocok tanam tersebut.
Keterlibatan meraka, selain mengasah kepekaan, juga agar belajar bagaimana
membumikan segala ilmu pengetahuan akademisnya yang didapat di kelas-kelas
perkuliahan. Juga, agar terbiasa turut terlibat aktif menemukan solusi kongkrit
atas setiap masalah tani yang dinamis. Selama ini, yang saya tahu, dinas
pertanian yang amat terbatas itu, selain tak mampu bekerja maksimal,
program-program yang diadakan berbasis pragmatisme politis dan cederung tambal
sulam. Tidak mampu menyentuh masalah riil pertanian itu sendiri.
Contoh misal
di atas juga berlaku di bidang-bidang yang lain. Yang tak kalah penting,
pemerintah kabupaten Sumenep juga perlu menyediakan program beasiswa atas anak
muda Sumenep di semua bidang. Utamanya di bidang ilmu eksak yang kemudian, anak
muda pilihan ini setelah menempuh study-nya harus mendermakan
pengetahuannya untuk pembangunan Sumenep. Mereka dipulangkan dan dipekerjakan
di Sumenep sepenuhnya dalam rangka untuk memajukan Sumenep. Selama ini program
beasiswa memang sudah ada, Cuma tidak sampai berlanjut agar mereka-mereka yang
mendapatkan program ini pulang untuk mendarmakan ilmu pengetahuannya untuk
kepentingan Sumenep.
Kemudian,
pemerintah harus taat betul kepada amanah konstitusi. Patuh terhadap segala
aturan yang sudah ada demi keteraturan dan terwujudnya cita-cita dalam
berbangsa dan bernegara yang secara garis besar telah termaktub di dalam
Pancasila. Amanah UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik misalnya,
kabupaten Sumenep, dalam hal ini terkesan setengah-setengah dalam mempublikasi
segala penggunaan keuangan dan kebijakannya. Hal ini dapat dilihat dari tidak
di-publish-nya secara update atas sekian kebijakan dan penggunaan
anggaran di website pemerintah kabupaten.
Dan yang
terakhir, sebagaimana juga telah dipertegas dalam sila ke dua di dalam
Pancasila, dalam rangka mewujudkan ‘kemanusiaan yang adil dan beradab”, maka stop kebiasaan saling ejek berbasis
sarkas saat berkonstalasi. Sebaiknya, berkompetisilah secara sehat berbasis
data dan prestasi. Berkompetisi dengan menyediakan gagasan cerdas dan
tahapan-tahapan kongkrit untuk menjawab problematika Sumenep yang dinamis. Yang
pasti, masalah riil Sumenep kini, infrastruktur masih amburadul dan
timpang antara daratan dan kepulauan. Sedangkan superastruktur masih belum
termanfaatkan dan tergarap dengan baik. Masalah-masalah kongkrit seperti
kemiskinan dan semakin tercerabutnya nilai-nilai kebudayaan lokal yang luhur
oleh generasi muda turut mempermantap untuk segera ditemukan solusinya.
Beradablah dalam berkompetisi, bukan kebiadaban yang selama ini telah sering
ditampakkan berkali-kali.
Allahu
A’lam
*Tulisan ini adalah satu dari sekian tulisan bunga rampai untuk Sumenep yang lebih baik. tulisan bunga rampai, versi pdf-nya selengkapnya bisa di-download di sini
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkenan memberi komentar...